
Oleh MASMUNI MAHATMA*
Moderasi beragama tampak semakin familiar di telinga dan interaksi sosial imani masyarakat. Perlahan sebagian besar umat menyadari bahwa moderasi bukan berarti mengubah haluan, orientasi, nilai-nilai dan komitmen agama terhadap kelangsungan hidup kemanusiaan. Sebaliknya, moderasi beragama adalah terobosan pola, mentalitas, dan sikap keberagamaan yang sejatinya hendak menguatkan, menyehatkan, dan menjernihkan spirit maupun keistimewaan nilai agama di hadapan sesama manusia.
Tanpa moderasi, agama itu tetap hidup dan terus mengada. Agama tidak akan tersisih dan terdampar di meja sosial makhluk Tuhan. Agama adalah agama, “tuntunan hidup” yang pasti langgeng sampai hari pembalasan. Sebab yang menjaga dan mengawal agama ialah Tuhan itu sendiri. Ini janji Tuhan sepanjang sejarah. Ini hak prerogatif Tuhan yang sama sekali sulit dibantah, ditentang, dan dicampakkan. Agama dan Tuhan, atau Tuhan dan agama, senantiasa senyawa, begitu padu dan tidak bisa dipisahkan. Mustahil ada agama tanpa Tuhan, bahkan sulit diterima akal dan hati kalau eksistensi Tuhan tidak disemaikan melalui agama.
Moderasi beragama sepatutnya terus ditumbuh-kembangkan dan ditransformasikan melintasi serta mewarnai interaksi keberagamaan. Bahwa dalam praktiknya selalu mengalami tak sedikit kendala atau problematika, hal itu merupakan bagian dari pematangan dan pendewasaan mengelola dinamika religiusitas-spiritualitas. Terlebih moderasi beragama bukan agenda terselubung untuk sekadar celupan sekularisasi, deradikalisasi, dehumanisasi, dan atau yang sering digaungkan serupa “pendangkalan beragama” melalui gerakan “mobilisasi ekspresif berbudaya” yang berlebihan.
Memahami agama
Memahami agama itu jalurnya cukup luas dan lebar. Seluas samudera dan angkasa. Semua aktivitas dan gerakan sosio kemasyarakatan sepanjang dilandasi niat tulus dan sikap ta’abbudiyah kepada-Nya, tentu bernilai ibadah. Apalagi mengenai aktivitas doa dan mendoakan sesama dengan baik serta berbasis kebajikan, jelas sekali arah religius dan pahalanya. Dari sini jalur membumikan dan menguatkan sendi-sendi struktur moderasi beragama bisa juga dimulai. Bahwa interaksi dialogis, kecakapan diskursus, intensitas kolaboratif khidmah demi kemajuan sosial berbangsa maupun bernegara tiada henti digalakkan merupakan hal yang patut diapresiasi. Ini paradigma dan tindakan yang benar .
Tak berlebihan bilamana Sachiko Murata dan William Chittick menegaskan, agama senantiasa mengilhami dan menyuguhkan kebenaran dari dan untuk berkehidupan di hadapan sesama hamba sekaligus di sisi Tuhan. Sebab agama, urai Murata dan Chittick, pada makna yang semakin produktif-substantif hanya mencakup cara benar melakukan sesuatu, cara benar untuk berpikir dan memahami, cara benar membentuk niat yang ada dibalik pelbagai aktivitas sosial kehidupan sebagai manusia sekaligus selaku hamba (2005 : xliv).
Ketundukan (Islam), lanjut Murata dan Chittick, merupakan agama bila secara maksimal dan aktual dikaitkan dengan tindakan yang benar; iman ialah agama ketika dilebursuburkan dengan pemikiran yang benar; ihsan adalah agama juga bila disenyawakan dengan pancangan niat yang benar dari dan untuk kebaktian kepada sesama tanpa tendensi-parsialitas. Sehingga perspektif ini jua oleh Murata dan Chittick diistilahkan dengan konstruksi integrasi-wujudiyah, kemenyatuan kualitas diri sebagai hamba ke dalam kutub esensi ilahiah. Ini realitas universalistik agama yang mengagungkan.
Melalui naluri imani dan nalar religiusitas seperti di atas, agama dan moderasi nilai-nilai serta pengemasannya akan menjadi solusi terhadap kemelut sosial kemanusiaan. Agama akan terminimalisir mengipasi friksi dan konflik yang sering kali ditarik ke area sukuisme, rasisme, dan egoisme berbasis kelas sosial. Sebaliknya, agama akan dengan cepat menjadi berkah, rahmah, dan anugerah keteduhan bagi segenap makhluk Tuhan. Meminjam istilah Jalaluddin Rumi yang dilancipkan oleh Fariduddin Attar, bahwa agama moderat yang penuh kasih ini akan mudah memecahkan kesukaran, kesulitan, kesempitan, dan tekanan-tekanan disorientatif berkehambaan.
Dalam Alquran Allah SWT telah lama menegaskan bahwasanya di antara kesulitan, kesukaran, Allah sendiri sedianya menyertakan kemudahan, hikmah, berkah dan kekuatan (QS. al-Insyirah : 5-6). Maka tidak boleh satu pun hamba berputus asa. Ini bukan sekadar penegasan normatif, melainkan eksplorasi atas nama tuntutan-tuntunan sosio-etik dalam konteks menghamba. Sebab putus asa hanya mentalitasnya orang-orang kafir, kaum yang tidak bersyukur dan tidak memahami maupun mengakui agama Allah. Dari mentalitas semacam ini, sebagian mereka cepat dan mudah menentang Allah baik melalui dalih atau argumentasi berbasis logika-logika “emosionalitas” belaka.
Agama dan doa
Banyak yang (mungkin) lupa bahwa agama dan doa merupakan konstruksi erat sekaligus romantik. Relasi agama dan doa, sejatinya ibarat badan dan ruh, raga dan jiwa, jasmani dan rohani dalam realitas ketubuhan. Adalah hal yang mencerahkan sekali bilamana Rasulullah Saw, seperti diriwayatkan Imam Tirmizi, Ibnu Bajah, dan Imam Ahmad, mengajarkan bahwa “tiada sesuatu pun yang lebih mulia di hadapan Allah SWT daripada doa.” Bahkan dalam hadis qudsi Allah berfirman, “Aku telah membagi doa antara Aku dan hamba–Ku menjadi dua, yang satu untuk–Ku dan yang lain untuk hamba–Ku; dan hamba–Ku akan menerima apa yang mereka minta.”
Doa, kata al-Qusyairi an-Naisaburi, merupakan lidah kerinduan kepada Allah sebagai Kekasih Sejati. Bruce Ellis Benson dan Norman Wirzba, dalam The Phenomenology of Prayer mensinyalir bahwa doa sangat penting bagi kaum beriman dan beragama. Sebab doa senantiasa menghubungkan dan menyatukan hamba beriman ke jantung realitas ilahiah. Tanpa doa, tiap-tiap diri beriman akan mudah kehilangan kepekaan religius (religious sensibility), hal yang cukup menjadi garansi eksistensi keberagamaan. Dan konsekuensi paling fatalnya, tanpa doa, kepekaan religius itu akan layu dan cepat mati.
Penyair dan pelukis terkemuka, Acep Zamzam Noor ikut mengambil perspektif, bahwa doa tidak selamanya mesti diucapkan secara verbal. Doa harus diinternalisasi untuk merefleksikan sekaligus mengolahtumbuhkan rasa syukur, tafakur, dan tadabbur demi orientasi ta’abbudiyah. Terutama sekali di hadapan Allah SWT, sebagai hamba, kata Jeihan Sukmantoro, pelukis “Mata Bolong” yang fenomenal ini, kita tidak memiliki potensi dan kekuatan apa-apa selain untuk menyembah, mengimani dan mengamini. Ini fakta. Sulit dibantah.
Muhammad Iqbal menguatkan, keajaiban doa adalah manifestasi kepasrahan manusia terhadap kehendak-kehendak-Nya. Sehingga semua harapan, cita-cita, kecemasan, dan ghirah potensial manusia berujung dan beralih. Sementara sikap pasrah, tulis Nurcholish Madjid, merupakan inti dari sebuah agama. Tanpa sikap pasrah, lanjut Nurcholis Madjid, suatu keyakinan keagamaan tidak akan pernah memiliki kesejatian. Bahkan pasrah kepada Allah SWT, masih kata Nurcholis Madjid, adalah wujud sikap batin yang teramat personal, kaya akan rahasia dan romantika diri bersama Allah.
Paus Yohanes Paulus II tak ketinggalan menyuguhkan sebuah paradigma, bahwa hanya melalui doa setiap diri mampu memiliki kekuatan memahami dan mengenali Tuhan secara benar dan personal. Karena doa senantiasa dikategorikan sebagai media terindah untuk bersua dengan Tuhan penuh kearifan. Dan sekiranya manusia abai terhadap doa, kata Kuntowijoyo, sering kali mereka lepas bebas dari kebijaksanaan-kebijaksanaan. Mereka cepat mengalami disorientasi spiritualitas, pendangkalan religiusitas, dan terperosok jauh ke jurang aktivitas sosial kehidupan yang pragmatis, hedonis, dan egoistik.
Hakikat doa sebagaimana dimaksud, tentu saja layak dijadikan jalur mengenalkan, mengembangkan, dan mentransformasikan semangat luhur maupun nilai-nilai moderasi beragama. Setidaknya agar nalar proporsional, kearifan imani, kebijaksanaan religius, kematangan spiritual bagi personalitas penganut agama terus terbangun dan mencerahkan. Walhasil, fenomena kurang menghormati dan tidak menghargai atau “mencemburui” tanpa bilasan etika imani seperti yang terjadi di Pamulang (05/05/2024) terkait pembubaran sekolompok mahasiswa pembaca doa Rosario itu tidak memvirusi pola pikir dan sikap-sikap keberagamaan di masa yang akan datang.***
*Penulis adalah Ketua Tanfidziyah PWNU dan Wakil Rektor II IAIN SAS Bangka Belitung