Ada dua kata kunci ketika bicara spiritualitas Romo Richardus Kardis Sandjaja, Pr, yaitu ketaatan dan disponibilitas (kesiapsediaan). Rektor Seminari Tahun Orientasi (TOR) Sanjaya, Romo Yohanes Gunawan, Pr menyampaikan hal tersebut dalam Sarasehan dan Malam Tirakatan Mengenang 75 Tahun Kemartiran Romo Richardus Kardis Sandjaja, Pr “Memaknai Kemartiran Zaman Sekarang”, di Seminari TOR Sandjaja, 19 Desember 2023.
Romo Yohanes Gunawan, Pr di Majalah INSPIRASI no 227 Juli Tahun XIX 2023 mengisahkan, selama pendudukan Jepang (1942-1945), situasi sangat genting. Pada tanggal 20 Desember 1948 Rama Sandjaja bersama Fr. Herman Bouwens SJ dan Br. Kismadi mewakili Pastor van der Putten SJ (rektor seminari) menghadiri undangan dari sekelompok orang warga setempat. Tetapi di tengah perjalanan Rama Sandjaja Pr dan Fr. Bouwens SJ dianiaya dan dibunuh. Yang membunuh mereka adalah “gerombolan fanatik” (Rama van Thiel, SJ., “Muntilan Tempat Bersemayamnya Mahkota Kemartiran?”, dalam J. Hadiwikarta, Pr., (ed.), Mengenal dan Mengenang Rama R. Sandjaja, Pr (Aneka Kenangan dan Kesaksian), 1984, 35. Bisa juga dilihat di Majalah Praba, 5 Agustus 1963.)
Sementara itu Br. Kismadi selamat karena disuruh pulang. Keesokan harinya jenazah Rama Sandjaja Pr dan Fr. Bouwens SJ ditemukan di daerah dusun Kembaran, Muntilan, lalu dimakamkan di makam Kembaran. Pada 5 Agustus 1950 jenazah mereka berdua dipindahkan ke makam Kerkof Muntilan dengan prosesi yang meriah.
Keutamaan Romo Sandjaja
Menurut Romo Gunawan, Romo Sandjaja adalah orang yang sederhana dan pembelajar. “Orangnya tidak aneh-aneh. Sederhana. Lalu juga orangnya tekun belajar, manusia pembelajar kalau bahasa sekarang ya, suka membaca. Lalu juga bersemangat dalam berkarya,” kata Romo Gunawan. Romo Sandjaja, menurutnya, adalah orang yang selalu siap menjalankan tugas apapun. Dia juga dikenal sebagai orang yang sangat mencintai ekaristi. “Beliau pribadi yang wani nggetih sampai akhir hayat. Taat pada pimpinan dan setia melayani Gereja. Serta ini siap sedia, disponibel menjalani perutusan dari pimpinan sampai akhir hayat dalam usia tadi 34 tahun,” kata Romo Gunawan.
Seminari TOR yang dipimpinnya berlindung pada Romo Sandjaja. Maka, keutamaan-keutamaan Romo Sandjaja diterapkan dalam formatio di seminari tersebut. “Bagaimana para frater diajak untuk sederhana, tekun belajar, suka membaca ya. Paling tidak lulusan TOR Jangli harus selesai, selesai membaca seluruh Kitab Suci, dari Kejadian sampai Wahyu. Itu targetnya. Ya, harus selesai membaca Kitab Kejadian sampai Kitab Wahyu,” katanya. Selain itu para frater diminta untuk membaca tulisan baik artikel-artikel di koran, majalah, maupun buku-buku yang diberikan oleh para pendamping atau para pengajar. Para frater di seminari ini juga belajar tentang ketekunan, ketaatan, dan kesetiaan.
Terkait dengan ketekunan, Romo Gunawan pun mengutip pernyataan Mgr Robertus Rubiyatmoko pada perayaan 70 tahun kemartiran Romo Sandjaja, “Bagi kita umat Katolik, khususnya umat Katolik Keuskupan Agung Semarang (KAS), Pastor Sandjaja adalah seorang Pastor panutan yang senantiasa dibanggakan dan diteladani. Ketekunan dan kegigihannya dalam menghidupi iman dan panggilannya sebagai seorang imam sangat luar biasa”.
“Di mata umat Katolik Keuskupan Agung Semarang, Pastor Sandjaja adalah seorang martir sejati yang rela mati demi mempertahankan iman dan kebenaran. Maka, tidak mengherankan, begitu banyak umat yang berziarah ke makam Pastor Sandjaja di Kerkof Muntilan untuk berdoa dengan pengantaraannya”.
“Nama beliau pun diabadikan dalam beberapa lembaga gerejani, seperti: Seminari Tahun Orientasi Rohani Sanjaya Semarang, Pusat Pastoral Sanjaya Muntilan, Yayasan Sekolah Sanjaya, Rumah Sakit Sanjaya Semarang (sedang dirintis ini). Ini semua mengungkapkan kekaguman dan kebanggaan spiritual pada pribadi Pastor Sandjaja”.
“Dengan mengabadikan namanya, umat beriman ingin menghadirkan dan menghidupkan semangat iman dan spiritualitasnya di masa sekarang ini; sekaligus menjadikan Romo Sandjaja pelindung yang diharapkan dan dipercayai akan selalu mendoakan dan melindungi umat beriman.” Demikian pernyataan Mgr Robertus Rubiyatmoko yang dikutip Romo Gunawan untuk menerangkan pribadi Romo Sandjaja.
Apa spiritualitas Romo Sandjaja itu?
Dalam kesempatan itu, Romo Gunawan menegaskan beberapa spiritualitas Romo Sandjaja. Yang pertama, ketaatan dan disponibilitas atau kesiapsediaan pada perutusan dari Allah melalui pimpinan. Kedua, kesederhanaan hidup (prasaja). Ketiga, setia yang wani getih. Keempat, rendah hati, mengakui kerapuhan diri. Kelima, mengandalkan Tuhan dalam segala situasi.
Terkait dengan rendah hati, mengakui kerapuhan diri, menurut Romo Gunawan, berdasar buku kesaksian tentang Romo Sandjaja, beliau berperawakan tinggi gagah seperti Raden Werkudara. “Kalau jalan nuwun sewu, mesti nrunjang-nrunjang. Ana sing kesampar,” kata Romo Gunawan. Dalam hal menyanyi, Romo Sandjaja dikenal bersuara sumbang. Meski demikian, Romo Sandjaja mengakui kerapuhan diri itu dan tetap setia mengandalkan Tuhan.
Dalam kesempatan itu, Romo Gunawan menyampaikan alasan seminari TOR memilih pelindung Romo Sandjaja. Salah satu alasannya adalah karena quote dari Romo Sandjaja sendiri, “Seperti orang yang perlu makan dan minum, demikian pula tiap pagi aku harus merayakan ekaristi.” “Ini yang menjadi kata-kata beliau yang kami pegang ya. Ekaristi menjadi sesuatu yang sangat penting, seperti kita makan-minum untuk jasmani kita. Apalagi seorang calon romo, seorang romo, gembala harus mencintai ekaristi, harus mencintai ekaristi, menjadi pribadi yang ekaristis. Maka setiap hari merayakan ekaristi supaya nanti ketika jadi romo, dia sungguh-sungguh “mendem” ekaristi, senang berekaristi. Kalau dimintai misa oleh umat langsung sat set, gercep, gitu yah. Nggih siap. Maka, para Frater juga dididik untuk juga mencintai ekaristi di tempat ini,” katanya.
Menghidupi semangat Romo Sandjaja di Seminari TOR
Dalam kesempatan itu, Romo Gunawan pun menyampaikan upaya mengenalkan dan menghidupi semangat Romo Sandjaja di Seminari TOR. Beberapa upaya itu adalah, pertama, berdevosi kepada Romo Sandjaja setiap Minggu malam. Kedua, menjalani perutusan kebidelan setiap sebulan sekali. “Frater pindah kebidelan. Kebidelan itu seperti seksi gitu ya. Biasanya seksi ternak ngurusi ternak, seksi kebun ngurusi kebun, koster ngurusi kapel. Refter ngurusi makan. Sebulan sekali berganti. Ketiga, hari studi dan napak tilas Romo Sandjaja. “Setiap bulan Desember dan ini ya perutusan perigrinasi, ziarah jalan kaki, harus taat, termasuk dengan orang yang tidak cocok, ya. Romo Rektor bersabda, Frater harus sendika dhawuh gitu ya. Sejak dulu ya, melatih ketaatan ya pada pimpinan, pada Tuhan yang mengutus, memilih,” katanya.
Menurut Romo Gunawan, Romo Sandjaja dulu suka ziarah jalan kaki dari Muntilan ke Sendangsono. Maka, menutup rangkaian napak tilas Romo Sandjaja, para Frater Seminari TOR Sanjaya berjalan kaki dari Muntilan menuju Sendangsono.
“Kami berharap semoga para imam Diosesan Keuskupan Agung Semarang bisa menjadi imam sampai akhir,” kata Romo Gunawan.
Biodata Romo Sandjaja
Romo Sanjaya lahir tanggal 20 Mei 1914. Anak sulung dari empat bersaudara. Ayahnya adalah Willem Kromosendjojo, ibunya adalah Richarda Kasijah. Ia dibaptis oleh Romo Frans van Lith, SJ, 1 bulan setelah lahir, 21 Juni 1914 di Gereja Antonius Muntilan. Sejak kecil dia dikenal sebagai anak yang cerdas. Bahkan oleh teman-temannya dan gurunya dikenal sebagai “kamus kecil yang berjalan” (Lopend zakwoordenboek). Ketika akhir kelas 6 ia hafal seluruh isi kamus Koenen kecil dari A sampai Z. Dia juga dikenal sebagai orang yang rajin berdoa.
Romo Sandjaja menempuh pendidikan Seminari Menengah Muntilan tahun 1933-1937, Seminari Tinggi tahun 1937-1943 dan ditahbiskan sebagai imam oleh Mgr Albertus Soegijapranata SJ di Muntilan tanggal 13 Januari 1943 dalam usia 29 tahun. Dia termasuk tahbisan Imam Praja Semarang yang kedua.
Setelah ditahbiskan, ia ditugaskan di Paroki Muntilan, juga menjadi dosen Sejarah Gereja dan Moral di Seminari Tinggi, menjadi Pamong di Seminari Menengah di Muntilan, dan juga merangkap Pastor di Paroki Ignatius Magelang.