Di tengah silang sengkarut kehidupan di dunia ini, kita diajak untuk tetap bisa mencari dan menemukan cahaya Tuhan. Namun, itu tidak mudah. Mungkin cahaya itu tak terlalu jelas. Romo H. Angga Indraswara, SJ memilih kata pendaran dalam menyampaikan materinya dalam webinar Ikafite “Peka pada Tuntunan Sang Bintang” secara online pada 11 Januari 2024. “Pendaran itu sengaja saya pilih karena mungkin terangnya tidak selalu jelas. Terangnya tidak selalu jelas tetapi toh dirasakan bisa menuntun pencarian kita bersama,” kata Romo Angga mengawali paparannya.
Romo Angga pun menyampaikan kutipan dari dokumen Konsili Vatikan II “Gaudium et Spes” art 3, “Ada pada zaman sekarang umat manusia terpukau oleh rasa kagum akan penemuan-penemuan serta kekuasaannya sendiri. Tetapi sering pula manusia dengan gelisah bertanya-tanya tentang perkembangan dunia dewasa ini, tentang tempat dan tugasnya di alam semesta, tentang makna jerih-payahnya perorangan maupun usahanya bersama, akhirnya tentang tujuan terakhir segala sesuatu dan manusia sendiri.”
Dari dokumen tersebut, menurutnya, manusia hidup di dalam tegangan-tegangan. Tegangan-tegangan itu pun muncul dalam gejala-gejala sosial yang selalu berkembang. Padahal menurutnya, gejala sosial itu selalu berciri ambivalensi. “Kalau kita bicara tentang gejala sosial, maka cirinya yang selalu ada adalah ambivalensi. Apa maksudnya? Ambivalensi itu maksudnya setiap gejala sosial, entah itu globalisasi, entah itu demokrasi, entah itu perkembangan teknologi informasi dan komunikasi selalu memiliki watak mendua. Sesuatu itu bisa baik tapi juga bisa buruk,” katanya.
Romo Angga pun memberi contoh ambivalensi teknologi informasi. “Kita mengalami bagaimana hidup kita dimudahkan dengan penemuan WhatsApp ataupun sarana komunikasi yang lain tetapi kita juga mengalami bahwa seringkali justru sarana itu dipakai oleh pihak-pihak untuk menyebarkan berita-berita yang tidak bertanggung jawab,” ungkapnya.
Menurutnya, dengan merujuk pada dokumen Gaudium et Spes, ambivalensi ini dinilai sebagai sesuatu yang mudah menyeret manusia pada ketidakseimbangan. Dan ketidakseimbangan itu berakar pada sesuatu yang lebih mendasar yaitu dalam hati manusia.
Romo Angga pun mencoba merefleksikan perjalanan 3 orang majus. Mereka bisa menemukan bintang yang membawa mereka pada Tuhan. Kenapa mereka tidak tertipu oleh kilau-kilau yang ditawarkan bintang lain? Romo Angga menduga karena mereka menemukan keseimbangan. “Mereka mengalami perjumpaan pribadi dengan Kristus yang mengaruniakan kepada manusia terang dan kekuatan melalui Roh-Nya, supaya manusia mampu menanggapi panggilannya yang amat luhur,” katanya.
Menyelidiki tanda-tanda zaman
Bagaimana cara menanggapi panggilan manusia yang amat luhur? Menurutnya, manusia sebagai citra Allah, berkat misteri Paskah Kristus, dapat ambil bagian dalam kodrat ilahi sehingga kehidupan pribadi dan bersama menghadirkan kerajaan Allah yang menyelamatkan bangsa manusia.
Lalu, bagaimana manusia menanggapi panggilannya untuk ambil bagian dalam kodrat ilahi? Caranya adalah dengan menyelidiki tanda-tanda zaman dan menafsirkannya dalam cahaya Injil. “Tanda-tanda zaman ini macam-macam, ambivalen, ada yang baik, ada yang buruk. Ada yang membawa kita kepada kehadiran yang Ilahi. Ada yang membawa kita kepada orang-orang tamak yang mungkin hanya mengejar kepentingannya sendiri,” katanya.
Romo Angga pun mengajak kita untuk memahami tanda-tanda zaman dalam konteks negara kita belakangan ini. “Kalau dalam konteks negara kita belakangan ini, mungkin pertanyaannya adalah semacam ini, di manakah pendaran ilahi yang mesti kita ikuti di tengah sengkarut perebutan kekuasaan yang kita saksikan hari-hari ini?” ungkapnya.
Ia pun mengawalinya dengan peristiwa politik yang terjadi pada tahun 1998. Waktu itu terjadi gerakan reformasi dan mahasiswa menduduki gedung MPR/DPR. Presiden Soeharto pun turun melepas jabatan presiden tanggal 21 Mei 1998.
“Bangsa ini diliputi dengan euforia karena merasa bahwa masyarakat sipil (Civil Society) berhasil menghadirkan perubahan politik. Dan euforia ini terus kita bawa. Mungkin sadar tidak sadar, dalam benak kita, kita selalu berpikir bahwa demokrasi ini, demokratisasi di Indonesia terjadi karena apa yang dilakukan oleh masyarakat sipil, oleh gerakan mahasiswa,” katanya.
Namun, menurutnya, ternyata selain gerakan atau perjuangan Civil Society, perjuangan mahasiswa dan segenap elemen masyarakat, ada satu faktor lain yang amat penting dalam demokratisasi Indonesia. “Faktor itu adalah kesepakatan di antara elit politik,” katanya.
Romo Angga pun mengutip tulisan Dan Slater yang terbit di Journal of Democracy tahun 2023. “Dia menulis, boleh jadi cara termudah memahami demokrasi Indonesia adalah sebagai anak dari dua orang tua yang sangat bertolak belakang. Ibunya adalah protes besar-besaran dari mahasiswa yang menggulingkan Soeharto pada tahun 1998. Dan ayah dari demokrasi Indonesia tidak lain adalah para elit penguasa,” katanya.
Romo Angga menyampaikan beberapa kemungkinan alasan para elit penguasa waktu itu mau bersepakat berubah dari otoritarianisme ke demokrasi? “Karena mungkin mereka merasa beban atau biaya yang harus mereka tanggung tidaklah terlalu mahal. Mereka bisa tetap bermain di arena politik dan tidak tersingkir sepenuhnya. Dan mungkin justru mereka merasa demokrasi ini memberi mereka kesempatan yang sama untuk terus terlibat dalam arena politik Indonesia,” katanya.
Namun, menurutnya, banyak orang tidak sadar bahwa elit politik punya peranan penting dalam mempertahankan demokrasi.
Romo Angga pun menyampaikan dinamika politik yang pernah terjadi. Di era kolonial, menurutnya, aparatur sipil negara, segala macam instansi pemerintahan dan mekanisme pemerintahan seperti pendidikan, pajak termasuk juga politik etis adalah bentuk paksaan dari atas yang tidak terlalu melibatkan masyarakat.
“Era Soekarno itu sebaliknya, masyarakat menjadi begitu kuat. Ada begitu banyak gerakan-gerakan massa dan negara kewalahan dengan pemberontakan di sana-sini,” katanya.
Memasuki Orde Baru, menurutnya, negara kembali menundukkan masyarakat lewat mekanisme keamanan kopkamtib pada waktu itu. “Negara menundukkan masyarakat dan pada tahun periode akhir 80-an mencapai puncaknya,” katanya.
Reformasi sebaliknya. “Kita melihat masyarakat mencoba menegaskan lagi kehendaknya atas negara. Dan kalau boleh dirangkum secara singkat apa yang kita lihat belakangan ini, elit politik itu menegaskan kekuasaan negara tapi secara periodik, masyarakat sipil mampu mendesak elit untuk mengikuti kehendaknya. Ini dilakukan dengan mendesakkan perubahan-perubahan undang-undang atau undang-undang baru yang kurang lebih mewakili aspirasi masyarakat,” katanya.
Namun, Romo Angga melihat demokrasi di Indonesia sangat ambivalen. “Di satu sisi kita boleh mengatakan demokrasi di negara ini sudah terkonsolidasi. Dalam istilah yang sering dipakai, ini diterima, demokrasi diterima sebagai the only game in town. Elit politik kita sepakat, mekanisme untuk mendapatkan posisi politik adalah lewat kontestasi elektoral. Tapi di sisi lain, komposisi elit politik terus ditandai dengan pengaruh kuat dari aktor dan kelompok yang lahir di era sebelumnya. Aktor-aktor baru yang masuk kalau kita telusuri kebanyakan pun memiliki ikatan dengan aktor atau kelompok yang lahir di era sebelumnya. Atau kalau ada aktor yang sama sekali baru, dia pelan-pelan terjerat dengan tekanan struktural ini,” ungkapnya.
Ambivalensi juga terjadi dalam masyarakat sipil. “Di satu sisi kita melihat masyarakat sipil secara periodik bisa bersatu untuk mendesakkan perubahan konstitusional, perubahan undang-undang, perubahan-perubahan yang diharapkan menguatkan lapisan kelembagaan demokrasi. Tapi di sisi lain, masyarakat sipil di Indonesia begitu mudah terfragmentasi, tidak memiliki identitas politik yang koheren, begitu mudah dipecah-belah dan dipakai oleh elit politik untuk kepentingan elektoral, untuk kepentingan politiknya. Maka, demokrasi di Indonesia ini terus menjadi sesuatu yang ambivalen,” katanya.
Terkait nasib demokrasi di Indonesia, Romo Angga melihat, “boleh jadi kontestasi elektoral mungkin akan terus berjalan. Tapi nilai-nilai dan tatanan kelembagaan demokrasi, demokratis akan menjadi rapuh dan mungkin akan terus mengalami erosi.”
Apa yang secara politis itu cukup realistis untuk kita lakukan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, Romo Angga mengajak kita belajar dari para sarjana dari timur (majus). “Dan di sini kita bisa belajar dari para sarjana dari timur yang mengawali pencarian mereka dengan mengatakan “Kami telah melihat bintang-Nya”. “Kami telah melihat bintang-Nya”. Bagaimana kita mencari bintang itu? Dan setelah mereka melihat bintang itu, mereka melihat bagaimana bintang itu mendahului mereka hingga tiba dan berhenti di atas tempat itu, di mana Anak itu berada. Dan ketika melihat bintang itu, mereka sudah bersukacita. Ternyata sebelum ketemu dengan bayi Yesus, mereka sudah bersukacita karena mereka meyakini bintang itu dapat membawa mereka pada Yesus. Saya kira ini dinamikanya. Dinamika pencarian orang menemukan Tuhannya. Ketika orang mengalami keyakinan akan menemukan Tuhan, mereka sudah bersukacita.
Tapi bagaimana itu kita temukan sebagai umat Katolik Indonesia lewat sebuah proses mencari, menemukan, mengikuti dan mengalami kehadiran sang Ilahi di tengah sengkarut realitas hidup manusiawi?” ungkap Romo Angga.
Jika ada yang bertanya, kenapa mereka bertemu dengan Herodes? “Ya mungkin itu memang bagian dari realitas hidup, pencarian menemukan terang Ilahi itu tidak ada yang straight forward ya. Saya kira tidak ada. Ya mungkin adalah santo-santo yang sepertinya mungkin dari muda itu sudah sudah dipanggil pada kekudusan gitu ya. Tapi ya setidaknya yang saya tahu orang Katolik biasa seperti saya ini ya lewat sebuah proses yang sangat tidak straight forward. Ada banyak belokan, kejatuhan, di sana-sini. Tapi toh pendaran itu bisa ditemukan, dikenali, dan dijadikan penuntun,” katanya.
Dalam konteks Indonesia, Romo Angga menemukan adanya kesadaran. “Kita ini umat Katolik hanya 3,2% penduduk Indonesia. Kelompok yang sangat kecil. Di Pulau Jawa itu hanya 1,12% umat Katolik itu,” katanya. Namun, dengan prosentase itu, kita mempunyai daya jangkau yang lebih luas. “Kita memiliki warisan lembaga-lembaga yang begitu kuat. Dan hidup kita secara umum ditandai dengan partisipasi gerejawi yang cukup tinggi walaupun tidak sedikit juga orang-orang muda yang mungkin merasa asing, mungkin merasa Gereja tidak cukup punya tempat atau bisa memahami mereka,” ungkapnya.
Menurut Romo Angga, partisipasi Gereja cukup tinggi dalam kehidupan sosial politik termasuk umat yang menjadi anggota legislatif. “Dan secara umum, human capital orang Katolik terutama yang berada di kota besar itu cukup tinggi walaupun banyak umumnya dan semakin banyak yang bekerja di sektor-sektor privat. Dan mungkin semakin sulit menemukan orang muda Katolik yang mau bekerja di sektor-sektor pemerintahan karena faktor kultural dan lain-lain,” tuturnya.
Jadi, menurutnya, walaupun kita hanya 3,2%, ada banyak hal baik, patut untuk disyukuri. Dan menurutnya, melihat sejarah dengan rasa syukur adalah titik tolak untuk menemukan pendaran Ilahi. “Karena ini mengungkapkan bagaimana Tuhan berkarya dalam sejarah kita,” katanya.
Romo Angga pun menyampaikan, Gereja Katolik di Indonesia berumur masih sangat muda. “Umat Katolik yang pribumi itu baru dibangun di akhir abad 19, awal abad 20. Dan dalam seratus, seratus dua puluh lima tahun ini kita boleh mengalami pertumbuhan seperti ini. Itu kelimpahan yang tidak lazim,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Romo Angga juga menyampaikan dinamika umat Katolik dalam bidang politik. Sejak era kolonial sampai tahun 1973, ada Partai Katolik yang mengartikulasikan kepentingan umat Katolik. Tapi sejak fusi partai-partai politik tahun 1973 tidak ada lagi partai yang bersifat konvensional. Partai Katolik itu sudah tidak ada. “Dan umat Katolik “dipaksa” terlibat dalam partai-partai yang sudah ada yang dikelola dengan sangat ketat oleh pemerintahan Orde Baru pada waktu itu,” katanya.
“Dan pada era (orde) baru kita tahu ada satu kelompok Katolik yang bisa masuk ke dalam lingkaran inti negara. Ada banyak kontroversi tentang kelompok mereka tetapi mereka memiliki pengaruh yang cukup kuat,” katanya. Hal ini, menurutnya, yang menjadi romantisme orang Katolik saat ini.
Akhir tahun 90-an, tokoh Katolik dan Gereja Katolik turut dalam gerakan masyarakat sipil yang menyerukan reformasi. Tahun 1997, ada surat gembala yang dengan berani mengatakan, tidaklah dosa apabila orang memilih untuk tidak memilih. “Itu bentuk yang beda karena Gereja Katolik mau menyerukan pemilu yang begitu dimanipulasi di akhir-akhir era Orde Baru,” katanya.
Di era demokrasi saat ini, menurut Romo Angga, representasi politik orang Katolik “dilakukan oleh orang yang sebut saja teknokrat, memiliki human capital tinggi, lalu ditarik oleh mereka yang menjadi bagian dari mayoritas untuk terlibat. Sepertinya itu jalur-jalur orang Katolik menjadi menteri di era demokrasi ini atau dengan terlibat di politik di dalam partai menjadi politisi yang terlibat di kontestasi elektoral.”
Selanjutnya, Romo Angga menyampaikan pertanyaan reflektif. Apa panggilan kita? Romo Angga mengajak kita sadar posisi dalam matriks sosiologi-politik-ekonomi yang membentuk pola distribusi kekuasaan Indonesia. “Kita ini kelompok yang sangat kecil. Mungkin apa yang kita lakukan ini sudah proporsional secara politis. Tapi kita bisa bertanya apakah yang disumbangkan oleh orang Katolik kepada Indonesia ini sudah sepadan dengan yang didapatnya sebagai warga negara, dengan realitasnya sebagai kelompok kecil yang memiliki human capital tinggi, yang memiliki lembaga-lembaga yang cukup kuat untuk membantu umat Katolik yang berkekurangan untuk mengalami mobilitas sosial? Apakah yang kita berikan kepada negara ini sudah sepadan? Saya kira ini sebuah pertanyaan yang saya tidak mau memberikan jawabannya. Tetapi bisa kita renungkan, kita tanyakan ke diri kita masing-masing karena pada akhirnya kalau kita mau mencari terang Ilahi kita perlu sungguh-sungguh bertanya juga. Kita tidak hanya dipanggil untuk mencari, menemukan terang itu dalam hidup pribadi kita. Tetapi juga untuk membawanya pada sesama kita,” terang Romo Angga.
Ia pun mengutip pesan dari Injil Matius, “hendaknya terangmu bercahaya” dan dalam khotbah Yesus di bukit, “kalau orang meletakkan pelita dia akan menaruhnya di atas kaki dian supaya terangnya bisa dilihat dan orang lain memuji Tuhan.” “Apakah kita sudah meletakkan terang kita itu di atas, di kaki dian sehingga apa yang dibuat oleh orang Katolik ini sungguh-sungguh bisa dilihat oleh banyak orang di negara kita? Saya pribadi punya keyakinan, orang Katolik di Indonesia diberi human capital yang luar biasa. Human capital yang luar biasa yang mungkin tidak dialami umat Katolik di negara-negara lain di mana Katolik menjadi minoritas. Tapi pertanyaan atau problem besar adalah bagaimana kita menyapa banyak orang muda dan mulai mencoba mengusik mereka bertanya apakah mereka memiliki hasrat yang lebih dalam untuk terlibat dalam perjuangan kebaikan bersama? Entah itu dengan terlibat dalam negara atau dalam perjuangan masyarakat sipil mengokohkan kelembagaan demokrasi Indonesia,” pungkasnya.