
Allah menjadi inisiator dalam gerak memperkenalkan Yesus. Uskup Keuskupan Tanjung Selor, Mgr Paulinus Yan Olla, MSF menyampaikan hal tersebut dalam webinar Ikafite “Peka pada Tuntunan Sang Bintang” secara online pada 11 Januari 2024. Hal itu, menurutnya, salah satunya terekam dalam Injil Matius yang mengisahkan tiga orang Majus yang mencari Yesus.
“Saya melihat bahwa di sini kisah tentang tiga orang bijak yang kita konsentrasikan dari Injil Matius sangat jelas bahwa Allah menjadi inisiator dalam gerak memperkenalkan Yesus,” kata Mgr Yan.
Sementara itu, dia juga melihat hal yang sama dalam 1 Yohanes 1:10, “Jika kita tidak percaya, maka kita menjadikan Allah Pendusta”. Hal yang senada pun dilakukan Allah seperti dikisahkan dalam Injil Lukas. “Allah sendiri mengambil inisiatif sesudah kelahiran Yesus itu, para gembala ditampaki oleh malaikat dan juga tampak bala tentara surgawi dengan nyanyiannya dan para gembala itu disuruh ke Betlehem untuk melihat bayi Yesus,” katanya.
Terkait dengan inisiatif Allah dalam memperkenalkan Yesus, Mgr Yan Olla pun menyampaikannya dalam konteks karya misi di Kalimantan. “Di dalam pewartaan pastoral misioner yang kami alami, itu sangat menjadi jelas di bidang misioner dan pastoral,” katanya.
Mgr Yan Olla pernah membaca sejarah kehadiran Tarekat MSF di seluruh Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara yang sekarang menjadi empat keuskupan. “Dulu dimulai di satu kota kecil atau desa kecil yang sampai saat ini masih menjadi Paroki di Laham, di Keuskupan Agung Samarinda. Dari situlah stasi-stasi dibangun sampai ke Banjarmasin, ke Balikpapan ke Tanjung Selor, ke Tarakan dan seterusnya,” katanya.
Ia pun bercerita, ketika Perang Dunia II pecah, banyak imam yang kebanyakan orang asing ditawan oleh Jepang. Dalam sebuah catatan para misionaris, ia menemukan bahwa misi di hulu Mahakam seperti tidak berhasil. Namun, pada saat itulah terjadi hal yang tidak terduga. “Ketika para imam tidak ada, karena ditawan oleh Jepang, di situlah banyak (orang) desa kemudian dibaptis oleh orang-orang Dayak (Katolik) sendiri yang kemudian seluruh kampung. Ketika terjadi pembebasan para misionaris itu semuanya sudah menjadi Katolik di wilayah itu. Di sini kita bisa melihat bahwa Tuhan sendiri memperkenalkan apa yang seharusnya dilakukan oleh yang mengandalkan imam, biarawan-biarawati, tetapi ketika tidak ada hal itu, justru iman berkembang. Dan bagi kami ini suatu peneguhan bahwa di dalam peristiwa 3 majus itu Tuhan bisa hadir menjadi inisiator,” katanya.
Hal yang sama juga terjadi pada awal misi di Kalimantan Utara. Titik awal misi di tempat yang sekarang menjadi Paroki Mara Satu. Salah satu stasinya sekarang bahkan menjadi Katedral Santa Maria Asumpta Tanjung Selor. Yang istimewa adalah, paroki tersebut didirikan oleh orang- orang dari Flores, NTT yang bukan teolog atau tamatan seminari tinggi. “Mereka ke sana itu hanya untuk mencari kulit buaya. Tetapi ketika kulit buaya atau buaya belum ditemukan, mereka nikahin gadis Dayak. Dan dari sana, salah satu dari mereka itu mengambil inisiatif dan tiga orang mendirikan paroki di tempat itu,” katanya. Anak dari salah satu pendiri itu bahkan ditahbiskan menjadi imam. “Jadi tidak hanya nangkap buaya tetapi juga di sana ada panggilan yang muncul dari orang-orang seperti ini,” imbuhnya.
Hal yang sama, menurut Mgr Yan Olla, juga terjadi di daerah Berau yang menjadi bagian dari Kalimantan Utara dan juga di Katedral sendiri. Semua itu terjadi karena “orang pinggiran”. “Dalam sejarahnya tercatat orang-orang yang disebut seperti “orang pinggiran”, seperti para gembala itulah yang dituntun oleh Allah untuk menjadi pelaku-pelaku misioner. Dan memang itu tidak terduga, tidak terencana dalam pikiran manusia, sama seperti kejutan yang dilakukan oleh Tuhan melalui tiga majus itu yang membuat Herodes, para imam, dan ahli Taurat harus memeriksa apa yang menjadi literatur mereka, apa yang menjadi tradisi rohani mereka untuk kemudian menerima bahwa Mesias lahir di Betlehem,” ungkapnya.
Dari semua itu, menurutnya, Allah juga menyampaikan pesan rohani melalui orang-orang asing, orang pinggiran dan bukan tokoh agama atau masyarakat. “Allah bahkan memilih orang berdosa sebagai nenek moyang Mesias,” katanya. Ia pun menyebut beberapa tokoh seperti Yakub yang berbohong, membohongi saudaranya justru menjadi Bapa Bangsa. Tamar yang memiliki keturunan dari mertuanya, Yehuda. Demikian juga Rahab.
“Penggambaran-penggambaran seperti itu juga memberikan kepada kita pesan rohani yang lain bahwa ternyata Tuhan berbicara melalui hal-hal yang sering kelihatan sebagai hal yang pinggiran, terutama menggunakan juga orang-orang yang tidak sempurna,” katanya.
Mgr Yan Ola pun melanjutkan, di Banjarmasin dan Kalimantan Utara, banyak orang menjadi Katolik bukan karena pastor atau suster tetapi oleh driver dan orang-orang yang bekerja di perkebunan kelapa sawit. “Mereka membawa banyak orang menjadi Katolik meskipun mengajar doa seringkali pun masih keliru. Jadi orang-orang itu menjadi perintis-perintis. Tetapi memang di sini kita melihat ketidaksempurnaan, unsur dosa, unsur hal-hal yang tidak sempurna tetapi justru dipergunakan Tuhan. Jadi asal-usul dan kedosaan manusia menjadi tidak menghalangi, tetapi titik tolak penyelamatan Allah,” katanya.
Kisah 3 orang Majus, menurut Mgr Yan, menjadi jelas bahwa hidup dalam tradisi keagamaan saja tidak mencukupi atau tidak dengan sendirinya membuat kita menangkap kehadiran Allah seperti Herodes. “Allah menggunakan berbagai cara untuk berbicara dan mewujudkan rencana-Nya menggunakan orang dan peristiwa-peristiwa yang tidak terduga,” ungkapnya.
Di pinggiran
Mgr Yan mengaku, begitu menjadi gembala di Keuskupan Tanjung Selor, ia merasa seperti dituntun ke arah pinggiran. “Saya melihat banyak orang muda yang tamat SMP sudah di jodohkan atau sudah berpikir untuk menikah. Maka dengan keterbatasan di Tanjung Selor yang ada, kita mendorong terutama banyak yang putri-putri untuk mendapat akses, untuk bisa sekolah,” katanya. Karena keterbatasan di bidang itu, lanjutnya, banyak pihak turut membantu misalnya dengan mengirim mereka ke tempat-tempat pendidikan yang memadai. Sesudah selesai, mereka kembali.
Pastoral dalam bidang pembangunan sekolah dan asrama menjadi sangat penting di Tanjung Selor. Pastoral sosial ekonomi juga menjadi bagian penting, misalnya dengan menganimasi umat yang kebanyakan bekerja di sektor perkebunan sawit dan pertambangan. Mereka bukan pemilik, tetapi sebagai pekerja-pekerja harian. Sayangnya, mereka seringkali juga sulit untuk mendapat akses kehidupan rohani karena pada hari Minggu perusahanaan menerapkan “kontanan”. “Artinya membayar kontan itu hari Minggu justru harganya lebih tinggi sehingga mereka banyak sekali tergoda untuk lebih memilih pembayaran kontan itu dibanding ke gereja,” kata Mgr Yan.
Pastoral kesehatan juga memiliki tantangan karena banyak wilayah yang sulit dijangkau. “Ada wilayah tertentu yang hanya bisa dijangkau dengan pesawat-pesawat kecil,” katanya. Dengan demikian, Mgr Yan berusaha untuk membangun klinik dan fasilitas kesehatan yang diperlukan.
Kabar gembiranya, Mgr Yan melihat tren bahwa umat awam mengambil inisiatif dalam kerasulan terus berlangsung. Terkait dengan upaya membangun katolisitas dan identitas Katolik di kalangan umat, sekelompok umat di Labang menyerahkan lahan ke keuskupan supaya bisa dibuat tempat wisata rohani. Lokasi itu tak jauh dengan perbatasan Malaysia. Dekat tempat itu, terdapat Keuskupan Keningau yang berada di Malaysia. Keuskupan tersebut juga kerap meminta bantuan tenaga imam dari Tanjung Selor. “Ada ribuan juga orang Kristiani di sana dan banyak dari mereka itu adalah imigran dari Indonesia sehingga kita juga ditantang untuk menyiapkan sekolah-sekolah yang bisa menampung anak-anak imigran yang menjadi masalah untuk pemerintah Malaysia,” ungkapnya.