Uskup Keuskupan Tanjungkarang, Mgr Vinsensius Setiawan Triatmojo, dalam misa penutupan Pelatihan Animator Laudato Si’ Batch 3 dan Pembukaan Musim Penciptaan 2023 mengajak umat untuk merenungkan dan memperbarui komitmen dalam merawat lingkungan, 29 Agustus 2023.
“Saya berpikir bahwa ketika merenungkan panggilan untuk mengabdi atau memperbaharui lingkungan hidup di mana kita berada, yang menjadi titik tolak adalah permenungan atas diri kita sendiri, manusia. Karena semuanya harus berpusat ke sana,” katanya.
Menurutnya, sebagai makhluk yang berakal budi, kita bisa berpikir. “Dan dari akal budi kita itulah yang membuat kita semua kemudian bisa merefleksi dan mencari apa-apa yang seharusnya kita lakukan untuk memberikan makna hidup bagi kita semua,” ungkapnya.
Ia melanjutkan, manusia adalah citra Allah yang diciptakan, bahkan kata Mazmur 8, hampir setara dengan Allah. “Segala sesuatu diberikan kepadanya untuk diolah. Dan karena citra Allah adalah gambaran dari Allah sendiri, yang menciptakan dunia segalanya baik adanya, maka sebetulnya secara sederhana, manusia dipanggil untuk menjaga alam ciptaan ini. Segalanya ditundukkan kepada kita, manusia, makhluk-makhluk hidup ciptaan yang lain, domba, sapi dan ternak semuanya, burung di udara dan ikan di laut dan segala tetumbuhan yang tumbuh di atas muka bumi ini bagi kita manusia,” katanya.
Namun, lanjutnya, kita yang adalah citra Allah ini ternyata juga dianugerahi kehendak bebas oleh Allah sendiri. “Kehendak yang barangkali banyak dalam refleksi disesali oleh orang sehingga ketika kehendak itu disalahgunakan maka mengakibatkan banyak kerusakan dalam relasi baik manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan sesama ciptaan yang lain,” katanya.
Mgr Vinsens menunjukkan salah satu penyalahgunaan kehendak bebas yang dilakukan Herodes yang memilih untuk mengikuti kehendak puterinya dari istri yang sebetulnya tidak sah, Herodias untuk kemudian memenggal kepala Yohanes Pembaptis.
“Namun, kehendak bebas ini juga bisa dijalankan sesuai dengan kehendak Allah sendiri, dan itulah dari suara-suara orang yang ingin agar kebenaran senantiasa di dekatkan. Dan dalam Injil diwakili oleh Yohanes Pembaptis yang karenanya bahkan kemudian Yohanes Pembaptis harus mati dibunuh, dipenggal,” tuturnya.
Menurutnya, manusia sebetulnya mempunyai kehendak bebas yang menjadi anugerah yang sangat agung bagi manusia, karena dengan kehendak itu, manusia bisa memilih yang terbaik bagi hidupnya dan menjadi jalan bahwa dia pada akhirnya bisa mengenal hukum kasih Allah sebagai hukum yang paling tinggi dengan jalan nanti bisa mengasihi Allah sendiri, mengasihi sesamanya manusia, dan juga mengasihi alam ciptaan yang lain.
“Tetapi kita tahu bahwa kehendak itu memang harus disadari betul ada dalam diri setiap manusia, dan kemudian proses untuk memilih yang terbaik dalam kehidupan itu menjadi cara manusia menanggapi panggilan Allah sendiri,” tegasnya.
Menurutnya, selain diberi kehendak bebas karena berakal budi, manusia juga sering disebut sebagai makhluk paradoksal. “Ada pertentangan di dalam dirinya sendiri. Yang hari ini kita juga belajar dari firman Tuhan di mana Yeremia yang dipanggil untuk juga menegakkan kebenaran harus berhadapan dengan bangsa Israel yang pada umumnya memberontak dan bahkan disebut sebagai bangsa pembangkang, bahkan rajanya, bahkan imam-imamnya. Semua katakanlah bergolak untuk melawan Yeremia yang dipanggil secara khusus oleh Allah untuk memperbaiki situasi hidup beriman di Israel,” katanya.
Menurutnya, sebagai makhluk paradoksal, ketika kita tampil sebagai orang yang sempurna, orang yang punya sesuatu yang bisa dibanggakan, orang yang merasa diri serba benar, kita kemudian bisa merusak, bisa menghakimi, bisa mengadili orang lain dan bahkan menyalahgunakan kehendak bebas seperti tadi dalam bacaan Injil untuk bisa membunuh orang lain karena kita merasa diri benar.
Demikian juga sebaliknya, menurutnya, ketika kita merasa diri sebagai orang yang paling lemah, yang tidak mampu berbuat apa-apa, yang kemudian pesimis dalam hidup, misalnya, ketika berhadapan dengan kerusakan alam lingkungan, bahkan untuk hal-hal yang kecil sekadar membereskan sampah yang bertumpuk, menyikapi sungai-sungai yang kering, bahkan kotor oleh sampah-sampah, kita tidak mampu berbuat apa-apa.
“Lalu kemudian yang ada adalah kita saling menyalahkan. Kita saling mengatakan bahwa ini kesalahan orang lain, tanpa kita mampu berbuat apa-apa. Nah, dalam kondisi sebagai makhluk yang paradoksal ini ada pertentangan dalam diri kita sendiri,” katanya.
Menurutnya, sebetulnya ada kesempatan bagi kita untuk kemudian berefleksi, mencari makna terbaik dalam kehidupan kita, untuk apa kita semua dipanggil dalam kehidupan di dunia ini? “Tidak lain adalah untuk mengabdi Allah dan kemudian untuk menyelamatkan, selain diri kita sendiri juga ciptaan yang lain. Dan itulah yang sebetulnya menjadi inti bagi kita semua yaitu panggilan kita kepada ciptaan yang baru, kepada pembaharuan ciptaan yang memang sedang menjadi tema yang besar pada zaman ini karena fakta dan kenyataan dunia kita sudah rusak. Dunia rusak karena kesalahan kita sendiri. Dunia rusak karena ulah kita sendiri. Dan dunia rusak karena memang kita lebih memikirkan kepentingan diri kita sendiri. Jadi, kita tahu bahwa inilah situasi dunia di mana sebetulnya panggilan untuk memperbarui ciptaan itu menjadi panggilan bagi kita semua. Kita di mana-mana disadarkan dan disodori fakta bahwa ada banyak makhluk hidup yang mati karena polusi, karena keracunan. Ada juga kemudian di tempat lain kerusakan hutan dan seterusnya,” katanya.
Menurut Mgr Vinsens, sebagai manusia yang termasuk makhluk paradoksal, barangkali kita mengalami pergulatan yang begitu hebat, serentak kita bisa memikirkan apa yang baik, apa yang harus kita lakukan, tetapi serentak pula kita merasa tidak berdaya.
“Maka, panggilan untuk memperbaharui dunia ini menjadi panggilan kita semua. Panggilan untuk bekerja sama, berdialog dengan siapapun. Dan dari proses dan sejarah terbentuknya katakanlah Musim Kreasi atau Musim Ciptaan ini tidak lain adalah sebetulnya panggilan Gereja, baik Gereja Katolik, Gereja Ekumene, Gereja Ortodoks, juga Gereja-gereja denominasi yang lain. Semua menjadi sadar bahwa kita sudah pelan-pelan kehilangan citra diri kita sebagai citra Allah yang punya tugas untuk menjaga alam semesta ini, tetapi ternyata justru merusaknya. Dan kita sendiri yang menjadikan dunia kita menjadi tempat di mana kita semakin tidak kerasan. Dunia yang barangkali kita sebut sudah jauh jatuh dalam dosa dan tentu kemudian kita sadari dunia yang perlu rahmat Allah yang semakin besar. Seperti kata-kata Santo Paulus sendiri, di mana dosa bertambah banyak, maka rahmat harus semakin berlimpah. Dan itulah tugas kita semua, memenuhi panggilan kita masing-masing,” tegasnya.
Menurutnya, barangkali kita masing-masing tidak bisa melakukan hal-hal yang besar, termasuk ketika teknologi justru dengan mudah merusak alam semesta ini. “Orang-orang yang menyalahgunakan kekuasaan justru kemudian mencari keuntungan bagi diri mereka sendiri atau bagi teknologi yang mereka ciptaan,” katanya.
Menurutnya, dunia dengan mudah kita hancurkan tanpa kemudian kita mampu untuk memperbaikinya. “Maka, gerakan-gerakan kecil dalam kebersamaan kita: membangun jejaring untuk kemudian di mana-mana kita berusaha menjaga alam ciptaan ini, misalnya di tempat-tempat di mana sungai-sungai mulai kering, kita menyadarkan masyarakat di situ dan kemudian menanam pohon-pohon yang bisa nanti menghasilkan air seperti bambu,” katanya.
Ia pun menyampaikan kisah sukses pentingnya menanam pohon untuk menjaga kelestarian air. “Ada satu contoh konkret di kampung saya. Menjelang tahun 2000 itu ada hutan yang ditebangi untuk kemudian menjadi lahan perkebunan. Tetapi akibatnya adalah bahwa sungai pun menjadi kering. Kemudian bahkan ketika musim penghujan terjadi banjir dengan air yang begitu keruh dan kemudian merusak segalanya,” kisahnya.
Sekitar 10 tahun kemudian, lanjutnya, masyarakat desa diasadarkan bahwa apa yang mereka lakukan kitu adalah sesuatu yang keliru. Maka, ada kesepakatan bahwa 15-20 meter dari sungai, semua warga harus menanam bambu. “Sekitar 10 tahun kemudian 2020, bahkan ketika saya pulang terakhir ke sana, bambu-bambu sudah menjadi hijau, sudah tinggi, dan kemudian air gunung menjadi jernih kembali, dan tidak pernah terdengar ada banjir di sana,” imbuhnya.
Mgr Vinsens pun mengajak, bersamaan dengan Musim Ciptaan, kita bersama-sama dipanggil untuk bertobat dan bersama-sama berjuang memulihkan alam ciptaan.
“Maka, mari ketika ada panggilan Musim Ciptaan ini ada satu hal yang penting yaitu bahwa kita juga harus bertobat dan selanjutnya kemudian bersama-sama kita saling berjuang untuk memulihkan alam ciptaan yang sudah rusak ini. Kita sadari segala kekurangan kita bahwa daya kita memang tidak mampu ketika kita bekerja sendirian, maka kita berusaha untuk menjalin kerja sama dengan semua orang yang berkehendak baik yang memungkinkan terjadinya pemulihan alam ciptaan ini,” ajaknya.