Oleh ROMO BAVO BENEDICTUS SAMOSIR, OCSO*
Dentang lonceng pukul tiga seperempat pagi menggema, membuat warga sekitar biara dapat mendengarnya. Namun demikian, ia tidak bersemangat. Pagi itu rasanya ia enggan untuk bangkit dari papan peraduannya. Punggungnya seakan melekat erat di peraduan papan beralaskan tikar pandan itu. Rasanya baru sebentar ia memejamkan mata, namun lonceng memaksanya untuk membuka kelopak matanya yang berat untuk dibuka. Udara yang sangat sejuk di Pertapaan Rawaseneng membuat tangannya seakan menjadi lunglai sehingga tak mampu menyingkapkan selimut dari tubuhnya. Setan yang ada di dalam dirinya menyuruhnya untuk tetap tergeletak di papan peraduan dan tidak perlu menghiraukan suara lonceng itu. Ia merasa badannya masih membutuhkan istirahat lebih lama lagi.
Sementara itu malaikat yang ada di dalam dirinya menasihati untuk segera bangkit meskipun badannya masih membutuhkan istirahat yang lebih lama lagi. Ia diingatkan bahwa suara lonceng itu bukan hanya sekadar dentangan besi yang memintanya untuk bangun tetapi sebagai pengingat akan salah satu tanggungjawab tugas panggilannya yang telah ia amini dan kini harus ia penuhi. Bunyi lonceng itu adalah simbol bahwa komunitas mengajaknya untuk bersama-sama menunaikan misi mereka di dalam Gereja yakni mendoakan mazmur di pagi hari, saat sebagian umat manusia masih terlelap dalam mimpi.
Akhirnya timbul semangat di dalam dirinya, setelah mendengar suara malaikat yang terus menggema di sanubari. Ia bangkit dan mendudukkan dirinya. Beberapa detik ia hening sejenak untuk mengucapkan syukur akan perlindungan-Nya di hari yang telah berlalu dan memohon penyertaan-Nya di hari yang akan datang. Ia singkapkan selimut yang telah memberi kenyamanan di tidur malamnya. Namun ia tidak ingin selimut itu membelenggunya dalam kemalasan diri yang menghalangi untuk menunaikan tugas panggilannya. Ia mempersiapkan diri sebelum menuju tempat yang biasa ia menyanyikan mazmur bersama para saudara. Dan dalam kemerdekaan dan kebebasan batin ia menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai perwujudan pencaharian akan Allah dalam perjalanan hidup rohani. “Hanya dalam kebebasan manusia dapat mengubah dirinya menuju yang baik…martabat manusia membawanya bertindak atas kesadaran dan pilihan bebas, digerakkan secara pribadi dari dalam dirinya dan bukan oleh paksaan dari luar.” (Gaudium et Spes 17)
Kita semua pernah mengalami pergulatan di dalam diri kita ketika menjalankan sebuah tindakan yang benar dan baik di kehidupan sehari-hari. Di satu sisi kita ingin melakukannya namun di sisi lain kelemahan kita, apapun itu bentuknya, menghalangi kita untuk bertindak. Dalam injil Matius 26:41 dikatakan, “Roh memang penurut tetapi daging lemah.” Untuk bisa membebaskan atau memerdekakan diri dari kelemahan diri, selain mohon bantuan rahmat Allah, kita perlu memiliki disiplin diri. Disiplin diri adalah sarana yang membawa kita pada kebebasan dari belenggu kelemahan diri dan agar dapat menyelaraskan diri pada kebaikan dan kebenaran. Dalam konteks inilah, kehidupan bersama entah itu dalam sebuah negara, masyarakat, keluarga dan komunitas memerlukan peraturan atau hukum. Hal ini akan membantu manusia bebas dari ego, kelemahan dan kedagingan diri. Pada akhirnya dengan kebebasan mampu menginternalisasikan huruf dalam peraturan atau hukum ke dalam hidup. Terkadang kita merasa bahwa disiplin diri akan menghalangi kebebasan kita. Bagi sebagian orang, disiplin diri sangat sulit untuk bisa dipahami sebagai jalan menuju kebebasan. Hal itu disebabkan karena kita masih terikat pada kelemahan dan dosa yang kita miliki.
Hal lain yang menjadi penghalang akan kebebasan kita adalah kita mungkin masih bergantung pada harta kekayaan duniawi atau segala bentuk yang membuat diri kita nyaman. Harta kekayaan adalah anugerah, tetapi terkadang kita menjadi terlalu terikat padanya dan membuat hidup kita menjadi tidak bebas dalam menjalani hidup untuk Tuhan. Disiplin diri dengan berbagai macam bentuknya, adalah sebagai sarana untuk memperkuat kehendak kita dan memurnikan keinginan kita, membantu kita mengatasi keinginan duniawi sehingga roh kita dapat lebih menginginkan Allah. Hal ini akan membawa kita pada kebebasan atau kemerdekaan sejati. Kebebasan menjadi ciptaan baru di dalam Kristus (2 korintus 5;17). Kebebasan sejati kita temukan di dalam Allah, seperti yang Yesus katakan di dalam injil Yohanes, “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar akan menjadi murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yohanes 8:31–32). Ketaatan mengarah pada kebenaran. Kebenaran mengarah pada kebebasan. Dia adalah Allah yang sempurna, yang selalu tahu apa yang terbaik untuk kita. Oleh karena itu, kita tidak hanya harus menyesuaikan diri dengan kehendak-Nya, tetapi kita harus menginginkan-Nya, mencari-Nya, dan berhasrat untuk patuh sepenuhnya. Itulah jalan menuju kebebasan sejati
Namun dosa asal merusak kemampuan kita untuk mematuhi Allah dengan firman-Nya secara bebas, membuat kebebasan kita terbatas dan dapat salah (bdk. Katekismus Gereja Katolik 1739). Hanya ketika kita menerima kasih karunia Kristus agar kehendak kita disembuhkan sehingga pilihan kita adalah pilihan yang benar. Kita tidak bisa melakukannya sendiri. Dan untuk kebebasanlah Yesus membebaskan kita, agar kita tidak tunduk pada perbudakan dosa (bdk. Galatia 5:1). Kebebasan adalah anugerah Allah. Kita bersyukur atas kebebasan yang Tuhan berikan kepada kita dan kita diundang untuk menggunakan kebebasan untuk membuat pilihan yang mulia.
Aku melihat sekelompok burung gagak terbang mengitari menara gereja di biara Mount St. Joseph Roscrea. Burung-burung itu terus berputar-putar mengembangkan sayapnya di udara seperti pesawat akrobatik. Melayang-layang di langit biru, burung-burung itu seakan ingin mempertontonkan keindahan akrobatik mereka. Mereka bebas merdeka menjalani kehidupan.
Selamat merayakan hari ulang tahun kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ke-78. Semoga semua warga negara Indonesia hidup bebas, baik dalam menjalankan kewajibannya maupun dalam menerima haknya. Amin!
.*Penulis adalah Rahib dan Imam, Mount Melleray Abbey – Copaquin. Co. Waterford- Irlandia