Makna Alkitab bagi Hidup Kita

Oleh MGR HENRICUS PIDYARTO GUNAWAN, O.CARM*

 

Hakikat Alkitab sebagai Wahyu Allah

Sudah puluhan tahun lamanya Lembaga Biblika Indonesia (LBI), yakni suatu lembaga Konferensi Waligereja Indonesia yang menangani seluk beluk Alkitab, mencanangkan program ini: “Satu Keluarga Satu Alkitab.” Bahkan banyak orang yakin, tidak cukup sebenarnya kalau satu keluarga hanya memiliki satu Alkitab.  Idealnya setiap anggota keluarga memiliki Alkitab sendiri, sebab setiap orang Kristen seharusnya rajin membaca Alkitab, entah secara pribadi, entah bersama dengan anggota keluarganya atau bersama dengan jemaat. Mengapa? Sebab Alkitab adalah Wahyu Allah yang tertulis dalam bahasa manusia. Akan tetapi, kita bisa bertanya lebih lanjut: “Apakah yang sebenarnya dimaksud dengan Wahyu Allah itu?” Makalah ini bermaksud mengajak Anda, istimewanya keluarga-keluarga katolik, untuk mendengarkan hal-hal pokok yang diajarkan secara resmi oleh Gereja Katolik mengenai Alkitab, dan kesimpulan-kesimpulan praktisnya bagi kehidupan kita sehari-hari.

Ajaran yang paling resmi dan lengkap mengenai Alkitab terdapat dalam Konstitusi Dei Verbum yang dikeluarkan oleh Konsili Vatikan II. Konsili besar ini menganut paham yang sangat personal dan historis tentang wahyu Allah. Wahyu Allah bukanlah per­tama-tama ajaran dan perintah yang “di­turunkan” atau “didiktekan” langsung oleh Allah dari surga dalam kurun waktu yang amat singkat. Dengan kata lain, wahyu Allah bukanlah pertama-tama berupa satu buku yang berisi ajaran, kete­tapan dan hukum dari Allah. Sebalik­nya, Wahyu Allah pertama-tama adalah Allah sen­diri yang secara personal ingin me­nya­pa manu­sia, ber­komunikasi dengannya dan berwawancara dengannya. Dan komunikasi personal ini berlangsung berabad-abad lamanya dalam sejarah manusia. Paham perso­nalistis tentang hakikat wahyu ini sudah dikenal sejak dahulu. Menurut pa­ham para Bapak Gereja Barat dan Timur, Alkitab itu bagaikan surat cinta yang ditulis oleh Bapa surga­wi kepada anak-anak-Nya.[1]  Sebagai con­toh ka­mi kutip di sini surat Gregorius Agung kepada temannya, Theo­dorus, yang tabib seo­rang kaisar itu:

“Kata orang, engkau sedang mengerjakan banyak hal yang in­dah dan pen­ting. Tetapi orang-orang juga mengatakan bahwa engkau tidak punya waktu untuk membaca Alkitab. Dengarkan saya baik-baik: seandainya kaisar menulis sepucuk surat kepadamu, beranikah engkau membuangnya ke kotak sampah sebelum membaca seluruhnya? Pasti tidak. Nah, Allah sen­diri telah menulis sepucuk surat cinta demi keselamatan kita … Jadi, belajarlah mengenal hati Allah dari fir­man-firman Allah, agar engkau dapat semakin merindukan keabadian.”

Bagaimana kita membaca surat cinta itu? Baiklah kita bandingkan dengan surat cinta yang ada di antara dua manusia yang saling mengasihi. Seorang ibu pernah memberi kesaksian bahwa surat cinta yang dia terima dari suaminya (ketika itu masih pacarnya!) masih dia simpan sampai sekarang. Surat itu sudah lusuh karena sering dia baca kembali. Ketika dia membaca ulang surat itu, dia tidak akan mengatakan, “Ah, untuk apa membaca surat ini lagi, toh saya sudah mengetahui isinya.” Tidak, yang penting dari surat cinta bukanlah mencari informasi, melainkan berjumpa dengan pribadi yang menulis surat itu. Surat cinta tidak bisa diperlakukan seperti resep masakan. Begitu informasi resep sudah diketahui dan dapat dipraktikkan, resep itu disimpan dan mungkin sekali tak pernah lagi dia baca. Begitu juga dengan Kitab Suci. Surat cinta dari Bapa surgawi atau dari Sahabat Sejati itu perlu dibaca dan dibaca, sebab dengan demikian kita bertemu dengan Allah yang ingin menyapa kita.

Begitu juga Konsili Vatikan II dalam konstitusi Dei Verbum mengajarkan demikian, “Dalam kebaikan dan kebijaksanan-Nya Allah berkenan mewahyukan diri-Nya dan memaklumkan rahasia kehendak-Nya (lih. Ef 1:9) … Maka de­ngan wahyu itu Allah yang tidak kelihatan (lih. Kol 1:15; 1 Tim 1:17) dari kelimpahan cinta-kasih-Nya menyapa manusia sebagai saha­bat-sahabat-Nya (lih. Kel 33:11; Yoh 15:14-15), dan bergaul dengan mereka (lih. Bar 3:38), untuk mengun­dang mereka ke dalam persekutuan dengan diri-Nya dan menyambut mereka di dalamnya” (no. 2) …”Da­lam kitab-kitab suci Bapa yang ada di sorga penuh cin­ta kasih men­jumpai para putera-Nya, dan berwawancara dengan mereka” (no. 21).

Sedangkan da­lam dokumen lain yang bernama Sacrosanctum Concilium  Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa umat harus sangat meng­hormati pem­bacaan Injil, karena pada waktu itu “Kristus datang untuk berbicara de­ngan mere­ka” (no. 35). Jadi, Alkitab itu sangat berwibawa karena melalui Alkitab itu manusia tidak hanya bertemu dengan perintah Allah, peraturan-peraturan hidup atau penge­tahuan tentang Allah, melainkan pertama-tama berjumpa de­ngan Allah sendiri yang ingin berbicara kepada hati manusia. Dengan membaca serta merenungkan Sabda Allah, manusia mendengarkan Allah berbicara dari hati ke hati dengannya, dan dengan demikian manusia memasuki suatu hubungan pribadi dengan Allah. Membaca dan merenungkan Sabda Allah sudah merupakan suatu doa, meskipun sering kali kita tidak memahami makna ayat-ayat Alkitab.

Dalam Dei Verbum no. 2 yang dikutip di atas diajarkan dua hal penting berikut ini:  Pertama, Allah mewah­yukan diri berarti Allah menyatakan diri atau pribadi-Nya sen­diri (sebagai objek uta­ma wahyu) dan rencana keselamatan-Nya (sebagai objek se­kunder wahyu). Kedua, tu­juan wahyu ilahi itu cuma satu: keselamatan abadi manusia yang berupa persatuan dengan Allah (bdk 1 Yoh 1:1-5); jus­tru untuk itulah Allah per­lu juga mewahyukan kehendak-Nya, hu­kum-hukum-Nya, jalan-jalan-Nya supaya manusia bisa sampai ke per­­satuan tersebut.

Wahyu ilahi itu terjadi secara pelahan-lahan dalam sejarah manusia, selama ribuan tahun. Jadi, Allah mewahyukan diri secara bertahap, sambil mengikuti perkembangan kemampuan manusia. Hal itu dilakukan Allah melalui kata dan perbuatan yang terjalin sangat erat. Contoh karya Allah adalah panggilan Abram dari daerah orang-orang yang tidak mengenal Allah yang benar, pembebasan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir di bawah pimpinan Musa, dan sebagainya. Selain berbuat sesuatu, Allah juga menyapa umat Israel melalui para hamba yang diutus Tuhan (Musa, para nabi, dsb.). Jadi, Tuhan Allah memperkenalkan diri melalui karya dan sabda yang saling berkaitan: karya meneguhkan realitas rohani, sedangkan kata-kata menyiarkan dan menerangkan rahasia yang tercantum dalam karya-karya (Dei Verbum no. 2). An­daikan Allah hanya bersabda mela­lui mulut para na­bi, tetapi tidak menyertainya dengan perbuatan nyata, mungkin sekali sabda Allah itu tidak banyak artinya bagi manusia. Sebaliknya, an­daikata Allah hanya berbuat sesuatu untuk umat-Nya, tetapi tanpa ada kata-kata yang menje­laskan maknanya, mungkin sekali umat salah pa­ham dalam menafsirkan makna perbuatan Allah itu atau malah tidak mampu meli­hatnya sebagai karya Allah. Dengan latar belakang paham mengenai wahyu ilahi semacam ini­lah, maka Yesus Kristus disebut wahyu Allah yang paling sempur­na. Itu berarti, melalui Pribadi, kata dan karya Yesus, Allah telah menyatakan diri-Nya kepada manusia secara paling sem­purna. Untuk memperke­nalkan diri-Nya serta kehen­dak-Nya, Allah tidak bisa berbuat lebih sempurna daripada melalui Putera-Nya sendiri yang telah menjadi manusia. Inilah paham dasar menge­nai Wahyu ilahi menurut Gereja Katolik.

Boleh dikatakan, pada umumnya Wahyu Allah itu tidak langsung dituliskan ke dalam bahasa manusia, melainkan diimani lebih dahulu oleh bangsa Israel  dan oleh jemaat Yesus Kristus, lalu dihayati dalam ibadat serta dalam kehidupan rohani mereka. Itulah yang disebut Tradisi. Tradisi adalah Sabda Allah sejauh belum dituliskan dalam bahasa manusia, Sabda yang belum “dibekukan” dalam Alkitab. Tradisi adalah Sabda Allah sejauh masih berupa iman kepada Sabda Allah yang kemudian dihayati dalam dalam ibadat, syahadat, doa-doa, dan dalam ajaran resmi para pemimpin jemaat. Tradisi inilah yang kelak dituliskan oleh pengarang suci yang adalah manusia biasa yang memiliki keterbatasan namun yang dibantu secara istimewa oleh Roh Kudus sehingga mampu menyampaikan isi kebenaran Wahyu Allah dengan setia. Jadi, pengarang Alkitab adalah Allah sendiri tetapi sekaligus para penulis suci. Keduanya sama-sama pengarang. Oleh karena itu bisa dipahami mengapa ada paham-paham yang dalam perkembangan sejarah harus dikoreksi oleh paham yang lebih sempurna, mengapa ada pandangan-pandang­an yang masih primitif, seperti misalnya pengetahuan tentang su­sunan alam semesta yang keliru karena tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan modern, dan sebagainya. Kesalahan-kesalahan semacam itu berasal dari manusia, sedangkan ajaran-ajaran Alkitab yang membawa manusia ke dalam hubungan dengan Allah yang menyelamatkan itu berasal dari Allah.

Sadar akan arti dan fungsi Sabda Allah ini, maka Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa Alkitab merupakan santapan rohani bagi je­maat dan disejajarkan dengan meja santapan rohani lainnya, yakni meja Tubuh dan Darah Tuhan atau Ekaristi (Dei Verbum 21, 26). Menurut Presbyterorum Ordinis no.18, makan dari kedua meja rohani (yakni meja Sabda dan meja Ekaristi) merupakan dua tindakan yang paling penting untuk me­nimba kekuatan rohani dan untuk memupuk jiwa orang-orang kristen. Gereja Ka­tolik bukan Gereja Sakramen saja, tetapi juga Gereja Sabda. Peranan Alkitab dalam ibadat Katolik amat pen­ting, lebih-lebih bacaan Injil harus dihormati sebagai yang paling penting dari antara bacaan-bacaan Alkitab lainnya (Sacrosanctum Concilium, no. 35 dan 24). Dalam perayaan Ekaristi (=misa) setiap hari biasanya ada dua bacaan Alkitab, sedang pada hari Minggu, ada tiga bacaan dari Alkitab yang kemudian di­jelaskan dalam khotbah oleh imam. Lalu dalam Ibadat Ha­rian, yakni doa-doa yang wajib didoakan oleh kaum berjubah atau mereka yang menghayati hidup khusus untuk Tuhan, praktis seluruh kitab Mazmur dan banyak kidung Al­kitab lain­nya dipakai sebagai bahan doa.

Dahulu, dari zaman setelah munculnya Reformasi hingga Konsili Va­tikan II, memang pembacaan Alkitab oleh umat dibatasi. Gereja Katolik khawatir, ja­ngan-jangan orang menafsir Alkitab secara gegabah. Maka Alkitab yang lengkap pada waktu itu merupakan barang langka. Jemaat biasa paling-pa­ling mendengar bacaan Alkitab dalam ibadat di Gereja dan mendengarkan pen­jelasannya dari mulut imam. Boleh dikatakan Sabda Allah dalam arti tertentu dijauhkan dari umat. Namun Konsili Vatikan II sadar bahwa ke­khawatiran akan tafsiran yang gegabah tidak boleh menjauhkan Alkitab dari umat. Gereja harus membuat Sabda Allah itu dekat pada hati dan mulut je­maat untuk dilaksanakan (bdk. Ul 30:14). Tetapi untuk itu dibu­tuhkan pen­dampingan dari mereka yang lebih mengetahui seluk-beluk Alkitab, sehingga jangan sampai mereka binasa sendiri karena penafsiran yang sewenang-we­nang (bdk 2 Petrus 3:16). Namun, Konsili Vatikan II telah “mengembalikan” Alkitab kepada umat Katolik. Kalau dahulu mereka tidak bebas membaca Alkitab, sekarang malah sangat dian­jurkan agar mereka membaca Alkitab, tidak hanya pada waktu mengikuti Ekaristi pada hari Minggu saja, melainkan juga pada waktu-waktu lain. Kelompok-kelompok pendalaman Alkitab muncul di mana-mana. Mereka ingin mencintai Alkitab seperti saudara-saudari mereka dari Gereja Reformasi. Kebanyakan dari keluarga Katolik di perkotaan sudah memiliki Alkitab yang lengkap sendiri. Hal ini memang sangat menggembirakan. Setiap tahun Ge­reja Katolik mengadakan hari minggu, bahkan bulan Alkitab, untuk meng­ga­lakkan pendalaman Alkitab. Sebagai penutup bagian ini baiklah kami kutip Dei Verbum no. 25,

“Begitu pula Konsili suci mendesak dengan sangat dan istimewa semua orang beriman, terutama para religius, supaya dengan se­ring­kali membaca kitab-kitab ilahi memperoleh “pengertian yang mulia akan Yesus Kristus” (Flp 3:8). “Sebab tidak mengenal Alkitab berarti tidak mengenal Kristus.”

Manfaat membaca Alkitab

Dari Alkitab sendiri kita bisa menarik kesimpulan berikut ini tentang manfaat sabda Allah bagi hidup umat beriman: Pertama, memberikan pengertian yang lebih besar “kepada orang-orang bodoh” (Mzm 119:130) tentang jalan-jalan yang dike­hen­daki Tuhan (Mzm 119:1-8). Setiap hari, dalam Doa Bapa Kami, kita berdoa, “Jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga.” Akan tetapi, bagaimana kita bisa melakukan kehendak Allah kalau kita jarang membaca Alkitab?

Kedua, mengajar kita bagaimana kita harus bersikap dan bertindak, seba­gaimana dikatakan oleh Mazmur 119:105, “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku” atau seperti kata Paulus dalam 2 Tim 3:15-17 ini,  “Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan me­nun­tun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus. Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk men­didik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk perbuatan baik.”

Dari nasihat Paulus kepada Timotius itu kita dapat menyimpulkan banyak hal sehubungan dengan manfaat membaca Alkitab: memberi hikmat (=pengetahuan praktis mengenai apa yang seharusnya dibuat orang) kepada orang yang kurang bijak, mengajar dan menyatakan kesalahan kita (bdk 1 Kor 10:6-10, di mana dikatakan bahwa pengalaman dan kesalahan umat Israel dituliskan untuk menjadi “peringatan bagi kita”). Dengan demikian, pembacaan Alkitab sekaligus dapat melindungi kita dari dosa. Yesus sendiri dapat mengalahkan ketiga godaan Iblis dengan berpegang teguh pada firman-firman Allah (Mat 4:1-11). Setiap serangan si Iblis Dia patahkan dengan mengatakan, “Ada tertulis …. (Mat 4:4.7.10). Jadi, Yesus mengalahkan Iblis dengan menggunakan “pedang Roh, yaitu firman Allah” (Ef 5:17). Begitu juga banyak orang kudus segera membuka dan membaca firman Tuhan, apabila mereka digoda oleh Iblis. Sesungguhnya firman Allah itu merupakan kekuatan bagi orang beriman!

Ketiga, Sabda Allah itu amat kaya dengan ajaran luhur. Tak pernah orang dapat menguras isinya sampai habis. Tak pernah ada orang yang merasa sudah memahami seluruh isi Kitab Suci.

Keempat, Sabda Allah itu bisa menyapa kita dalam pelbagai situasi hidup. Jika kita sedih, Sabda Allah bisa menghibur; jika kita mengalami kesulitan Sabda Allah bisa memberikan pencerahan; bila kita putus asa, Sabda Allah itu memberi pengharapan; bila kita berbuat baik, Sabda Allah memberi pujian; bila kita bersalah, Sabda Allah itu menegur; bila kita “sakit,” Sabda Allah itu menyembuhkan (Kebij 16:12.26; Mzm 107:20). Masih banyak lagi manfaat membaca dan menghayati Sabda Allah. Di atas semuanya itu, Sabda Allah adalah Sabda yang memberi kita kehidupan kekal melalui Yesus Kristus (Yoh 6:68). Dengan kata lain, jika kita membaca Sabda Allah dengan penuh iman, dan benar-benar menghayatinya, kita bertemu dengan Allah sendiri dan boleh bersatu dengan kehidupan Allah sendiri. Mengenai hal ini patut kita renungkan 1 Yoh 1:1-4 ini, “Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan tangan kami tentang Firman hidup itulah yang kami tuliskan kepada kamu. Hidup itu telah dinyatakan, dan kami telah melihatnya dan sekarang kami bersaksi dan memberitakan kepada kamu tentang hidup kekal, yang ada bersama‑sama dengan Bapa dan yang telah dinyatakan kepada kami. Apa yang telah kami lihat dan apa yang telah kami dengar itu, kami berikan kepada kamu juga, supaya kamu pun beroleh persekutuan dengan kami. Dan persekutuan kami adalah persekutuan dengan Bapa dan dengan Anak-Nya, Yesus Kristus.”

Dengan bahasa yang indah dan singkat padat Konstitusi Dei Verbum mengajarkan manfaat Sabda Allah sebagai berikut, “Adapun sedemikian besarlah daya dan kekuatan sabda Allah, sehingga bagi Gereja merupakan tumpuan serta kekuatan, dan bagi putera- putera Gereja menjadi kekuatan iman, santapan jiwa, sumber jernih dan kekal hidup rohani. Oleh karena itu bagi Kitab Suci berlakulah secara istimewa kata-kata: “Memang sabda Allah penuh kehidupan dan kekuatan” (lbr 4:12), “yang berkuasa membangun dan mengurniakan warisan di antara semua para kudus” (Kis 20:32; lih. 1Tes 2:13).”

Alkitab dalam kehidupan kita sehari-hari

“Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah”, kata Yesus mengutip Ulangan 8:3. Oleh karena itu Konsili Vatikan II, sebagaimana sudah dikutip di atas, sangat menganjurkan agar semua orang kristen membaca Alkitab sebagai sumber hidup rohani mereka. Sebagaimana badan jasmani membutuhkan makanan jasmani setiap hari, begitu juga kehidupan rohani kita membutuhkan santapan rohani setiap hari, terutama santapan Sabda Allah. Seperti makanan jasmani, Sabda Allah adalah makanan rohani yang perlu disantap secara teratur, dan bukan kalau orang kebetulan merasa ingin membaca Alkitab saja. Seperti halnya dengan makanan jasmani, Sabda Allah adalah makanan rohani yang perlu disantap secara pelan-pelan dan dicerna secara pelan juga. Tergesa-gesa menelan makanan bukanlah suatu kebiasaan baik sebab hal itu merugikan kesehatan. Perlu waktu untuk menyantap makanan jasmani maupun rohani.

Orang kristen harus bersikap seperti apa yang dikatakan dalam Yes 50:4-6: “Tuhan ALLAH telah memberikan kepadaku lidah seorang murid, supaya dengan perkataan aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu. Setiap pagi Ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid. Tuhan ALLAH telah membuka telingaku, dan aku tidak memberontak, tidak berpaling ke belakang.”

Dengan rajin membaca dan merenungkan Alkitab, pikiran dan hati kita pelan-pelan diubah menjadi pikiran dan hati Kristus, sehingga kita bisa berkata seperti Santo Paulus, “Tetapi kami memiliki pikiran Kristus” (1 Kor 2:16). Setiap hari dalam mendoakan doa Bapa Kami kita berkata, “Jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga”. Namun bagaimana kita dapat melakukan kehendak-Nya, kalau kita tidak mengetahui apa kehendak-Nya bagi kita? Dan bagaimana kita dapat mengetahui kehendak Tuhan, kalau kita jarang sekali membaca dan merenungkan Alkitab?

Oleh karena itu sebaiknya kita usahakan agar kita membaca dan merenungkan Sabda Allah sesering mungkin, sedapat mungkin setiap hari. Kita bisa membaca satu kitab dari awal hingga akhir. Lalu pindah ke kitab lain. Untuk itu perlu diperhatikan bahwa tidak setiap kitab mudah dibaca. Sering membosankan juga, karena orang tidak mengertinya. Namun ketekunan itu penting. Kesaksian banyak orang mengatakan bahwa pada mulanya Alkitab itu memang sulit, namun semakin lama orang akan semakin menjadi biasa dan semakin mudah memahami amanatnya. Kita bisa juga membaca Alkitab menurut penanggalan liturgi Gereja yang mencantumkan daftar bacaan setiap hari.

*Penulis adalah Uskup Keuskupan Malang

 

    [1]  John Scullion, The Theology of Inspiration (Cork: The Mercier Press, 1970) 21.

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *