Gereja Berpolitik?

Oleh BAPAK JULIUS KARDINAL DARMAATMADJA, SJ

Keterlibatan Gereja dalam Politik

Bulan Agustus merupakan bulan Ajaran Sosial Gereja (ASG). Selayaknya pada bulan Agustus ini kita menyegarkan kembali penghayatan kita mengenai ASG. Apalagi kita sudah memasuki masa menjelang Pemilu tahun 2024. Ada hubungan erat antara salah satu tugas Gereja dan politik.  Tugas negara yaitu mengusahakan kesejahteraan umum bagi seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia. Untuk kita bangsa Indonesia, tugas tersebut dicantumkan dalam sila ke-5, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Gereja sangat peduli dan perlu terlibat terhadap terlaksananya kesejahteraan hidup masyarakat yang adil dan merata. Dari semangat peduli terhadap kesejahteraan hidup di dunia inilah yang akhirnya melahirkan ASG.

Memang benar bahwa menurut hukum Gereja Katolik, uskup, imam dan biarawan-biarawati tidak diperkenankan berpolitik praktis, yang berarti terlibat langsung menjadi anggota partai tertentu, menjadi anggota DPR/DPRD atau menerima jabatan publik, yang membawa serta partisipasi dalam kuasa sipil. (bdk. KHK atau Kitab Hukum Kanonik kanon no. 285 dan 287).  Meskipun para uskup, imam dan biarawan-biarawati tidak diperkenankan menjadi anggota partai, anggota DPR/DPRD, atau duduk dalam pemerintahan, namun itu tidak berarti bahwa tugas uskup, imam dan biarawan-biarawati hanya terbatas di bidang keagamaan dan menghapus kepedulian bahkan keterlibatan di bidang politik.

Bagi uskup, imam dan biarawan-biarawati, keterlibatan mereka di bidang politik adalah suatu keharusan dan sebagai tugas mulia. Tugas mulia Gereja ini dapat dilaksanakan lewat advokasi dan kritik yang membangun, dan penyampaikan pencerahan kepada kaum awam. Konferensi uskup-uskup Indonesia, setiap tahun mengeluarkan Surat Gembala, yang isinya tidak hanya soal keagamaan, melainkan juga sesuai situasinya, akan menyampaikan buah pikiran dan refleksinya menanggapi situasi sosial kemasyarakatan tertentu, seperti tentang soal para migran, soal perdagangan manusia, dan lain-lain.

Setiap kali menjelang Pemilu, konferensi uskup-uskup Indonesia biasanya juga menyampaikan surat gembala  menanggapi hal itu. Uskup, imam dan biarawan-biarawati ini baru sebagian kecil dari Gereja. Ada bagian Gereja yang sangat besar jumlahnya, yaitu yang disebut kaum awam. Justru tugas kaum awamlah: menyucikan kehidupan manusia di dunia dari dalam bagaikan garam. Tugas suci dan mulia kaum awamlah menggarami kehidupan sosial, ekonomi, politik dan kemasyarakatan lainnya. Merekalah yang diharapkan berdasarkan ASG, terjun langsung di bidang politik, menjadi anggota DPR/DPRD, ketua RT/RW, kepada desa, camat, bupati, walikota, gubernur dan lainnya. Mereka ini hendaknya mendapatkan pencerahan mengenai ASG dari uskup dan para imam mereka, sehingga mereka mampu melihat bagaimana seharusnya melaksanakan tugasnya dengan semangat ASG. Dengan cara yang berbeda seluruh Gereja terlibat dalam bidang politik.

Terlibat dengan sinar ASG

a. Akar ASG dalam Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB)

Memang zaman PL dan PB, belum ada ASG. ASG sebenarnya baru muncul ketika di tengah masyarakat muncul tatanan sosial baru, yang melahirkan kesengsaraan hidup sebagian besar masyarakat, sehingga ditanggapi oleh pimpinan Gereja dengan ajaran-ajarannya. Dimulai oleh Paus Leo XIII dan selanjutnya para paus mulai menyampaikan ajaran sosialnya. Namun cinta sesama, semangat peduli terhadap kesejahteraan hidup sesama di dunia ini yang menjiwai ASG sudah berakar jauh sejak Perjanjian Lama, kemudian disempurnakan oleh Tuhan Yesus dalam Perjanjian Baru dan berkembang dalam Gereja sampai sekarang. Hanya kepada bangsa keturunan Abrahamlah Allah berkenan menyampaikan hukum yang mengatur cara hidup yang baik bagi manusia di dunia. Itu terjadi pada saat umat Israel, yang keluar dari perbudakan di Mesir di bawah pimpinan Musa sampai di kaki gunung Sinai. Di gunung Sinai inilah Musa menerima 10 Perintah Allah yang ditulis dalam 2 kepingan batu. Di situ telah jelas kewajiban manusia terhadap Allah dan kewajiban manusia terhadap sesamanya. Itulah inti dari ASG yang kemudian dalam Perjanjian Baru terumuskan menjadi Hukum Kasih Ganda: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Mat 22:37-39). Dalam Injil Yohanes, ditegaskan bahwa mengasihi sesama tidak cukup kalau ukuran standarnya adalah diri sendiri, tetapi harus mengacu pada Yesus Kristus. Yaitu mencintai sesama seperti Yesus telah mencintai mereka. Rumusannya: “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” (Yoh13:34-35). Hukum Kasih Ganda itu kecuali menjadi sumber rujukan segala macam kegiatan sosial kemasyarakatan, juga menjadi ciri khas murid-murid Yesus. Maka diharapkan semua warga Gereja tanpa kecuali, sebagai murid-murid Yesus, terlibat aktif sesuai kemampuan dan situasi hidupnya, ikut serta mengusahakan kebaikan hidup bersama di tengah masyarakat

b. Keterlibatan sosial tampak pada awal Gereja

Kita  tahu bahwa awal tumbuhnya Gereja ditandai oleh kehidupan berdasarkan kasih kepada Allah dan kepada sesama. Kasih kepada sesama ini kecuali terungkap dalam hidup sebagai saudara, juga terungkap menjadi kepedulian akan kesejahteraan hidup sesamanya di dunia, terlebih yang menyangkut kehidupan sosial ekonomi. Bentuk awalnya adalah dana karitatif, memberi bantuan finansial atau bentuk lain secara langsung (bdk Kis 2:44-45). Karena dianggap mendesak, para rasul bahkan menciptakan petugas-petugas Gereja yang baru yaitu mengangkat 7 diakon, untuk tugas khusus melayani meja atau melayani  kesejahteraan jasmani para janda dan mereka yang membutuhkannya. (bdk. Kis 6:1-6).

c. ASG merupakan kumpulan ajaran sosial Gereja yang disampaikan para Paus, resminya sejak Paus Leo XIII (1891) sampai sekarang. Termasuk dalam sinode para uskup dan dalam Konsili Vatikan II.

Mengapa? Karena saat itu mucul tatanan sosial baru, yang sebelumnya tidak ada. Yaitu tatanan sosial baru yang diciptakan oleh revolusi industri. Dalam tatanan sosial tersebut timbul masalah ketidakadilan sosial, karena kelompok kaum buruh industri yang jumlahnya sangat besar, hidup miskin dan perlu dilindungi oleh Gereja. Ketidakadilan sosial melahirkan yang disebut kemiskinan struktural. Prinsip mencintai sesama secara pribadi dan menolong secara langsung sudah tidak memadai lagi. Sehingga untuk mengatasinya memerlukan analisis sosial, untuk menghilangkan penyebab ketidakadilan sosial itu. Untuk itu perlu ada ajaran dan arahan baru dari Gereja, agar tatanan sosial yang tidak adil dapat diperbaiki. Untuk itulah Paus Leo XIII mengeluarkan Ensiklik Rerum Novarum (Hal-hal Baru). Sebagai contoh adanya kemiskinan struktural di Indonesia, kita punya kaum buruh. Seorang buruh yang mendapat Upah Minimum Regional, tak mampu menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi. Dengan pendidikan rendah, anak-cucu mereka pun memiliki nasib seperti orang-tua mereka. Ini yang sering disebut kemiskinan struktural, situasi miskin yang diciptakan dalam mekanisme kehidupan masyarakat, terlebih terkait dengan tatanan ekonomi dan politik nasional dan global.

Surat Ensiklik Paus Leo XIII Rerum Novarum, menyebutkan beberapa prinsip sebagai berikut: (lihat: https://paroki-sragen.or.id/2014/08/20/ajaran-sosial-gereja/: Menghormati hak kepemilikan pribadi (RN 4-5). Manusia dapat memimpin dirinya sendiri untuk bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri (RN 6-8). Menghormati hak- hak keluarga (RN 9-10). Sistem sosialisme harus ditentang, karena mengambil alih hak dan tanggung jawab orang tua dalam keluarga (RN 12). Gereja dibutuhkan untuk membantu mengarahkan nilai-nilai kehidupan dan perbuatan manusia (RN 13-14). Hubungan antara para pengusaha/pemilik dan pekerja, harus selaras, untuk menjaga keseimbangan kehidupan politik dan masyarakat (RN 15-17). Kebenaran yang besar/penting: Kristus menyatukan kedua kelas dalam masyarakat dengan ikatan persahabatan dan saling pengertian (RN 18). Penggunaan uang dengan bijaksana (RN 19). Martabat pekerja harus diperhatikan dengan semangat persaudaraan (RN 20-21). Gereja dapat berperan membantu negara, dengan berpihak pada kaum miskin (RN 22-26). Keadilan untuk semua pihak (RN 27). Pemerintah bertugas sebagai pelindung masyarakat, terutama dalam melindungi secara hukum akan hak kepemilikan pribadi (RN 29-30). Hak-hak para pekerja juga harus dilindungi, yaitu kepemilikan mereka, dan terutama hak/kepentingan mereka dalam hal rohani dan mental (RN 31-33). Jam kerja, harus memberikan waktu istirahat; dan dimungkinkannya kaum wanita agar dapat mengasuh anak-anak mereka (RN 34). Keuntungan adanya kepemilikan: manusia akan dapat bekerja lebih keras demi mendukung kehidupan keluarganya (RN 35). Asosiasi pekerja, membantu para pekerja dan menghubungkan mereka dengan pemilik/pengusaha (RN 36-38). Prinsip organisasi/asosiasi: membantu memperbaiki kaum pekerja memperbaiki keadaan mereka: yaitu jiwa, raga dan kepemilikan mereka, dan juga terutama hubungan mereka dengan Tuhan (RN 41-44).

Sejak Paus Leo XIII, banyak paus yang juga menyampaikan Ajaran Sosial Gereja. Paroki Sragen  menyebutkan (Lihat ibid.): surat ensiklik Paus Leo XIII (1891) Rerum Novarum: Tentang kondisi pekerja. Quadragesimo Anno, Rekonstruksi Keteraturan Sosial, surat ensiklik Paus Pius XI (1931). Mater et Magistra, Kristianitas dan Perkembangan Sosial, surat ensiklik Paus Yohanes XXIII (1951). Pacem in Terris, Damai di Buni, surat ensiklik Paus Yohanes XXIII (1963). Konsili Vatikan II: Dignitatis Humanae, Deklarasi tentang Kebebasan Beragama (1965). Konsili Vatikan II: Gaudium et Spes, Gereja di Dunia Modern (1965).  Populorum Progressio, surat ensiklik Paus Paulus VI, tentang Perkembangan Bangsa-bangsa (1967). Octogesima Adveniens, surat apostolik Paus Paulus VI, memperingati Rerum Novarum (1971). Keadilan di Dunia, (Justice in the World), Sinoda para Uskup, 30 Nov 1971. Laborem Exercens, surat ensiklik Paus Yohanes Paulus II tentang Martabat Pekerjaan (1981). Sollicitudo Rei Socialis, surat ensiklik Paus Yohanes Paulus II, memperingati 20 tahun Populorum Progressio (1987). Centesimus Annus, surat ensiklik Paus Yohanes Paulus II, memperingati 100 tahun Rerum Novarum (1991). Caritatis in Veritate, Kasih dan Kebenaran, surat ensiklik Paus Benediktus XVI (2009).

Dengan sinar Ajaran Sosial Gereja di atas siapa yang harus menindaklanjuti? Tentu bukan umat Gereja yang sederhana dan tidak mengenyam pendidikan tinggi. Mereka dapat bertindak langsung berbuat kasih kepada sesama yang membutuhkan bantuan karitatif. Yang harus mempelajari dengan analisa sosial dan memberi pengarahan adalah uskup, imam, biarawan-biarawati atau awam yang memiliki kemampuan untuk itu. Sedangkan yang melaksanakan di lapangan adalah umat awam yang duduk di dalam pemerintahan atau para politisi yang menjadi anggota legislatif, yudikatif dan para pengusaha serta para pimpinan angkatan bersenjata. Keterlibatan mereka untuk membuat masyarakat sejahtera, secara adil dan merata (Sila ke-5), praktis dapat dirumuskan dengan tegas: menghapus kemiskinan, atau mengentaskan rakyat miskin menjadi sejahtera.

Menghadapi pemilu

Tentu kita semua berharap, bahwa hasil Pemilu melahirkan presiden dan wakil presiden, gubernur, walikota, bupati, wakil rakyat di tingkat pusat dan daerah, yang  lebih baik dari sebelumnya. Yang mampu tidak hanya membuat negara maju secara ekonomis tetapi tetap ada yang miskin, melainkan negara yang maju, tetapi maju bersama, tak ada yang ditinggalkan. Maju tidak hanya secara ekonomis, melainkan makin baik sebagai orang beriman dan menghayati hidupnya di tengah masyarakat dengan akhlak mulia. Sehingga hasilnya sebagai warga bangsa, kita semua berwatak luhur, tidak korupsi, tak ada pelecehan seksual, menghormati wanita dan anak di bawah umur, tidak membiarkan ada saudara sebangsa yang miskin. Sangat menghibur hati bahwa Ibu Megawati dalam sambutan pada acara puncak bulan Soekarno, memberi perhatian terhadap orang miskin, mengikuti semangat Bung Karno. Mengapa ideologi Pancasila tumpul pada Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab? Sehingga kita kurang peduli terhadap nasib buruk sesama warga bangsa (Sila 3) dan dengan demikian tumpul pula sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Sila 5)? Padahal cita-cita Bung Karno sebagai pendiri bangsa, dalam negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila itu tidak ada lagi orang miskin (Sila 5).

Dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara kita (lihat republika.co.id): “Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”. “Negara dengan segala kekayaannya adalah untuk semua tanpa kecuali.” Kita yang menghadapi pemilu perlu ingat akan cita-cita pendiri bangsa ini. Sikap yang demikian juga menjadi semakin jelas ketika Soekarno berbicara mengenai sila 5 yaitu prinsip kesejahteraan. Prinsip kesejahteraan ini ia sebut: “prinsip ketidak akan adanya kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka.” Jadi, cita-cita kemerdekaan adalah kesejahteraan yang merata, sampai tidak ada orang miskin. Ini sangat sejalan dengan prinsip Ajaran Sosial Gereja. Lebih lanjut, ia menyebut bahwa penghalang tercapainya kesejahteraan yang adil dan merata, karena belum ada demokrasi ekonomi. Yang ada baru demokrasi politik, seperti di Amerika. “Di Amerika ada suatu badan perwakilan rakyat, dan tidakkah di Amerika kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis merajalela?”. Karena “itu hanyalah  politik demokrasi saja; semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid, — tak ada keadilan sosial,  tidak ada ekonomi demokrasi sama sekali.”. Untuk menjamin terlaksananya kesejahteraan rakyat yang merata, perlu ada ekonomi demokrasi, bukan ekonomi kapitalistis.

Cita-cita menghapus kemiskinan dan mengusahakan kesejahteraan hidup masyarakat seperti telah diuraikan sebelumnya, sesuai dengan Ajaran Sosial Gereja. Gereja dengan ASG-nya telah memiliki tradisi yang cukup kuat, sehingga terungkap juga dalam pernyataan para kudus yang sangat keras dan tajam. St. Yohanes Krisostomus mengatakan: “Tidak membiarkan kaum miskin turut menikmati harta miliknya, berarti mencuri dari mereka dan membunuh mereka. Yang kita miliki bukanlah harta milik kita, melainkan milik mereka. (Laz 1,6 dikutip dalam KGK no 2446).” Demikian pula St. Gregorius Agung menyatakan: “Kalau kita memberikan kepada kaum miskin apa yang sangat dibutuhkan, kita tidak memberi kepada mereka secara sukarela pemberian pribadi, melainkan kita mengembalikan kepada mereka, apa yang menjadi hak mereka. Dengan berbuat demikian, kita lebih banyak memenuhi kewajiban keadilan, daripada melaksanakan perbuatan cinta kepada sesama”. (past. 3,21, dikutip dalam KGK  2446). Kita umat kristiani sering mengira, bahwa apa-apa yang kita berikan kepada orang miskin dan papa, itu wujud belas kasih kita yang sukarela, berarti tergantung dari kebaikan kita yang dalam posisi boleh memberi atau tidak memberi. Tetapi ajaran Gereja justru lain. Dalam bicara tentang Kerasulan Awam, disebutkan: “Hendaknya tuntutan-tuntutan keadilan dipenuhi, supaya apa yang sudah harus diserahkan berdasarkan keadilan, jangan diberikan sebagai hadiah cinta kasih. (AA 8, dikutip dalam KGK no 2446).

Penutup

Pemilu adalah kesempatan untuk pembaruan. Seluruh komponen Gereja perlu terlibat. Pimpinan Gereja perlu menyampaikan saran-sarannya diterangi Ajaran Sosial Gereja, dan kaum awam melaksanakannya di lapangan, sehingga kita tidak akan memilih orang sembarangan. Kita pantas menyelidiki rekam jejaknya, dan tidak dikelabui oleh pencitraannya sekarang demi Pemilu. Perlu juga menyimak apa yang akan menjadi visi dan misi capres/cawapres atau calon legislator. Apakah memiliki empati terhadap masalah sosial, penderitaan manusia, menjunjung tinggi akhlak mulia, dan menekankan program pengentasan kemiskinan strutural? Gereja memang harus terlibat di bidang politik, demi kesejahteraan yang adil dan merata. Ada yang terlibat langsung yaitu para awam, ada yang lewat saran, kritik atau advokasi, yaitu para uskup, imam dan biarawan-biarawati. Itu semua dilakukan Gereja, supaya tidak ada lagi orang miskin.

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *