“Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga” (Gaudium et Spes, 1965).
Ini adalah kalimat pembukaan Dokumen Konsili Vatikan II Gaudium et Spes, Kegembiraan dan Harapan. Dokumen ini meringkas perjalanan Gereja selama hampir 2000 tahun memahami dirinya terhadap dunia sampai pada titik ketika akhirnya para bapa konsili sadar bahwa Gereja kita semua itu adalah bagian dari dunia. Demikian Provinsial Serikat Jesus Provinsi Indonesia Pater Benedictus Hari Juliawan, SJ mengawali Webinar Edukasi Kebangsaan “Gereja di Tengah Dunia”, 13 April 2023 lalu.
“Kita ini berada di dunia tapi bukan sekadar berada di dunia, tetapi sungguh-sungguh kita sebagai pengikut Kristus, paguyuban Umat beriman ini adalah bagian dari Gereja,” kata Romo Beni dalam acara yang diselenggarakan Sekretariat Bersama Indonesia Damai Kevikepan Semarang itu.
Menurutnya, dokumen tersebut menjadi sangat penting ketika dilahirkan mengingat pada masa-masa sebelumnya, Gereja selalu memandang diri di atas dunia. Gereja sebelumnya seperti sebuah makhluk suci, entitas suci yang tidak bisa dirusak oleh dunia, tidak bisa dikotori oleh dunia, karena ia bukan bagian dari dunia. Bahkan menurutnya, kalau mau mencari pembenarannya di Kitab Suci ada dalam Yohanes 17:16. “Nah, Gereja itu seringkali memahami dirinya selama ribuan tahun sebagai sebuah entitas suci yang tidak bisa dikotori, dirusak oleh dunia. Tetapi sejak Konsili Vatikan II, dokumen resmi itu, setelah melewati perjalanan panjang sebenarnya Gereja tidak lagi merasa lebih suci daripada dunia atau berada di luar dunia, tidak terjamah oleh dunia ini,” kata Romo Beni.
Menurut Romo Beni, iman kristiani kita tidak lepas dari kehidupan sehari-hari kita. “Gereja adalah bagian dari jatuh bangun umat manusia, semua bangsa di dunia ini,” katanya.
Menurutnya, konsep Gereja yang berada di dunia sebenarnya dasarnya ada di dalam Kitab Suci dan kita setiap kali mendoakannya saat doa Angelus. “Yang membuat kita kristiani itu apa toh sebenarnya? Yang membuat kita kristiani itu kan paham inkarnasi ini. Bahwa kita percaya Allah menjadi manusia di dalam diri Yesus Kristus. Sabda, Sang Sabda ini menjadi daging. Seluruh drama Natal itu adalah bentuk kehadiran Allah di dunia ini dan berada di dunia. Allah yang mahakuasa, yang tak kenal awal dan akhir itu, kalau masuk ke dunia berarti harus terkena waktu, terkena ikatan waktu. Harus lahir di dalam sebuah masa, tidak bisa setiap saat lahir. Tapi harus lahir di dalam sebuah masa. Seperti kebanyakan bayi di dunia ini, juga lahir dari seorang ibu, dan dari dalam keluarga. Maka, Sabda yang menjadi daging inilah sebenarnya dasar teologis pandangan mengenai Gereja yang berada di dunia ini. Tuhan kita adalah Tuhan yang bersama kita, imanuel, Allah yang hadir di antara kita. Maka, Gereja kita pun adalah Gereja yang hadir di dunia,” jelasnya.
Selanjutnya, menurutnya, tidak ada contoh yang lebih tepat untuk menggambarkan Gereja yang hadir di dunia seperti bagaimana Paus Fransiskus melihat Gereja. Saat Paus Fransiskus berkunjung ke Amerika Serikat, tepatnya dia pergi ke lapangan Madison atau Madison Square Garden, 25 September 2015, dua tahun sesudah Paus Fransiskus terpilih, ia berkotbah di tempat tersebut. “Allah tinggal di kota kita. Gereja hidup di kota kita dan ingin menjadi seperti ragi dalam adonan roti. Gereja ingin menggandeng tangan siapapun, menenami semua orang sambil mewartakan keajaiban-keajaiban yang dilakukan Penasihat Agung, Allah yang Perkasa, Bapa Abadi, dan Raja Damai.” “Madison Square Garden ini seperti Simpang Lima, pusat kota tempat semua keramaian biasanya terjadi. Pertandingan tinju akbar itu biasanya ada di Madison Square Garden itu juga,” kata Romo Beni.
Lebih lanjut, Romo Beni mengatakan, yang dikatakan Paus Fransiskus bukan hanya Gereja tinggal di dunia. “Tetapi Gereja tinggal di kota kita. Dan ini kota besar ya New York. Madison Square Garden. Ini kota yang sering dianggap ibu kotanya dunia, tempat seluruh kejayaan manusiawi itu terjadi. Tetapi juga kebrengsekan, kebobrokan, kejahatan di dunia ini juga dilakukan di sini. Allah tinggal di kota kita. Gereja hidup di kota kita. Dan cita-citanya apa? Ingin menjadi ragi dalam adonan roti. Kita sudah familiar dengan simbol ini, ragi. Menjadi orang Kristen itu seperti ragi, seperti terang di dalam dunia,” katanya.
Dalam homili tersebut, Paus Fransiskus juga mengatakan ini, “…banyak orang datang kepada Yesus dan bertanya: “Tuan, apa yang harus kami lakukan?” Hal pertama yang dilakukan Yesus untuk menjawabnya adalah dengan memberi usulan, motivasi, dan dorongan. Ia selalu memberi tahu para murid agar pergi, pergi ke luar. Ia mendesak mereka agar keluar dan berjumpa orang-orang lain di mana mereka berada, tidak di mana mereka seharusnya berada menurut pikiran kita. Pergilah ke luar, lagi dan lagi, pergilah tanpa rasa takut, tanpa ragu-ragu. Pergilah dan wartakanlah kegembiraan ini kepada semua orang.”
Melalui homilinya, Paus Fransiskus memahami Gereja Katolik adalah Gereja yang misioner. “Gereja yang datang kepada masyarakat. Gereja yang datang kepada orang di mana mereka berada. Bukan di mana Gereja pikir mereka itu berada. Gampangannya adalah jangan sok tahu. Kita itu sering merasa sebagai orang Katolik, berpendidikan lalu merasa paling tahu mengenai seluruh persoalan di tengah masyarakat bahkan mungkin seluruh persoalan di Indonesia ini,” katanya..
Menurutnya, pergi sebagai utusan, bermisi harus dipersenjatai oleh kerendahan hati agar kita bisa sungguh-sungguh berjumpa orang lain di mana mereka berada. “Jadi, Gereja yang misioner, Gereja yang mendatangi orang. Bukan Gereja yang menunggu didatangi. Dan dalam mendatangi orang, kita juga mendatangi dengan tulus, mendatangi dengan rendah hati sampai kepada orang-orang tersebut,” ungkapnya.
Gambaran tentang Gereja dan dunia juga disampaikan Paus Fransiskus ketika berbicara pada kaum muda dalam kesempatan Hari Orang Muda Sedunia tahun 2016. “Hai kaum muda, kita datang ke dunia ini bukan untuk diam saja, cari gampang, cari hidup yang enak. Bukan. Kita datang ke dunia untuk satu tujuan yaitu: meninggalkan jejak.” (World Youth Day, 2016).
Meninggalkan jejak, menurut Romo Beni, adalah meninggalkan warisan dengan kata lain untuk berbuat sesuatu. “Ini ajakan Paus Fransiskus bagi kaum muda. Lagi-lagi suasananya sama ya. Sangat dinamis. Gereja yang dibayangkan oleh Paus Fransiskus ini, Gereja yang istilahnya anteng kitiran, kalau orang Jawa bilang. Sibuk. Gereja yang ke sana ke mari. Gereja yang aktif menanggapi banyak hal,” katanya.
Keaktifan menanggapi banyak hal juga tercermin dalam Anjuran Apostolik Evangelii Gaudium yang ditulis oleh Paus Fransiskus ketika bicara mengenai migran, orang-orang yang terpaksa mengungsi karena konflik, karena iklim yang berubah, karena berbagai masalah di kampung halaman mereka. “Paus menggambarkan Gereja ini sebagai Gereja tanpa perbatasan dan Gereja sebagai ibu. Ibu itu menerima. Ibu itu menjadi tempat anak-anak datang, menjadi jujugan. Gitu ya. Itu istilah yang paling tepat saya kira dalam bahasa Jawa. Jadi tempat orang datang. Tempat orang kalau butuh apa-apa yang teringat pertama oh, pergi ke Gereja. Dan yang datang ini orang dari berbagai bangsa. Maka, ini adalah Gereja tanpa perbatasan. Gereja tanpa tembok, bahasa lain. Dalam kesempatan yang berbeda, Paus Fransiskus memakai istilah itu. Gereja yang tidak punya tembok, sehingga semua orang bisa datang,” kata Romo Beni.
Namun, menurutnya, semua itu tentu mengandung risiko. “Ya ini, Gereja yang memar, terluka dan kotor karena sudah keluar ke jalan-jalan, pergi menyongsong di mana orang berada itu. Tetapi rupanya,Paus Fransiskus lebih menyukai itu,” kata Romo Beni.
“Saya lebih menyukai Gereja yang memar, terluka dan kotor karena telah keluar di jalan-jalan, daripada Gereja yang sakit karena menutup diri dan nyaman melekat pada rasa amannya sendiri (Evangelii Gaudium no 49).
“Nah, rupanya Paus Fransiskus sangat paham Gereja yang dia bayangkan adalah Gereja yang keluar, yang kena ‘matahari’. Gereja yang ‘berkeringat’, Gereja yang kotor, daripada Gereja yang kelihatan bersih, rapi, mungkin liturginya pun sangat tertib, gitu ya, tapi tidak punya compassion. Tidak punya belas kasih. Tidak pernah pergi ke orang-orang yang membutuhkan,” katanya.
Para misa Krisma setelah satu tahun pontifikatnya, Paus Fransiskus juga menyampaikan pesannya pada para imam terkait pentingnya para imam keluar dari dirinya sendiri. “Imam-imam yang enggan keluar dari dirinya sendiri pelan-pelan akan berubah menjadi manajer atau makelar saja…sebaliknya, …. Rahmat Allah mengalir dan berkembang bila para imam berada di tengah-tengah umat, memberikan diri dan mewartakan Injil kepada sesama. Ini yang saya minta dari kalian. Jadilah gembala-gembala yang berbau domba!” (Homili Misa Krisma, 28 Maret 2013).
Menurut Romo Beni, kalimat “Jadilah gembala-gembala yang berbau domba” menjadi popular. “Nah, memang saya sebagai imam merasa kita di dalam pendidikan para calon imam seringkali menekankan unsur manajemen. Kita itu dilatih untuk menjadi manajer paroki-paroki. Para imam itu dilatih untuk menjadi direktur atau manajer lembaga-lembaga gerejawi. Sebagian besar adalah manajer paroki. Sebagian lagi adalah manajer sekolah-sekolah, lembaga pendidikan: bisa sekolah, bisa univesitas. Sebagian lagi menjadi manajer keuskupan: lembaga-lembaga di bawah keuskupan, komisi-komisi dan seterusnya. Tetapi jangan lupa bahwa ada sisi yang harus terpenuhi juga yaitu mewartakan Injil kepada sesama dengan berada di tengah-tengah umat. Ya saya, saya sebagai provinsial itu seringkali merasakan apa yang dikatakan Paus Fransiskus. Hari-hari saya habis untuk rapat. Pekerjaan saya paling rutin itu adalah rapat. Entah itu rapat dengan komunitas-komunitas Serikat Jesus, rapat dengan lembaga-lembaga karya Serikat Jesus, kemudian rapat dengan lembaga-lembaga keuskupan, lalu masih ada rapat dengan lembaga-lembaga KWI. Rapat, rapat dan rapat. Manajerial sekali rasanya. Dan ungkapan homili Paus Fransiskus ini sering menjadi teguran untuk saya agar jangan lupa bahwa di tengah-tengah semua jadwal rapat itu, panggilan untuk berada di tengah-tengah umat itu tetap penting. Mewartakan Injil kepada sesama,” kata Romo Beni.
Gereja di Mata Paus Fransiskus
Menurut Romo Beni, Gereja di mata Paus Fransiskus itu adalah Gereja yang sibuk. Gereja yang bersaksi. Gereja yang memeluk dunia dalam tindakan dan kata-kata. Bersama masyarakat, tidak sendirian.
“Kata kunci yang sekarang menjadi tren adalah sinodal, kata sifatnya. Atau kata bendanya sinodalitas yang di Keuskupan Agung Semarang diterjemahkan secara sangat membumi dan sangat pas untuk saya, yaitu lungguh bareng, rembugan bareng, tumindak bareng. Itulah sinodalitas bersama masyarakat. Gereja yang hadir memeluk dunia bersama masyarakat. Dan untuk itu, pasti terluka, pasti kotor, rusak pasti ada pertengkaran di antara kita. Mana ini komisi di Kevikepan yang tidak pernah bertengkar? Saya yakin kalau bekerja sungguh-sungguh pasti kita pernah bertengkar karena berbeda pendapat, karena sulit menerima orang lain, keunikan, keanehan orang lain, atau karena tidak setuju mengenai hal-hal tertentu. Kita pasti pernah bertengkar kalau kita sungguh-sungguh melakukan misi kita ini di dalam komisi-komisi. Bahkan, rusak. Bahkan kotor, salah. Kita pernah salah pasti dalam bekerja untuk Gereja ini. Dan Gereja kita pun pernah salah dan masih akan salah juga di masa depan. Tetapi salah yang terjadi karena kita berani keluar. Salah karena kita berani terlibat, berani kotor itu tadi. Ini yang dibayangkan oleh Paus Fransiskus,” katanya.
Gereja di mata Paus Fransiskus adalah Gereja yang harus terbuka. “Terbuka bagi orang asing. Maka kita bicara mengenai kebinekaan. Di Indonesia ini adalah tema yang sangat-sangat penting. Orang-orang tersingkir, orang-orang yang dianggap punya aib di dalam Gereja, mereka ini harus punya akses kepada Gereja. Gereja harus terbuka kepada mereka. Di tiap paroki tentu “orang asingnya”berbeda ya, bukan orang berbahasa asing, bukan orang warga negara asing. “Orang asing” di lingkungan kita. Kita bisa membayangkan siapa orang yang pengin kita undang ikut pesta Paskah, dan siapa yang tidak ingin kita undang ikut pesta Paskah. Itu cara ngeceknya. Atau kalau saya mau pergi dolan liburan, katakanlah liburan ke Bandung, ke Malang atau ke Bali, atau ikut ziarah gitu ya, ziarah Gua Maria, saya penginnya kumpul sama bis yang isinya siapa. Coba ada kursi 40 misalnya di dalam bis, kita bayangkan. Kalau saya ada di bis itu, penginnya ditemani oleh siapa saja. Nah, kita daftar ya. Terus, yang tidak ada di dalam daftar itu, itulah orang tersingkir kita. Itulah “orang asing” kita. Itulah orang yang kita anggap punya aib. Setiap komunitas, punya “gelandangannya” sendiri, punya “orang asingnya” sendiri. Dan Gereja yang terbuka ini hendaknya digerakkan oleh belas kasih, oleh keterbukaan dan berintegritas. Apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan itu tidak terlalu jauh beda,” kata Romo Beni menjelaskan.
Dan sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, imbuh Romo Beni, Gereja yang terbuka harus menghormati kebinekaan dengan tulus. Sayangnya, Romo Beni melihat, kecenderungan kita terbuka karena sebagai kelompok minoritas di tengah mayoritas kita ingin merasa aman, cari selamat. Maka kita merasa harus menghargai kebersamaan. “Rada terpaksa gitu, kita menghormati kebinekaan itu. Itu seperti membeli polis asuransi. Menghormati kebinekaan diterima sebagai jaminan bagi keselamatan kita,” katanya.
Namun Romo Beni menegaskan, kalau kita menghargai kebinekaan, kita harus mengubah sikap kita kepada umat beragama lain secara tulus. “Teologi kita pun mungkin akan berubah kalau kita menghargai kebenaran di dalam agama-agama yang lain. Tidak bisa sewenang-wenang mengatakan saya paling baik, saya paling suci, atau saya paling benar. Tidak bisa. Menghormati kebinekaan dengan tulus,” katanya.
Lebih lanjut, Romo Beni menyampaikan kalau Gereja mau hadir di dunia maka, Gereja mesti menghidupi 3 dimensi keberadaan manusia yang meliputi dimensi afektif devosional, intelektualitas, dan kebertubuhan.
Dimensi afektif-devosional
Dimensi afektif-devosional, menurutnya, adalah segala tindakan kita yang berupa doa, aktifitas, pujian, kebaktian, dan segala cara kita berdoa, segala cara kita mengekspresikan iman kita. “Kalau kita percaya pada sabda yang menjadi daging, kalau kita percaya bahwa kita itu beriman di dunia, bukan beriman di luar dunia, maka doa dan aktivitas-aktivitas rohani bagi kita itu bukan pintu untuk menuju kesunyian dan keterasingan. Melainkan doa itu ditangkap sebagai undangan atau ajakan untuk semakin menceburkan diri ke dalam dunia,” katanya.
Dengan kata lain, sambungnya, kalau berdoa buahnya bukan rasa tenang karena saya berada di puncak bukit seperti para rasul yang ingin membangun tiga tenda setelah melihat penampakan. Bukannya disetujui oleh Yesus, bahkan para rasul itu disuruh turun, kembali ke dunia.
“Buah-buah doa itu mestinya membuat kita semakin bersemangat untuk kecemplung ke dalam dunia, membuat kita semakin terinspirasi untuk terlibat di dalam dunia. Bukan malah menjauhi dunia. Bukan malah melarikan diri dari dunia. Dengan kata lain, doa hendaknya bukan pelarian dari dunia. Melainkan sebaliknya, doa hendaknya menjadi cara kita semakin terlibat di dalam ‘ribut-ribut’ dunia ini. Sehingga doa-doa ini menjadi latihan, cara kita melatih ketajaman batin, terbuka pada kehadiran ilahi. Mestinya begitu doa-doa kita,” katanya.
Dimensi intelektual
Menurutnya, semua orang dikaruniai akal budi oleh Allah. Kita diajak untuk memakai akal budi kita dan tidak menumpulkannya. “Semua manusia diberi kemampuan untuk memahami bagaimana dunia kita ini. Jadi dimensi intelektual kita itu adalah cara kita untuk memahami dunia ini bekerja,” katanya. Kita diajak untuk memahami dunia ini bekerja sesuai dengan bidang yang digumuli kita masing-masing.
“Kita harus paham bagaimana dunia ini bekerja, termasuk patgulipatnya ini. Kita diberi akal budi untuk memahami itu semua. Dan kalau kita belajar, kita menuntut ilmu, maka kita harus mengikuti perkembangan terbaru di dunia ilmu pengetahuan. Misalnya kita sekarang, masyarakat ini ribut mengenai artifisial inteligent. Jangan menyerah seolah-olah itu bukan bidang saya lah. Memang saya bukan ahli komputer. Tapi saya tertarik mengenai teknologi digital terbaru ini. Apa efek dari kecerdasan buatan bagi hidup kita sehari-hari? Tergantung. Apa untuk pekerjaan-pekerjaan kita di dunia pendidikan efeknya besar sekali? Di dunia produksi efeknya besar sekali? Di dunia kerohanian, artificial inteligent itu juga sangat berdampak?” katanya.
Kalau kita serius mengenai Gereja di dunia, kalau kita percaya bahwa sabda itu sungguh menjadi daging, tegas Romo Beni, kita harus mengikuti perkembangan terbaru di dunia ilmu pengetahuan agar kita mengerti apa yang sesungguhnya sedang dihadapi orang-orang, apa yang dihadapi anak-anak kita sendiri, beserta tantangannya yang ada di sana. “Mungkinkah kita memakai alat-alat itu untuk kemuliaan Allah yang lebih besar?” ungkap Romo Beni.
Maka, tegasnya, sebagai orang yang dikaruniai kecerdasan, diberi akal budi oleh Allah, tugas kita adalah memupuk ketekunan, kalau perlu mati raga demi menawarkan kedalaman intelektual. “Di dalam tradisi Serikat Jesus itu ada ikon. Di Indonesia ini ada ikon, orang yang diidolakan oleh para dosen, para ilmuwan. Yang pertama adalah Pierre Teilhard de Chardin, SJ. Ini adalah seorang palaentolog, ahli fosil-fosil di tahun 50, 40-50-an asal Prancis, yang memakai ilmunya itu untuk sampai pada pencerahan mengenai teori Evolusi, menghadapi sanksi dari Gereja saat itu, tapi akhirnya dipulihkan. Ketekunan dia mati raga sampai “diusir”, atau sampai diberi hukuman oleh Gereja waktu itu. Tapi dengan ketekunannya akhirnya Gereja malah terbuka dan menerima,” katanya.
Dimensi kebertubuhan
Romo Beni melanjutkan, kita semua punya tubuh. “Kita ini semua punya fisik. Dan fisik kita menentukan cara kita berada, cara kita beriman, cara kita bekerja juga. Kalau bicara mengenai kebertubuhan, corporeality kita, sebenarnya kita sedang bicara mengenai segala bentuk keterlibatan secara fisik dan kasat mata,” katanya.
Dalam dimensi kebertubuhan, menurutnya, kita bicara mengenai aktivitas fisik di mana tubuh kita itu terlibat dalam hiruk pikuk masyarakat.
“Kalau kita percaya bahwa sabda itu menjadi daging, kalau bahwa Gereja itu ada di dunia, maka kita harus bergabung dalam gerakan-gerakan di tengah masyarakat yang memperjuangkan kebaikan bersama. Ikutlah kelompok-kelompok di dalam masyarakat,” ajaknya.
Di masyarakat banyak ormas, partai politik ataupun organisasi-organisasi sebagai sarana untuk melakukan gerakan-gerakan demi kebaikan.
“Nah, sebagai orang beriman, dan iman kita ini adalah iman kepada Allah yang hadir di dunia, kita diundang untuk terlibat dalam gerakan-gerakan demi kebaikan. Dan harus bekerja sama lintas suku, agama, latar belakang dan seterusnya,” ajak Romo Beni.