Memilih Pemimpin Berintegritas di Tahun Politik

Meskipun demokrasi kita mengalami sekian tantangan dan di sana-sini bermasalah, demokrasi kita masih berjalan. Demikian tegas Dosen STF Driyarkara, Romo Franz Magnis-Suseno, SJ dalam webinar “Memilh Pemimpin Berintegritas di Tahun Politik” yang diselenggarakan Yayasan Bhumiksara (29/4/2023).

“Mungkin ya tahun depan, kita insyaallah akan dengan bebas memilih Presiden dan Wakil Presiden serta wakil-wakil rakyat baru dan dalam pilkada memilih para pemimpin dan wakil-wakil kita di daerah. Namun, demokrasi juga berarti kita harus memilih pemimpin dan wakil-wakil yang tepat,” kata Romo Magnis.

Romo Magnis menegaskan perlunya memilih pemimpin yang berintegritas. Namun sayangnya, menurutnya, yang mencolok sampai sekarang dalam diskursus politik menghadapi tahun politik 2024, yang dibicarakan semata-mata siapa-siapa, siapa dengan siapa, koalisi antara partai yang mana. “Dengan sepatah kata pun tidak dibicarakan manakah kualitas yang harus kita tuntut dari mereka yang mau kita pilih,” kata Romo Magnis.

Menurutnya, kualitas mereka yang akan dipilih adalah untuk kunci. “Kita harus memilih manusia-manusia berkualitas dengan tepat,” imbuhnya. Ia menggarisbawahi bahwa kualitas yang dituntut dari mereka yang mau dipilih adalah berintegritas, melayani, unggul, berbela rasa, dan inklusif. “Saya mau menambah mereka harus bervisi, mampu mempunyai visi ke mana dan bagaimana Indonesia harus dipimpin. Integritas berarti mereka tidak korup, mereka bisa dipercayai, mereka akan berusaha sebaik-baiknya untuk melaksanakan tugas yang mereka cari dan mereka terima yaitu memimpin bangsa Indonesia selama 5 tahun. Mereka harus berkualitas, kemampuan untuk memenuhi tugas. Mereka sebagai pemimpin atau wakil rakyat. Berbela rasa berarti mempunyai hati bagi mereka yang paling membutuhkan perhatian. Dan harus inklusif, mereka memimpin atau mewakili seluruh bangsa tanpa kecuali, tidak boleh berpihak atau hanya mementingkan sebagian masyarakat, misalnya yang sesuku atau seagama,” jelasnya.

Akan tetapi, lanjutnya, kualitas yang diharapkan dari para pemimpin dan juga wakil harus membuktikan diri dalam bagaimana mereka akan menangani tantangan-tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia.

Lima tantangan umat manusia

Romo Magnis pun menyampaikan 5 (lima) tantangan yang dihadapi umat manusia saat ini.

Tantangan pertama, adalah terpecahnya umat manusia antara winners dan loosers baik di antara negara-negara maupun di dalam masing-masing negara. “Perpecahan ini akibat ideologi neoliberalisme. Akan ada negara-negara yang terus maju dan bahkan ada yang ditinggalkan dan dibiarkan membusuk, betul-betul membusuk,” katanya.

Akibatnya, menurutnya, ratusan juta orang akan mencoba mengungsi, termasuk mengungsi ke Indonesia. “Tetapi di dalam negara yang maju pun jarak antara mereka yang semakin kaya dan semakin ditinggalkan semakin lebar. Misalnya, di Amerika Serikat sejak 40 tahun, sebagian kelas menengah sedang merosot ke dalam kemiskinan,” katanya.

Tantangan kedua, adalah krisis global demokrasi. Menurutnya, di sebagian besar dunia, demokrasi tak pernah berhasil seperti di Amerika Latin, di Afrika, dan di Asia. Di India, sambungnya, demokrasi Asia paling tua, persekusi terhadap minoritas Muslim 200 juta orang dan Kristiani 30 juta orang terus bertambah. “Yang barangkali paling mengkhawatirkan adalah pertumbuhan gerakan-gerakan populis dan penganut segala macam teori konspirasi di negara-negara jantung demokrasi di Barat yang pada dasarnya berpendapat bahwa masyarakat ada di tangan penjahat. Toleransi demokratis yang kalah bersedia tetap mengakui yang menang makin menipis, sekaligus sifatnya negara, kita tahu itu juga di Indonesia, demokrasi semakin digerogoti menjadi oligarkhi,” imbuhnya.

Tantangan ketiga adalah meluasnya ekstremisme yang bermotivasi ideologis atau agamis. “Jadi, meluasnya ideologi-ideologi eksklusif kebanyakan bermotivasi agama yang menolak hak-hak asasi manusia dan tidak ragu-ragu memakai kekerasan untuk memaksakan kekuasaan mereka,” kata Romo Magnis.

Tantangan keempat, keambrukan lingkungan hidup alami. Menurutnya, tantangan ini paling serius dan paling tanpa harapan. “Kalau sampai tahun 2030, pembatasan kenaikan suhu udara pada 1,5 derajat tidak berhasil tercapai, dan kelihatan tidak akan tercapai, pemanasan atmosfer, naiknya permukaan laut, banjir-banjir, dan cuaca ekstrem akan terus bertambah. Ke manakah 40 juta orang Bangladesh yang tanahnya akan tenggelam, akan bisa melarikan diri?” katanya.

Tantangan kelima adalah artificial inteligent (AI).

Tiga tantangan paling serius

Namun, dalam konteks Indonesia, di antara 5 (lima) tantangan tersebut, menurutnya, ada 3 (tiga) tantangan yang paling serius yang wajib ditanyakan kepada para calon pemimpin nasional, regional, dan calon wakil rakyat dalam menyikapinya.

Tantangan pertama, adalah bagaimana kita memperkuat kesediaan untuk saling menerima dalam perbedaan atau bagaimana kita dapat mengecek kecenderungan-kecenderungan intoleransi dan eksklusivisme. “Bangsa Indonesia bangsa majemuk dengan ratusan komunitas etnik dan budaya berbeda, dengan identitas region-religius yang bermacam-macam. Kesediaan untuk saling menerima dalam perbedaan adalah rasa persatuan bangsa Indonesia. Meskipun kebangsaan dalam masyarakat Indonesia kuat dan meskipun hubungan antar umat beragama membaik, akan tetapi baik sikap-sikap intoleran maupun pengaruh ideologi-ideologi agamis transnasional ekstremis dan ekslusif tetap merupakan ancaman,” katanya.

Menurutnya, harus ada kesepakatan untuk bersikap zero tolerance to non tolerance to intolerance dari para calon wakil rakyat kita. “Harus menuntut komitmen meyakinkan yang menolak segenap diskriminasi atas dasar agama, identitas etnik dan suku,” katanya.

Tantangan yang kedua, adalah perwujudan keadilan sosial. “Sementara orang kaya kita semakin kaya. 50 persen masyarakat Indonesia belum betul-betul sejahtera. 10 persen saudari dan saudara kita, sekitar 28 juta orang masih hidup dalam kemiskinan. Jangan-jangan bangsa kita terpecah secara vertikal. Apabila orang kecil, 50 persen yang belum terjamin mendapat kesan bahwa Indonesia adalah milik mereka yang di atas, kita jangan heran apabila mereka mencari orientasi ideologis lain daripada Pancasila. Penghapusan kemiskinan dan perwujudan kesejahteraan bagi semua perlu menjadi prioritas pertama pembangunan Indonesia, bahkan prioritas pertama perpolitikan Indonesia. Apa yang mau dilakukan oleh para calon terpilih tahun politik untuk mewujudkan keadilan sosial?” ungkapnya.

Tantangan ketiga, adalah korupsi. “Amat menyedihkan itu. Katanya Indonesia belum pernah sekorup sekarang. Korupsi berarti bahwa nurani sudah membusuk menjadi nafsu ingin kaya,” ungkapnya.

Menurutnya, tiga tantangan tersebut kita alami semua. “Tiga tantangan kita harus ditanggulangi oleh mereka yang memimpin kita. Kesadaran akan tantangan itu ada pada mereka yang ingin mewakili kita. Itu berarti para calon itu sendiri harus bebas dari masa lampau yang cacat. Orang bisa saja dimaafkan dan diterima kembali dalam komunitas apabila dia, misalnya, masuk penjara karena korupsi, tetapi ia tidak boleh lagi memegang jabatan seperti wakil rakyat, apalagi sebagai pemimpin resmi di pusat maupun di daerah. Jadi, masa lampau para calon harus bersih dari korupsi, bersih dari pelanggaran hak-hak asasi manusia, bersih dari ujaran kebencian dan intoleransi. Kita jangan menyerahkan nasib bangsa ke dalam tangan orang yang sudah pernah menyalahgunakan kekuasaan yang dia pegang. Kita juga jangan memilih orang yang pernah menyuarakan kebencian terhadap kelompok atau penganut agama lain,” katanya.

Meskipun demikian, menurutnya, kita harus menuntut penjelasan dari calon yang mau kita pilih tentang bagaimana ia menangani tantangan-tantangan itu. “Tentu juga di mana dia sendiri melihat tantangan yang kita hadapi. Kita jangan memilih orang yang bodoh. Misalnya orang yang sama sekali tidak menunjukkan kesadaran akan 5 tantangan umat manusia. Ya tentu tidak punya wawasan untuk menduduki tempat pimpinan. Apalagi itu berlaku bagi tiga tantangan yang menurut saya kita hadapi di Indonesia tadi,” katanya.

“Amat memuakkan mengikuti debat di sekitar para calon-calon presiden, calon wakil presiden, partai-partai yang dibicarakan semata-mata siapa yang mau bersama siapa. Siapa yang lebih mungkin akan menang dan sebagainya? Tapi yang mau kita dengarkan, dan harus kita tuntut, kita tagih, adalah bagaimana Anda akan menyikapi munculnya kadang-kadang ledakan intoleransi yang sewaktu-waktu ada? Bagaimana Anda menyikapi persekusi kaum Ahmadiyah dan kaum Syiah, diskriminasi kadang-kadang juga persekusi terhadap komunitas agama asli seperti misalnya kejadian mengerikan serangan massal terhadap kampung eks Gafatar di Mempawah di Kalimantan beberapa tahun lalu? Bagaimana Anda menyikapi persekusi terhadap saudara-saudari yang termasuk LGBT. Bagaimana mereka menyikapi infiltrasi ideologi-ideologi radikalisme transnasional, kelompok-kelompok yang memaksakan diri. Kita perlu tahu,” katanya.

Terkait dengan masalah keadilan, menurutnya, adalah fakta bahwa perbedaan antara yang kaya dan yang miskin makin bertambah. Dalam kondisi itu, menurutnya, calon pemimpin mesti ditanya mengenai program apa untuk membalikkan tren itu. “Apa yang akan lakukan bagi petani kecil, buruh kecil, buruh tani? Apa kalian akan terus membongkar jaminan sosial upah minimum, jaminan kerja demi menarik modal asing? Apa Anda mendukung kapitalisme internasional dengan argumen bahwa itu memperkuat Indonesia dengan mendiamkan bahwa itu memiskinkan orang kecil kita? Bagaimana pandangan Anda tentang pendidikan yang begitu kunci bagi masa depan. Apa yang akan Anda lakukan membantu wilayah-wilayah jauh yang selalu ketinggalan. Di Jakarta saja dosen mengurus pangkatnya sulit. Apalagi jauh dari Jakarta, di Maluku, di Timor, lain tempat itu. Apa Anda punya ide bagaimana mewujudkan damai di Papua? Tentang korupsi, saya tadi bicara. Tetapi sebaiknya kita juga bertanya kepada para calon, apa kalian sadar ada masalah korupsi atau apa yang mau Anda lakukan untuk memberantasnya?” kata Romo Magnis.

Pertimbangan memilih pemimpin bagi orang Katolik

Pertimbangan-pertimbangan tersebut, menurutnya, juga relevan bagi orang Katolik. “Tentu segala apa yang disebutkan di atas berlaku bagi kita masyarakat yang Katolik dan bagi calon-calon yang Katolik juga,” katanya.

Meskipun demikian, menurut Romo Magnis, ada beberapa hal yang secara khusus penting untuk masyarakat Katolik. Pertama, kita harus tahu diri. “Betul, Undang-Undang Dasar kita tidak membedakan antara mayoritas dan minoritas. Dan itu penting dan kadang-kadang harus ditegaskan. Akan tetapi, kita tetap harus tahu diri. Secara konstitusional dan hukum memang taat dan mayoritas-minoritas, tetapi secara kesadaran kultural tentu ada. Kita justru akan diterima kalau kita dapat menempatkan diri,” katanya.

Menurutnya, hubungan umat Katolik dengan Islam sejak 50 tahun semakin baik baik dengan NU, maupun dengan Muhammadiyah.

“Yang perlu ialah kita berkomunikasi terus dengan Islam, bersilaturahmi. Kita yang memerlukan mereka, bukan mereka memerlukan kita. Mereka harus mengalami bahwa kita orang Katolik dapat dipercayai, bahwa kita positif. Kita dapat menjadi akrab dengan mereka. Kita pun suatu modal luar biasa, itu pun suatu modal luar biasa bagi masa depan Indonesia. Bisa juga menjadi contoh untuk di seberang batas-batas Indonesia,” katanya.

Dan satu hal yang amat penting menurutnya adalah hidup sederhana. “Sebaiknya kita hidup sederhana. Amat sangat memalukan bahwa orang kaya kita, keluarga orang kaya kita, senang flexing, senang memamerkan kekayaan. Kok bisa? Itu begitu bertentangan dengan budaya-budaya Indonesia. Itu tanda mental yang murah. Justru orang besar kita hendaknya muncul secara sederhana,” ungkapnya.

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *