Vikaris Episkopal Semarang Romo F.X. Sugiyana, Pr dalam Katekese Kebangsaan yang diselenggarakan Sekretariat Bersama Indonesia Damai, 16 Maret 2023, menyampaikan materi Teologi Publik: Wujud Solidaritas Allah. Menurutnya, teologi publik mau menunjukkan aspek iman yang berhubungan dengan pengalaman Gereja sendiri sebagai orang beriman di tengah publik. “Jadi, teologi itu menunjukkan ada keterkaitan panggilan iman, pengalaman iman, pengalaman akan Allah yang memanggil kita di dalam ranah publik untuk mewujudkan solidaritas,” kata Romo Sugiyana.
Solidaritas Allah
Mengenai solidaritas Allah, Romo Sugiyana menukil pernyataan dari Kompendium Ajaran Sosial Gereja, “Perintah untuk saling mengasihi yang menyajikan hukum kehidupan bagi umat Allah, mesti mengilhami, memurnikan dan meninggikan semua relasi manusiawi di tengah masyarakat dan di dalam bidang politik”.
“Jadi, pengalaman akan Allah yang mengasihi inilah yang mendasari kita dalam membangun sebuah relasi manusiawi di tengah masyarakat. Jadi, kata kunci di sini sebenarnya adalah ‘Allah adalah Kasih’. Karena kasih-Nya itulah Dia mau solider dengan umat manusia, solider dengan kehidupan manusia. Dan karena kasih-Nya itulah relasi antarmanusia dibangun menjadi relasi yang membangun, relasi yang menghidupkan, relasi yang menyelamatkan,” kata Romo Sugiyana dalam acara yang diselenggarakan secara daring itu.
Romo Sugiyana pun menukil pernyataan dari Dei Verbum, “Dalam kebaikan dan kebijaksanaan-Nya, Allah berkenan mewahyukan diri-Nya dan memaklumkan rahasia kehendak-Nya; . . . Dengan wahyu itu, Allah yang tidak kelihatan dari kelimpahan cinta kasih-Nya menyapa manusia sebagai sahabat-sahabat-Nya dan bergaul dengan mereka untuk mengundang mereka ke dalam persekutuan dengan diri-Nya dan menyambut mereka di dalamnya.” (DV art. 2).
“Jadi, inilah kebaikan Allah bahwa dari inisiatif Allah sendiri, Ia ingin mewahyukan Diri. Ia ingin menyatakan Diri. Ia ingin menghadirkan Diri. Dan saat menghadirkan Diri itu, Ia juga mau menyatakan kepada kita apa yang menjadi kehendak-Nya. Dan kehendak-Nya tidak lain adalah mengundang setiap orang untuk hidup dalam persekutuan dengan-Nya dan masuk dalam persekutuan kasih-Nya. Jadi, dengan lain kata, cita-cita dari pihak Allah adalah setiap manusia, siapapun itu, sungguh-sungguh bisa mengalami hidup dalam damai, dalam kesatuan dengan Allah dan hidup di dalam limpahan kehidupan ilahinya. Ini cita-cita dari pihak Allah kepada umat manusia,” jelas Romo Sugiyana.
Proses solidaritas Allah ditandai dengan perwahyuan Diri Allah
Romo Sugiyana pun menjelaskan proses cita-cita Allah ini diwujudkan. Menurutnya, yang pertama, perwahyuan Diri Allah itu dinyatakan melalui tindakan kasih. “Dengan pendek kata mau saya katakan, kasih itu menjadi cara relasi dan komunikasi Allah kepada ciptaan-Nya. Dalam kasih, Allah hadir, bertindak, berpihak. Maka, siapapun, walaupun dalam arti tertentu belum mengenal Allah, tetapi hidupnya diwarnai, didasari dengan kasih, maka orang itu pun menjadi tanda perwahyuan Diri Allah yang adalah Kasih. Karena Allah adalah Kasih maka siapapun yang hidup dalam kasih, ia hidup dalam Allah. Siapapun,” katanya.
Kedua, perwahyuan Diri Allah nampak pada ciptaan. Allah mewahyukan diri dalam seluruh ciptaan-Nya. “Jadi, kalau kita melihat ciptaan itu, apalagi manusia, itu menjadi gambaran keberadaan dan sekaligus sifat Allah yang adalah kasih itu. Semua diciptakan dalam kasih. Manusia juga diciptakan dalam kasih. Maka, ketika manusia diciptakan inilah gambaran Allah, kasih Allah. Bahwa semua diciptakan baik adanya. Termasuk manusia pun baik adanya. Kalau kita melihat kisah Penciptaan ya, bahwa saat penciptaan pertama, kedua, tiga sampai lima, Dia katakan bahwa semua baik adanya. Tapi ketika manusia diciptakan, Dia mengatakan sungguh amat baik. Maka, kebaikan Allah itu dinyatakan dalam setiap ciptaan. Harapannya apa? Agar setiap ciptaan yang ada khususnya manusia itu saling menghargai, saling menjaga, bukan saling mengeksploitasi. Karena semuanya itu berada di dalam kasih,” kata Romo Vikep.
Ketiga, perwahyuan Allah juga nampak dalam para utusan atau nabi. Menurutnya, ketika manusia jatuh dalam dosa, hidup menurut caranya sendiri, hidup menurut kehendaknya sendiri, Allah tidak mau meninggalkan manusia dalam cara hidup yang semrawut seperti itu. “Tapi Ia ingin mendampingi manusia dengan mengutus nabi-nabinya. Istilah nabi adalah utusan. Sebagai utusan ia membawa pesan Allah. Maka, ketika nabi itu datang, yang dibawa adalah pesan dari pihak Allah. Pesan itu adalah pesan yang menyelamatkan, pesan yang menyadarkan, pesan yang membawa manusia kembali kepada pelukan kasih Allah. Jadi, nabi menjadi orang yang diutus untuk menyapa, untuk menemani, untuk mendampingi untuk mengarahkan perjalanan hidup manusia supaya jangan sampai hidupnya justru menjauh dari Allah menuju kepada kebinasaan, tapi kembali kepada Tuhan,” terangnya.
Keempat, perwahyuan Diri Allah akhirnya memuncak dalam Pribadi Yesus dan menjadi perwahyuan yang paling sempurna. “Tidak ada perwahyuan yang lebih tinggi dibanding itu karena ini puncaknya. Mengapa Yesus, mengapa Ia, menjadi manusia? Yohanes mengatakan karena begitu besar kasih Allah untuk manusia ini, maka, Ia menjadi manusia dalam Puteranya, Yesus Kristus supaya kesatuan manusia dengan Allah lewat PuteraNya itu semakin terbangun baik. Jadi, ini yang mau dibangun oleh pihak Allah. Bahwa Yesus menjadi tanda kasih karunia Allah untuk manusia sampai pada akhirnya nanti di dalam Diri Yesus itulah, kita bisa melihat Allah, melihat tindakan-tindakan-Nya,” jelas Romo Sugiyana.
Yesus dan kehidupan publik
Menurut Romo Sugiyana, sejak lahir, Yesus sudah akrab dengan kehidupan publik dan tokoh-tokoh publik. “Ketika Ia dikandung, diajak sensus penduduk. Ini juga urusan publik. Ketika kelahiran-Nya, malaikat mewartakan secara publik kepada gembala-gembala. Ini juga orang-orang publik. Kemudian saat di kandang, kelahiran-Nya, Yesus juga dikunjungi oleh tokoh-tokoh publik: raja dari Timur, sarjana atau para majus. Dan pada akhirnya, ketika kelahiran-Nya, dihubungkan dengan sebagai Raja, kelahiran-Nya itu menggegerkan. Menggelisahkan Raja Herodes. Jadi, gambaran ini mau menunjukkan, ketika Yesus lahir itu, Dia selalu berada di dalam ruang-ruang publik,” kata Romo Sugiyana.
Kehidupan publik Yesus dialami-Nya bahkan ketika Ia menjadi korban kekerasan tokoh publik ketika Ia mau dibunuh saat masih bayi sehingga harus lari ke Mesir untuk menyelamatkan Diri. “Jadi, selalu hidup-Nya itu ada keterkaitan-keterkaitan dengan ruang-ruang publik atau tokoh-tokoh publik. Proses inilah yang kita sebut bahwa ada proses inkarnatoris dari pribadi Yesus,” imbuh Romo Sugiyana.
Menurutnya, Allah yang menjadi manusia di dalam pribadi Yesus masuk dalam realitas manusiawi. “Dia masuk dalam kemanusiaan. Tujuannya memang adalah Dia juga ingin menyatakan rencana penyelamatan Allah itu. Jadi, rencana dari pihak Allah sampai harus membangun, menyatakan solidaritasnya itu karena manusia ingin dibawa dalam konteks keselamatan,” katanya.
Dari konteks itulah, antara Natal dan Paskah tidak terpisahkan, ada hubungan antara keduanya. “Natal adalah Allah berkenan masuk dalam sejarah hidup manusia dengan segala suka dukanya, keprihatinannya. Sedangkan Paskah adalah Allah menangkap manusia masuk dalam martabat ilahinya. Jadi, ternyata manusia di mana dia menjadi bagiannya saat hidup, saat lahir di tengah dunia ini, juga manusia hidup dalam macam-macam situasi termasuk dalam kondisi dosa. Dan akhirnya dari peristiwa Paskah, manusia yang berdosa itu ditebus-Nya, diangkat di dalam martabat ilahi. Inilah rencana penyelamatan Allah itu. Sejak lahir dalam peristiwa Natal sampai akhirnya berpuncak dalam peristiwa Paskah sebenarnya Ia ingin menyatakan manusia agar selamat,” jelas Romo Sugiyana.
Dalam Diri Yesus itu, tambah Romo Sugiyana, Allah yang tidak kelihatan menjadi kelihatan dalam seluruh tindakan-Nya. Dalam diri Yesus terlihat arah, semangat, karakter atau gambaran Allah sendiri. “Teryata Ia adalah Allah yang solider dengan orang-orang berdosa, dengan orang-orang terpinggir, dengan orang-orang lemah, dengan orang-orang yang kalah. Jadi, Dia mau menyatakan Allah itu solider, Allah itu perhatian, Allah itu berpihak kepada kamu semua. Dan Allah ingin membawa kamu kepada rahmat, kepada keselamatan. Jadi, inilah gambaran Yesus yang merangkul kita semua, orang-orang yang berdosa ini. Dan untuk tujuan itu, kadang-kadang Ia harus berlawanan dengan kekuasaan. Jadi, ini gambaran dari pribadi Yesus tadi yang memang ada, hadir, di tengah ruang-ruang publik. Dan di ruang publik itu, rencana Dia, tindakan Dia, orientasi Dia sangat jelas,” kata Romo Sugiyana.
Yesus di ruang publik
Yesus hidup dalam lingkungan masyarakat yang menganut agama Yahudi atau Yudaisme. Menurut Romo Sugiyana di dalamnya terdapat berbagai kelompok atau Kaum seperti Herodian, Farisi, Saduki, Esseni dan Zelot.
Kelompok Herodian adalah kelompok politik yang sebenarnya mendukung Herodes. “Mereka ingin meyakinkan kepada masyarakat Israel bahwa pemerintahan teokratis, pemerintahan yang menghadirkan Allah boleh dikatakan demikian, itu terwujud melalui Dinasti Herodes. Maka, kelompok ini menjalin kolaborasi, kerja sama dengan Herodes yang sebenarnya adalah penjajah. Jadi, kelompok ini seringkali menjadi kepanjangan tangan pemerintahan Romawi di wilayah Israel,” jelas Romo Sugiyana.
Kaum Farisi adalah mereka ya memisahkan diri dari hal-hal yang tidak bersih secara religius. “Jadi, seperti merasa orang-orang yang suci sekali. Ritual hidup dalam ritual-ritual yang ketat. Mereka menjadi suatu kelompok yang secara ketat tadi menjalankan ketentuan-ketentuan hukum. Entah hari Sabat, doa, persembahan. Mereka tidak hanya menekankan Taurat tertulis, tapi juga tradisi-tradisi. Banyak tafsiran-tafsiran hukum yang mereka buat, yang memperumit kehidupan. Mereka juga menganggap diri sebagai orang benar di tengah masyarakat hukum lainnya. Jadi, ini adalah kelompok para ahli agama, dari kelas menengah, dan hidup di tengah masyarakat Israel. Karena itu kelompok ini juga sangat dekat dan dihormati masyarakat,” jelas Romo Sugiyana.
Namun, kelompok ini juga dekat dengan penguasa yang menguntungkan kedudukannya. “Kelompok ini dalam kaitannya dengan pemerintahan Romawi seringkali dikatakan dalam hubungan dengan pemerintahan yang berkuasa baik pemerintahan Romawi maupun pemerintah, mereka bersikap oportunis. Dia cari untungnya. Pada prinsipnya mereka tidak suka dengan pemerintah, tetapi kalau mereka itu menguntungkan, dia mau juga dekat. Bahkan tidak segan-segan menjalin hubungan dengan penguasa waktu terjadi peristiwa Yesus Kristus sengsara itu,” imbuh Romo Sugiyana.
Kaum Saduki terdiri dari kalangan Bait Allah, golongan para imam dan orang-orang kaya. “Mereka adalah kelompok yang mendominasi jabatan imam yang berkuasa di Yerusalem. Entah imam-imam besar atau imam-imam kepala. Maka, kelompok ini menjadi kelompok imam yang terhormat. Mereka ini termasuk di dalam masyarakat adalah kelompok menengah, kelas menengah ke atas di tengah masyarakat. Karena mereka mendominasi jabatan-jabatan imam, maka, kelompok ini secara politis juga punya kedekatan dengan pemerintah yang berkuasa demi menjaga status mereka dan terpenuhinya kepentingan-kepentingan kelompok mereka. Jadi, ya kelompok ini kelompok yang juga cari untung. Jadi, mereka kehidupannya sudah masuk di ranah kelompok atas,” kata Romo Sugiyana.
Kaum Esseni, menurut Romo Sugiyana, adalah kelompok yang membangun kesalehan, tetapi dengan mengambil jarak dari kehidupan masyarakat. “Jadi, mereka memilih untuk memisahkan diri dari masyarakat, menyendiri di atas gunung, menjaga kekudusan mereka. Kelompok ini menjalani disiplin keras untuk menjaga pola hidup mereka. Dan bagi mereka, dunia yang dihidupi dalam masyarakat luas adalah dunia yang sudah bobrok, kotor. Jadi menghadapi kebobrokan masyarakat itu, mereka bukannya mengambil bagian untuk memperbaiki, tapi mereka menjauhkan diri, memisahkan diri. Merasa dengan itu, kehidupannya, kesuciannya tidak terganggu,” jelasnya.
Kaum Zelot adalah kelompok radikal yang melakukan perlawanan bersenjata untuk menumbangkan kekuasaan. “Maka, kelompok ini disebut kelompok revolusioner. Mereka mau mengambil alih atau punya semangat nasionalisme yang militan, memperjuangkan dengan mengangkat senjata. Bercita-cita melenyapkan kekuasaan Romawi dari Palestina. Mendirikan negara Israel. Jadi, boleh dikatakan kelompok yang berani berperang,” kata Romo Sugiyana.
Namun di antara semua kelompok tersebut, ada kelompok yang tidak masuk di dalamnya. “Yakni rakyat jelata yang tidak terorganisir jumlahnya banyak. Mereka ada kaum profesi, ada pedagang, nelayan, kaum miskin. Hidup mereka juga sangat tergantung pada pekerjaan musiman, pada belas kasih orang. Di dalam kelompok ini ada juga janda, yatim, juga para buruh,” kata Romo Sugiyana.
Di samping itu masih ada kelompok lain yang disebut kelompok pendosa. Mereka ini adalah pelanggar hukum, pelacur, pencuri, penjahat, pemungut cukai, para gembala, lintah darat dan penjudi. “Di tengah-tengah mereka inilah Yesus tampil. Yesus bergaul justru dengan kelompok-kelompok kecil ini, kelompok pendosa, termasuk kelompok-kelompok kecil lainnya. Bukan dengan orang Farisi, bukan dengan orang Zelot, bukan dengan orang Saduki, atau Esseni, tetapi justru dengan kelompok kecil ini. Ia tampil di tengah-tengah mereka. Yang diwartakan Yesus adalah Kerajaan Allah bagi mereka. Bagi Yesus, Kerajaan Allah itu ya pusat segala kegiatan, pewartaan, dan kerajaan Allah itu tidak lain sebenarnya adalah kerahiman Allah untuk umat manusia,” kata Romo Sugiyana.
Menurut Romo Sugiyana, Kerajaan Allah adalah suatu kondisi di mana Allah hadir menyatakan belas kasih-Nya, dan menyatakan keselamatan-Nya. “Maka, ya, Kerajaan Allah itu dinyatakan di tengah kelompok-kelompok kecil. Jadi, inilah Kerajaan Allah yang memang sumber pewartaan Yesus. Bukan tempat atau barang, tapi adalah lingkup situasi di mana Allah secara efektif menjadi Dia yang menentukan hidup manusia dalam relasinya dalam masyarakat. Ini adalah suatu yang dinamis, mewujudkan diri di mana manusia menerima Allah atau Kerajaan Allah juga situasi yang tercipta ketika Allah menghampiri manusia dan manusia menanggapi,” katanya.
Menurut Romo Sugiyana, Kerajaan Allah sebenarnya bukan bersifat rohani belaka. “Tapi juga terwujud dalam kehidupan nyata di mana kehidupan bersama itu menandakan kehadiran kasih Allah, kehadiran rahmat Allah. Keadaan di mana dosa tidak berkuasa. Keadaan di mana sifat-sifat Allah itu turun dan dialami oleh hidup manusia,” katanya.
Kerajaan Allah, lanjutnya, juga terwujud dalam kehidupan yang sangat nyata di mana orang buta bisa melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta jadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan, orang miskin mendapat kabar baik. “Itu gambaran-gambaran Kerajaan Allah,” katanya.
Yang mau diperjuangkan Yesus, lanjut Romo Sugiyana, adalah tatanan kehidupan yang baik, yang adil, yang damai, terutama juga memberi ruang bagi orang-orang kecil. “Dan pewartaan Yesus tentang Kerajaan Allah itu menimbulkan daya pikat masyarakat yang luar biasa khususnya masyarakat kecil. Banyak orang datang tertarik, kemana Yesus pergi selalu di situ ada kumpulan orang. Nama Yesus semakin dikenal, didengar di mana-mana,” katanya.
Kondisi inilah, sambung Romo Sugiyana, yang akhirnya memunculkan oposisi dari orang-orang yang tidak suka dari kelompok-kelompok tadi. “Apa yang dilakukan oleh Yesus walaupun maksudnya baik seringkali berbenturan dengan tatanan religius orang Yahudi yang kadang-kadang mereka merasa Yesus itu melanggar adat istiadat, melanggar hukum. Juga Yesus melanggar tatanan sosial yang ada pada waktu itu. Yesus dituduh menghujat Allah, melanggar hukum, menghasut orang-orang Yahudi untuk melawan pemerintah. Jadi, ini konsekuensi-konsekuensi. Ada yang tidak senang dengan apa yang dilakukan oleh Yesus itu. Dan yang tidak senang itu, kemudian mencoba melawan, menyingkirkan, berusaha membunuh Yesus. Mereka terus mencari alasan untuk bisa menyingkirkan Yesus. Dan Yesus sadar dengan ancaman itu. Dan itu dilihatnya sebagai konsekuensi. Maka, Yesus tidak menghindari, tapi Yesus menghadapi,” jelasnya.
Menurut Romo Sugiyana, Yesus menyadari betul ketika berbuat baik atau memperjuangkan yang baik, tidak selalu semua orang senang. Ada lawan-lawan yang mengancam hidup-Nya di tengah situasi seperti itu.
Menurut Romo Sugiyana, terhadap kondisi tantangan dan ancaman itu, Dia tidak mundur, karena bagi Dia keselamatan umat manusia jauh lebih menjadi prioritas daripada keselamatan Diri-Nya. “Ketaatan-Nya pada Allah yang mengutus-Nya jauh lebih kuat daripada membela hidup, menjaga keselamatan Diri-Nya. Inilah peran Yesus di tengah kehidupan publik,” kata Romo Sugiyana.
Ketika Ia mati, kematian-Nya menjadi tanda puncak solidaritas pada manusia, pada penderitaan manusia. “Jadi, kematian Yesus menjadi bentuk bagaimana hidup-Nya itu terus berada di dalam misi Allah untuk menyelamatkan. Misi Allah untuk kebaikan masyarakat. Misi Allah untuk kehidupan bersama yang lebih damai. Dan apa yang terjadi? Ternyata Ia bangkit. Ternyata setelah 3 hari Yesus bangkit. Kebangkitan ini penting. Karena kebangkitan ini yang membuat bahwa apa yang dilakukan oleh Yesus itu bukan kekalahan. Yesus mati itu tidak kalah. Yesus mati itu tidak berarti perjuangan-Nya berhenti. Tetapi, kalau tanpa kebangkitan, maka boleh dikatakan yaitu kekalahan, ternyata, memperjuangkan kebaikan itu ndak ada hasilnya, malah mengancam hidup-Nya. Tapi dengan Yesus bangkit maka menjadi nyata bahwa seluruh tindakan Yesus untuk mewartakan Kerajaan Allah, untuk membela hidup umat manusia tadi ternyata berkenan bagi Allah. Dan ternyata itu mendatangkan keselamatan untuk umat manusia,” kata Romo Sugiyana.
Apakah Yesus berpolitik?
Dalam konteks saat ini, kehidupan kelompok masyarakat dengan corak mirip kaum Herodian, Farisi, Saduki, Esseni, dan Zelot pun masih dijumpai. Di tengah kehidupan yang seperti itu, seperti halnya Yesus yang hidup di tengah-tengah ruang publik, Romo Sugiyana menyampaikan pertanyaan reflektif, sebagai pengikut Yesus lalu apa yang mau kita gerakkan? Apakah kita termasuk kelompok-kelompok tadi? Dalam arti tertentu, Yesus berpolitik etis, bukan praktis. Konsekuensinya, apakah Gereja juga berpolitik?
“Ini saya angkat supaya kita sendiri nanti dalam perjalanan waktu ke depan berani punya pikiran-pikiran tentang politik itu secara baru. Tidak hanya menjadi orang yang terus mengatakan politik itu kotor, politik itu nggak baik, politik itu kita jauhi, Gereja harus berpisah dengan politik, ya supaya kita punya sikap yang baru,” katanya.
Menurutnya, selama Gereja tidak mau “berpolitik” dalam arti tertentu, Gereja tidak akan pernah berperan di tengah masyarakat dan tidak pernah akan menjadi pembaharu masyarakat karena Gereja mengambil jarak dengan dinamika hidup di tengah masyarakat tadi. “Secara ekstrem mungkin Gereja cenderung akan kayak kelompok Esseni. Seolah-olah dinamika, tantangan-tantangan masyarakat, itu seolah-olah bukan masalahku. Ini yang supaya kita tidak lalu mengatakan harus dipisahkan antara Gereja dan politik. Tapi politik itu yang harus kita beri warna baru,” kata Romo Sugiyana.
Banyak pengertian tentang politik. Namun, menurut Romo Sugiyana, politik itu akhirnya mau menegaskan ada hubungannya dengan warga negara, ada hubungannya dengan kekuasaan, dan ada hubungannya pula dengan keputusan-keputusan publik.
Seorang filsuf Aristoteles mengartikan politik sebagai usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Frans Magnis Suseno, SJ mengartikan politik sebagai segala kegiatan manusia yang berorientasi kepada masyarakat secara keseluruhan atau yang berorientasi pada negara. Jika pengertian politik itu sedemikian positif, mengapa yang berkembang kemudian politik menjadi berkonotasi negatif, bahkan kita sampai mengambil jarak dengan politik?
Menurut Romo Sugiyana, ketika politik ditempuh melalui jalur-jalur parsial entah apapun bentuknya, partai, atau organisasi politik tertentu yang ada, akhirnya mereka menempuh dan memperjuangkannya melalui kelompoknya. Ketika memulai dari kelompoknya, maka perjuangannya adalah perjuangan kelompok. “Dengan mengatakan perjuangan kelompok akhirnya ia berhadapan juga dengan kelompok lain, sehingga politik itu akhirnya menjadi perebutan kekuasaan. Ketika terjadi perebutan kekuasaan antar kelompok inilah, kadang-kadang cara-cara yang dipakai adalah cara-cara yang mulai tidak benar. Bagaimana supaya kelompokku itu bisa menang, bisa meraup suara lebih banyak, bisa memberi pengaruh lebih besar akhirnya itu juga ada motif-motif kelompok,” kata Romo Sugiyana. Bahkan motif-motif kelompok itu tidak tulus lagi untuk kepentingan masyarakat.
Menurut Romo Sugiyana, kalau Gereja sebagai lembaga masuk dalam kelompok tertentu, pasti Gereja juga akan berhadapan dengan kelompok lain. Bahkan ketika Gereja berpihak pada salah satu, maka Gereja juga akan berhadapan dengan umatnya sendiri yang berada di warna lain. Dengan demikian akhirnya terjadilah perpecahan di dalam Gereja itu sendiri. Dan Gereja masuk di dalam ranah-ranah kelompok. Untuk itu, Gereja tidak berpolitik praktis. “Politik praktis menjadi hal yang kita hidari karena dalam politik praktis itu dengan sendirinya kita itu sudah berada dalam suatu kelompok tertentu akhirnya kalau kita masuk dalam politik praktis. Karena kita itu tidak partai tunggal, ya,maka Gereja tidak akan menggiring orang untuk masuk ke warna tertentu. Tapi Gereja hanya mengingatkan supaya semangat dasar, semangat politik kita harus tetap menjadi semangat yang mengedepankan kepentingan bangsa ini,” katanya.
Namun kaum awam Katolik, menurutnya, berhak masuk dalam ranah-ranah kelompok politik itu. “Karena lewat cara-cara itulah Anda akan menyuarakan pendapat Anda. Tentu yang diharapkan walaupun melalui wadah-wadah atau warna-warna tertentu tadi, konsistensi kita untuk kepentingan masyarakat itulah yang harus diutamakan. Bahwa memang harus melalui wadah-wadah itulah, suara kita akan berdampak lebih besar bagi kepentingan bersama lewat kebijakan-kebijakan, keputusan-keputusan yang diambil bersama-sama itu,” katanya.
Menurut Romo Sugiyana, Yesus dalam hidup dan misi-Nya semata demi untuk Kerajaan Allah. “Jadi, dalam Kerajaan Allah itu tidak hanya berjuang menciptakan kondisi baik, tapi juga berjuang melawan kekuatan-kekuatan jahat yang merusak kondisi itu,” katanya. Yesus berhadapan dengan orang dan kelompok-kelompok yang merasa dirugikan oleh tindakan Yesus sendiri.
“Dan kematian Yesus tidak lepas dari konsekuensi tindakan Yesus mewartakan Kerajaan Allah yang berdampak transformatif bagi kehidupan manusia. Dalam arti ini, Yesus berpolitik bukan dalam konteks meraih kekuasaan, tetapi dalam konteks agar rencana penyelamatan Allah itu terwujud dalam sejarah hidup manusia. Dan itu yang akan berhadapan dengan hidup umat manusia, berhadapan dengan orang-orang yang menghambat keselamatan, dengan pihak-pihak yang mungkin merasa dirugikan oleh tindakan Yesus,” katanya.
Maka, menurutnya, politik dalam pandangan Yesus adalah ketika tindakan itu kena pada banyak orang, berhadapan dengan banyak orang, dan membela hidup banyak orang, sekalipun di balik itu juga harus berlawanan dengan yang lain.
“Dalam berpolitik, Yesus tidak pernah berusaha menggulingkan kekuasaan seperti yang dilakukan oleh kaum Zelot. Betapa bengisnya kekuasaan itu, Yesus tidak pernah bermaksud menggulingkan. Yesus juga tidak pernah mengajak para pengikut-Nya menarik diri dari ruang publik dan menjelek-jelekkan kekuasaan lalu menarik diri. Lalu, hanya mengurusi kehidupan pribadi, kehidupan keagamaan, kehidupan rohani, seperti kaum Esseni tadi,” katanya.
Dia, sambung Romo Sugiyana, juga tidak pernah menyuruh para pengikut-Nya untuk berkolaborasi dengan penguasa supaya aman, supaya diuntungkan, supaya mendapat ruang-ruang. “Juga tidak pernah berkolaborasi secara oportunis, nek nguntungke, aku melu, nek ora nguntungke aku narik diri. Jadi, Yesus bukan anti penguasa. Tetapi Ia tahu bahwa perubahan masyarakat secara esensial memang tidak pernah bisa terjadi semata-mata melalui jalur politik. Ia mengandalkan hukum. Ia memilih untuk mentransformasi masyarakat melalui gerakan-gerakan kasih itu walaupun dalam rangka gerakan kasih kadang-kadang berhadapan dengan kepentingan-kepentingan banyak orang,” imbuh Romo Sugiyana.
Karakteristik sikap politik Yesus
Dalam mewujudkan Kerajaan Allah, Yesus mempunyai sikap politik dengan karakteristik tertentu. Menurut Romo Sugiyana, ada 5 karakteristik sikap politik Yesus. Pertama, berorientasi pada kesejahteraan publik. “Maka, karakteristik sikap politis Yesus ya di antaranya adalah berorientasi pada kesejahteraan bersama. Jadi, kepentingan bersama ya, untuk kesejahteraan itulah yang diutamakan, terutama mereka-mereka yang kecil. Dia berada di pihak kecil yang kalah, yang kadang-kadang jauh dari sejahtera. Maka, Dia berada di pihak itu. Ia menempatkan Diri di tengah mereka sebagai orang yang mau mendengarkan, memberi perhatian,” katanya.
Kedua, mensinergikan agama dan negara. “Mana yang menjadi hak Allah, mana yang menjadi hak Raja, semua Ia hargai. Tapi bagaimana itu disinergikan. Urusan dunia adalah urusan negara, tetapi bagaimana negara atau siapapun yang diberi kekuasaan itu harus menjalankan sebagai mandat dari Allah untuk mengurus dunia ini, mengurus negara, mengurus masyarakat. Maka setiap orang yang berada di dalam kekuasaan itu, Ia harapkan tunduk pada prinsip-prinsip ilahi. Jadi, bukan jatuh pada kepentingan pribadi, tapi harus tunduk juga kepada prinsip-prinsip ilahi,” kata Romo Sugiyana.
Ketiga, menolak diskriminasi. Menurut Romo Sugiyana dalam Mat 15:21-28 tentang Perempuan Kanaan, Yesus diutus kepada yang hilang. Diutus sebagai bentuk proyek misi ilahi; hilang menujuk pada dihancurkan, dianggap hina. Yesus mengangkat martabat wanita itu dengan analogi anjing (hewan yang dihormati). Ia menghargai orang lain dan mengangkat derajat kaum yang termarginalisasi.
Keempat, mengaktualisasikan hukum yang tidak memihak dan tidak kompromis. “Seringkali hukum itu diterapkan atas dasar kompromi-kompromi. Dan Yesus tidak masuk dalam ranah itu. Pewartaan-Nya kena pada siapapun. Dia tidak pernah punya kepentingan terhadap kelompok-kelompok tertentu,” kata Romo Sugiyana.
Kelima, menjamin Hak Asasi Manusia. Menurut Romo Sugiyana, kehadiran Yesus senantiasa memperjuangkan dan menjamin hak asasi manusia. “Di tengah-tengah masyarakat yang ditata secara kaku oleh kelompok-kelompok tertentu, Yesus coba masuk dalam suasana itu. Dan Ia mencoba setiap pribadi harus lebih dihargai. Dengan bahasa yang berbeda, Ia mengatakan, bahwa hari Sabat itu harus menjadi hari bukan yang menghukum, tapi yang membebaskan manusia,” katanya.
Manusia bukan untuk hari Sabat, tetapi hari Sabat untuk manusia.
Pada bagian akhir, Romo Sugiyana menegaskan kembali, bahwa Yesus berpolitik dalam konteks politik yang luas. “Politik untuk kesejahteraan, untuk kemajuan, untuk kehidupan bersama,untuk membangun martabat hidup, untuk membangun peradaban kasih. Dan saya rasa Gereja juga punya peran yang sama, tentu dalam konteks yang lebih konkret di tengah kehidupan bersama ini. Jadi, Gereja tentu akan menunjukkan apa yang dilakukan oleh Yesus itu,” pungkasnya.