Oleh BAPAK JULIUS KARDINAL DARMAATMADJA, SJ
Pendahuluan
Setiap 1 September sampai 4 Oktober sejak tahun 2019, sudah ada sekelompok umat Kristiani secara ekumenis berdoa untuk bumi, rumah kita bersama. Peran ensiklik Laudato Si’ sangat kuat dan jelas. Sebagai pengikut Kristus, kelompok umat Kristiani ini telah menyadari tugas dan tanggung jawab mereka sebagai pemelihara ciptaan Tuhan, karena kesejahteraan hidup manusia pada dasarnya terkait dengan kesejahteraan bumi. Mereka sangat prihatin terhadap kerusakan lingkungan hidup. Maka pada masa itu, 1 September sampai 4 Oktober, mereka berkumpul untuk berdoa, bertobat, membagi kesadaran, pandangan maupun apa yang telah atau akan mereka usahakan untuk merawat bumi yang telah terluka oleh ulah kegiatan manusia. Karena tujuannya untuk merawat bumi dengan segala isi dan lingkungannya, maka masa 1 September sampai 4 Oktober ini mereka sebut “Masa Penciptaan”. Mereka mengajak siapapun juga untuk bergabung dalam gerakan peduli lingkungan hidup mereka. Ada 3 acara penting dalam setiap perayaan Masa Penciptaan 1 September sampai 4 Oktober. Pertama, berdoa secara ekumenis. Di Indonesia kiranya juga dapat mengajak umat Muslim untuk berdoa sendiri dengan ujud yang sama. Yang kedua, bersama Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) membuat acara merawat bumi sebisanya. Yang ketiga, membuat advokasi kepada pimpinan Negara. Ini tentu hanya lewat orang-orang tertentu yang dekat dengan Presiden, atau Pemerintah Daerah, untuk melakukan lobi-lobi.
Tema Masa Penciptaan 1 September sampai 4 Oktober
Sejak tahun 2019, selalu ada tema khusus setiap tahun bagi setiap gerakan Masa Penciptaan tahun itu. Tema Masa Penciptaan tahun 2019 adalah “Jaringan Kehidupan”. Dalam kesempatan turut serta merayakan pertemuan tersebut Paus Fransiskus menyampaikan sambutannya demikian: “Kita telah direncanakan dan dilahirkan menjadi pusat suatu jaringan kehidupan, yang terdiri dari jutaan species yang disatukan oleh Sang Pencipta dalam ikatan kasih.” Selama merayakan pertemuan tersebut, kita dimungkinkan untuk merefleksikan bagaimana setiap orang dari kita dapat dan harus terlibat dalam arus yang terus menerus menggerakkan jaringan kehidupan, di mana kita ada di dalamnya. Berarti bahwa kita menyadari bahwa sebagai manusia, kita ada di dalam jaringan seluruh kehidupan yang telah diciptakan oleh Allah. Mereka semua yang ada dan hidup, merupakan saudara dalan satu karya penciptaan Allah, sehingga kita harus saling menghormati dan mendukung kelangsungan hidup mereka. Maka bumi, lautan dan udara merupakan rumah kita bersama, bukan hanya rumah manusia. Kita tidak boleh rakus dalam memanfaatkan kekayaan alam dari bumi, sampai menyingkirkan atau bahkan memusnahkan makhluk hidup yang ada di dalamnya.
Tema Masa Penciptaan tahun 2020 adalah: “Tahun Yubileum Bumi”. Dalam ikut serta merayakannya, Paus Fransiskus juga menyampaikan pesannya, antara lain mengingatkan bahwa “dalam Kitab Suci, suatu Yubileum adalah masa yang suci, untuk mengingat, untuk mengembalikan seperti semula, dan istirahat dari mengeksploitasi, lalu memulihkan kembali dan bersuka-cita.” Yubileum adalah tahun yang ditandai dengan suatu realitas yang baru, bahwa kita manusia adalah rapuh, dan bahwa kita membutuhkan yang lain untuk dapat tetap hidup. Masa Penciptaan selama satu bulan lebih selalu memberi kesempatan bagi semua orang dan komunitas yang jumlahnya ribuan untuk melayangkan pandangannya kepada Tuhan.
Perjumpaan Masa Penciptaan tahun 2021 sangat menggembirakan. Ribuan orang berpartisipasi. Karena mereka baik yang beriman atau tak beriman menyadari panggilan hidup bahwa mereka harus hidup dalam harmoni, bahkan menjadi penjaga, perawat bumi dan lingkungan hidup mereka sebagai rumah kita bersama serta mengasihi mereka dengan penuh tanggung jawab. Maka mereka perlu merawat kehidupan, apa pun bentuknya sebagai bagian dari ciptaan Allah. Masa Penciptaan merupakan saat untuk merefleksikan pentingnya pertobatan ekologis kita dan mau berjuang untuk memperbaikinya karena sadar bahwa kita bagian dari ciptaan yang juga dikasihi Tuhan Pencipta.
Tema Masa Penciptaan tahun 2022 ini adalah “Dengarkanlah Suara Ciptaan”. Begitu mendesak situasi dari krisis lingkungan hidup, sehingga sebagai simbol diambil “semak yang terbakar,” Simbol ini mau menunjukkan bahwa Api Roh Kudus akan membimbing usaha kita. Inilah yang menjadi judul dari tulisan untuk majalah INSPIRASI bulan ini.
Keterlibatan Gereja-gereja Kristen dan Katolik
Awalnya pada 1989, Gereja Ortodoks Timur dalam diri Patriarkh Dimitros menetapkan 1 September sebagai hari doa untuk ciptaan bagi seluruh umatnya. Selanjutnya pada tahun 2008, World Council of Churches (WCC) memperpanjang perayaannya sampai tanggal 4 Oktober, pesta Santo Fransiskus Assisi, sehingga umat Kristen diajak berdoa selama satu bulan lebih. Hal ini dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi krisis lingkungan.
Tahun 2015, Paus Fransiskus kecuali menerbitkan ensiklik Laudato Si’, dan menetapkan Masa Penciptaan dari tanggal 1 September sampai 4 Oktober untuk seluruh Umat Katolik, ia juga menetapkan tanggal 1 September sebagai Hari untuk Perawatan Bumi. Secara khusus, terkait Masa Penciptaan, Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ menunjukkan dua gagasan penting. Pertama, dialog dan upaya merawat bumi. Kedua, solidaritas dan perhatian kepada orang-orang yang paling rentan terkena dampak kerusakan lingkungan hidup. Paus Fransiskus juga menegaskan, adanya relasi erat antara Tuhan, manusia dan bumi. Ia mengajak umat menyadari bahwa bumi adalah rumah kita bersama dengan semua makluk di bumi. Berikut adalah tema dalam Masa Penciptaan tahun 2022 sekarang ini, yaitu: “Dengarkanlah Suara Ciptaan”, yang menjadi judul tulisan ini.
Mendengar suara ciptaan
Kiranya sudah jelas, bahwa yang dimaksud dengan “mendengar” di sini adalah mendengar secara aktif, penuh perhatian, atau “mendengarkan dengan hati”, seperti telah diuraikan dalam Majalah INSPIRASI no 213 Tahun XVIII Mei 2022, halaman 10-13. Sehingga dalam merayakan Masa Penciptaan 1 September – 4 Oktober 2022 ini, kita diajak untuk mendengarkan dengan sepenuh hati suara ciptaan, dan berbuat sesuatu sebisa kita untuk mengurangi kerusakan lingkungan hidup kita dan mengurangi pemanasan bumi. Mazmur 19:2-5 mengungkap suara ciptaan yang memuliakan Allah meski tanpa kata-kata, sehingga hanya dapat didengar oleh telinga hati: “Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya; hari meneruskan berita itu kepada hari, dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam. Tidak ada berita dan tidak ada kata, suara mereka tidak terdengar; tetapi gema mereka terpancar ke seluruh dunia, dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi.”
Ciptaan tak pernah berhenti menggaungkan kemuliaan dan kasih Sang Pencipta, tetapi apakah kita mendengarkan suaranya? Ada yang mendengarkan, yaitu para ilmuwan dan para ahli, para pegiat lingkungan hidup dan pimpinan Gereja-gereja Kristen dan Katolik. Tetapi justru para pimpinan negara yang berhak dan seharusnya mengambil keputusan untuk menanggapi teriakan ciptaan yang merana karena dampak dari ulah perekonomian dunia, mereka ini tidak atau kurang menanggapinya secara konsisten dan konsekuen.
Sebenarnya tanggal 12 Desember 2015, telah disepakati oleh 196 pimpinan negara sedunia yang tergabung dalam PBB dalam pertemuan COP 21 di Paris, untuk menurunkan panas bumi sampai kurang dari 2 derajat Celsius, atau syukur sampai 1,5 derajat celcius, dibandingkan dengan panas bumi pada masa sebelum ada industri. Keputusan ini berlaku mulai tanggal 4 November 2016, dan diikat oleh Hukum Internasional. Setiap 5 tahun negara-negara melaporkan pelaksanaannya, bagaimana mereka mengurangi emisi karbon dan metana, melindungi hutan dari kerusakan yang ditimbulkan manusia, melindungi bumi dari sampah dan limbah. Suatu tonggak sejarah yang pantas dipuji dan dikenang.
Tetapi bagaimana pelaksanaannya? Setelah 5 tahun berjalan, pada pertemuan COP26 di Glasgow, Skotlandia, tanggal 13 November 2021, keputusan besar beberapa diambil. Tetapi kalau ditakar dengan keputusan Paris, banyak kurangnya. Para ilmuwan, para analis dan aktivis masih kecewa. Mereka berpendapat bahwa CPO 26 tahun 2021, meski ada hal-hal penting disetujui, namun belum cukup. Beberapa analis yang serius juga mengatakan bahwa perlu disebut gagal, karena tidak mencapai cita-cita yang telah dirumuskan di Paris. Ada 2 hal pokok yang gagal disetujui dengan jelas sebagai target sampai tahun 2030, yaitu membarui keputusan membatasi panas bumi sampai 1,5 derajat Celsius, dan untuk menghentikan penggunaan batubara sebagai sumber enegi. Mengenai yang terakhir ini, disebutkan bahwa itu gagal setelah India menyampaikan pandangannya pada saat-saat terakhir pengambilan keputusan. Meski demikian ada hal-hal berharga yang perlu disebutkan. Antara lain tetap ada usaha menurunkan panas bumi, pengurangan penebangan hutan dan ada kerjasama dalam pembiayaan bagi negara-negara berkembang saat mengurangi penggunaan batubara.
Penutup
Maka dari itu selanjutnya masih perlu diperjuangkan apa yang sudah disetujui di Paris tahun 2015. Perjuangan lewat perayaan Masa Penciptaan atau Season of Creation, 1 September sampai 4 Oktober telah sejak tahun 2019 dikumandangkan. Sekarang ada kesempatan emas berikut, yaitu pertemuan COP 27, yang akan digelar di Mesir 7-18 November 2022. Maka pertemuan Masa Penciptaan 1 September sampai 4 Oktober 2022 ini, yang bertema “Dengarkanlah Suara Ciptaan” sangat penting untuk menggalang kekuatan rohani maupun kesempatan kita membuat program-program bersama merawat rumah kita bersama dan membuat gerakan-gerakan advokasi. Semoga dengan suara kita, para pimpinan Negara sedunia akan berbuat sekuat tenaga agar keputusan Paris tahun 2015 dapat dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten. Kita perlu memengaruhi dan mendoakan para pimpinan Pemerintah yang akan hadir di Mesir November 2022 yang akan datang, karena pemanasan bumi dan kerusakan lingkungan hidup sudah dalam keadaan darurat, sehingga perlu dikendalikan, sehingga panas bumi bisa turun sampai 1,5 derajat Celsius, dan tidak ada lagi penebangan hutan. Untuk itu penting bahwa batu bara tidak dipakai lagi, demikian pula hutan-hutan perlu dirawat karena merupakan paru-paru bumi. Bumi dan lautan sendiri juga jangan dicemari oleh sampah dan limbah. Semoga CPO 27 di Mesir, November 2022 nanti menghasilkan buah yang menyelamatkan rumah kita bersama.