Oleh BAVO BENEDICTUS SAMOSIR, OCSO*
Sewaktu saya masih berusia Sekolah Dasar, keluarga kami tinggal di sebuah desa terpencil. Desa kami adalah desa transmigran yang mayoritas masyarakatnya berasal dari Pulau Jawa yang menganut agama Islam. Sementara keluarga saya dan beberapa keluarga lainnya bersuku Batak Toba yang menganut agama Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Dan sebagian kecil suku Tionghoa beragama Buddha. Boleh dikatakan sejak kecil saya dan keluarga sudah terbiasa hidup dalam keberagaman suku, budaya bahkan agama.
Ada satu kebiasaan yang kami lakukan, yang hingga saat ini masih sangat mengesankan. Ketika hari raya Natal tiba, kami mengantarkan kue Natal kepada tetangga yang berbeda agama dengan kami. Dan sebaliknya ketika hari raya ldul Fitri dan hari raya lmlek, kami menerima kue lebaran dan kue keranjang. Ini salah satu pengalaman sederhana tentang hidup dalam keberagaman. Saya yakin masih banyak pengalaman hidup lainnya yang membuktikan bahwa kita bisa hidup harmonis dalam keberagaman.
Menerima dan memelihara keberagaman
Kita adalah bangsa yang oleh Tuhan dianugerahi keberagaman suku, bahasa, pulau dan agama. Ada 1340 suku, 715 bahasa, 17.000 pulau dan 6 agama. Tidak ada bangsa lain yang dianugerahi rahmat sebesar bangsa kita. Keberagaman merupakan bagian dari bangsa kita, namun kita tetap bisa hidup secara harmonis di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Harmoni dalam keberagaman tercermin dari sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan yang ada.
Sayangnya, tidak dapat dipungkiri, saat ini ada kelompok-kelompok tertentu yang mengejar kepentingan pribadi dan kelompok untuk kekuasaan dan kekayaan, telah mencederai keberagaman Indonesia. Mereka menciptakan kekacauan yang seakan-akan disebabkan oleh keberagaman. Mereka menyebarkan informasi palsu dengan tujuan agar muncul praduga-praduga yang negatif di dalam keberagaman, khususnya keberagaman agama. Para politisi busuk menghasut dan mengadu domba kehidupan berbangsa kita yang harmonis dengan keberagaman agama. Dan sangat disayangkan sebagian dari masyarakat kita ada yang terhasut. Keberagaman agama dijadikan alat konflik di tengah perjalanan hidup kita sebagai sebuah bangsa.
Saat ini semakin marak ketidakhormatan dan kekerasan yang dilakukan atas nama agama, penghinaan yang dilakukan atas nama Allah. Sikap bangga yang sangat berlebihan di dalam praktik-praktik keagamaan menghasilkan pembatasan-pembatasan ruang gerak kehidupan beribadah dan sosial orang lain yang berbeda agama. Sesungguhnya pembatasan itu tidak harus terjadi karena negara memberi hak kepada semua pemeluk agama untuk beribadah kepada Tuhan Allahnya. Setiap pemeluk agama harus memperlakukan pemeluk agama lainnya dengan hormat dan menghargai yang benar dan suci dalam agama lain, meski tidak harus mengimaninya. Oleh karena itu, keberagaman itu harus diterima dengan sikap inklusif yakni menerima dan terbuka terhadap keberagaman.
Kita harus bangga dengan anugerah keberagaman bangsa kita. Namun anugerah keberagaman tidak cukup hanya kita banggakan saja, tetapi harus sungguh kita hidupi dalam perjalanan hidup. Jika kita sungguh mencintai bangsa Indonesia dan ingin hidup di negara Indonesia dalam kemerdekaan sepenuhnya, tidak ada jalan lain selain harus menerima dalam kebebasan bahwa keberagaman merupakan bagian dari kehidupan kita. Jika tidak, maka keberagaman yang kita miliki bukan menjadi berkat tetapi menjadi sumber pertentangan sepanjang perjalanan sejarah kehidupan kita sebagai sebuah bangsa.
Keberagaman yang melengkapi
Ada oknum-oknum yang ingin mengambil kepentingan politik pribadi, kelompok maupun kepentingan uang sering menggunakan agama untuk menciptakan ketegangan dan kerusuhan di antara sebagian umat beragama. Pandangan iman agama tertentu tentang Allah dibandingan dengan pandangan agama yang lain. Bukan hanya membandingkan, namun juga menghina pandangan iman agama lain dengan pola pemikiran mereka yang salah.
Sesungguhnya Allah yang absolut tidak dapat dibatasi oleh agama tertentu saja dan tidak ada agama apapun yang mampu memahami Allah secara penuh, karena agama itu terbatas, sementara Allah tanpa batas dan melampaui semua agama. Agama apapun itu, hanya bisa memahami Allah sebagian dan sangat terbatas. Allah dapat dikenal tetapi Allah tidak dapat dimengerti secara memadai. Tidak ada satu agama yang memiliki kebenaran penuh dan utuh. Tuhan tidak dapat ditangkap secara memadai dalam konsep dan bahasa manusia. Jadi, sementara pengetahuan kita tentang Tuhan mungkin benar, namun hanya sebagian. Dengan demikian, sesungguhnya keberagaman agama justru saling melengkapi dan menyempurnakan dalam memahami tentang Tuhan Allah. Dan sesungguhnya, ketika kita masuk lebih dalam ke dalam keabsolutan Allah, maka kita akan menemukan diri kita yang tidak absolut ini, sebagai saudara dan saudari yang memiliki iman akan Allah yang esa.
Pada kesempatan khusus di hari ulang tahun kemerdekaan negara kita yang ke-77, kita perlu mengingat kembali untuk yang kesekian kalinya, bahwa kemerdekaan yang telah diperjuangkan para “founding fathers“ kita bertujuan agar kita dapat hidup di tanah air Indonesia dalam keberagaman yang harmonis. Sebagai anak bangsa sebaiknya kita tidak terhasut oleh para politikus busuk, yang demi kepentingan mereka merusak keberagaman Indonesia yang harmonis. Jangan sampai kemerdekaan kita sebagai suatu bangsa hancur akibat sekelompok ekstremis tertentu yang menolak keberagaman! Sesungguhnya keberagaman merupakan bagian dan watak bangsa Indonesia, yang tidak mungkin untuk ditiadakan. Meniadakan keberagaman sama artinya membubarkan NKRI.
Kemerdekaan sejati tidak pernah lepas bebas tanpa kendali, namun selalu berdampingan dengan kewajiban untuk menghormati orang lain, sekalipun mereka berbeda dengan kita. Kemerdekaan sejati tidak pernah meniadakan adanya keberagaman. Kita harus bertanggungjawab untuk memelihara keberagaman tersebut karena Tuhan telah menganugerahkannya sebagai bagian dari kehidupan kita sebagai suatu bangsa. Dalam keberagaman, kita adalah satu di dalam kasih Tuhan. Selamat merayakan hari ulang tahun kemerdekaan negara kita, Indonesia, dalam semangat keberagaman.
*Penulis adalah Rahib-Imam di Biara Mount St. Joseph- Irlandia.