Dalam sebuah webinar yang diselenggarakan Ikatan Dosen Katolik Indonesia (IDKI), 17 Agustus 2021, sebagai narasumber Romo Fransiskus Xaverius Murti Hadiwijayanto, SJ memberi judul materinya “Matinya Era Kata-kata”. Ia hendak mengajak para audiens untuk mencermati judul tersebut. “Siapa yang membunuhnya? Benarkah kata-kata itu sudah mati? Kita harus membuat penyelidikan sungguh, apakah kata-kata ini sudah mati?” ungkap imam yang berkarya di Studio Audio Visual (SAV) Puskat Yogyakarta itu melalui pertanyaan reflektifnya tersebut.
Menurutnya, kata-kata tidak boleh mati karena bangsa manusia selalu berkomunikasi dengan katakata. “Siapakah yang paling berkepentingan dengan kata-kata? Dunia kerja apakah yang paling membutuhkan kata-kata? Sebut saja yang paling membutuhkan kata-kata selama ini adalah dunia mimbar agama kita. Dalam liturgi keagamaan apapun selalu ada mimbar khotbah untuk para pemimpin ibadatnya dalam menyampaikan sabda Tuhan. Dia membutuhkan kata-kata. Pastor, pendeta, Pak Ustad, bikhhu dan para pemuka agama-agama lainnya membutuhkan kata-kata untuk menyampaikan sabda Tuhan,” katanya.
Ia pun melanjutkannya dengan pernyataan yang mencengangkan.“Di era media sosial ini, janganlah hati kita menjadi gelisah ketika melihat pemandangan seorang pastor yang berkhotbah menjelaskan makna ayat-ayat kitab suci dengan begitu rumitnya, sementara anak-anak kita tertidur pulas di dalam gereja, sementara kakaknya asyik bermain gadget sambil menunggu kapan misanya selesai. Inilah disruption era. Zaman di mana semua serba tidak fokus,” katanya.
Guru dan kata-kata
Dunia pendidikan, menurutnya, adalah dunia yang selama ini juga membutuhkan banyak kata-kata. “Di dunia pendidikan yang klasikal selama ini, anak-anak didik kita dimasukkan ke dalam kotak-kotak ruang kelas dan guru mengajar dengan banyak kata-kata. Anak-anak seringkali lebih jujur dalam mengungkapkan kebosanannya di kelas. Dia ingin segera beristirahat, bermain bersama teman-temannya. Tetapi ia harus tetap bertahan di kelas mendengarkan gurunya sambil menahan rasa kantuk yang berat sekali. Pandangannya selalu mengarah keluar ruangan kelas atau ke meja gurunya karena handphone-nya harus dikumpulkan di meja guru supaya anak-anak bisa fokus mendengarkan kata-kata,” katanya.
Bagi Romo Murti, kata-kata memang tidak pernah mati. Dunia kerja yang lain pun juga membutuhkan kata-kata untuk berkomunikasi dalam berkarya bersama. “Mungkin kita mulai berpikir judul “Matinya Era Kata-kata” ini harus diganti dengan pertanyaan seberapa dahsyatkah kata-kata mampu menyentuh hati orang, menggerakkan hati orang untuk membuat dunia ini menjadi lebih baik dalam konteks bidang pekerjaan kita masing-masing lebih-lebih di masa pandemi ini bagaimana para gembala umat bisa menjangkau umatnya,” ungkap imam yang menjadi sutradara dan penulis naskah film itu.
Menurutnya, ada yang hanya memindah mimbar khotbah yang ada di gereja langsung ke ruang-ruang virtual. “Ruang-ruang media sosial kita sekarang ini banyak dibanjiri pastor-pastor yang berkhotbah. Banyak umat yang like dan subscribe. Pastor yang khotbahnya menarik atau yang lucu atau yang sungguh mampu membuat pendengarnya bergetar hatinya, dia akan mendapatkan followers atau subscribers yang banyak,” katanya.
Meskipun demikian, menurutnya, ada juga pastor, bruder, frater atau suster yang mulai berpikir bahwa khotbah tidak terlalu menarik lagi untuk orang muda dan media sosial. Maka, para biarawan-biarawati ini mulai tampil tiktokan, pakai jubah, berjoget ria diiringi lagu-lagu yang sedang nge-hits di zaman tiktok ini.
“Sejak viralnya foto-foto polisi ganteng, polwan cantik, penjual jamu yang cantik, viral juga pastor ganteng, suster cantik, frater imut yang main tiktok. Ada yang mendukung, ada juga yang mengritik dan ada juga yang abstain karena merasa ada sesuatu yang sedang berubah di dunia ini, karena media digital yang berkembang pesat saat ini, tetapi ia belum mampu merumuskannya. Namun, diam-diam mulai menikmati keasyikannya melihat gambar dan mendengarkan suara,” ungkap Romo Murti.
Fenomena yang sama juga terjadi dalam dunia pendidikan. “Para guru dan dosen-dosen kita sedang berjuang bagaimana membuat anak-anak kita, mahasiswa kita bisa fokus belajar di era pandemi ini. Mereka sadar bahwa memindah ruang kelas begitu saja ke dalam ruang virtual, mengajar dengan zoom ini sangat tidak efektif. Guru-guru kita kadang harus sedikit keras meminta anak-anak didiknya untuk selalu membuka kameranya supaya para guru ini yakin bahwa anak-anaknya memang sedang belajar dengan rajin, tidak tidur, atau melakukan pekerjaan yang lain. Yang menjadi tidak terlalu mudah adalah justru para mahasiswa yang sudah dewasa ini. Dosen berkali-kali mengingatkan untuk selalu oncam, tetapi tetap saja yang tampak di layar hanya foto atau bahkan nama saja. Sang dosen sudah panjang lebar berkata-kata, mahasiswa tertidur lelap di kamarnya atau mungkin juga sedang mengerjakan pekerjaan lainnya,” katanya.
Menurutnya, dosen-dosen pun dituntut multitasking dan multitalking. “Sambil mengajar ia mengikuti rapat dengan urusan yang berbeda. Dan jangan heran, jika suatu saat partner rapat kita tiba-tiba tidak nyambung pembicaraannya karena ia salah room atau salah ruangannya,” katanya.
Sejarah media-tradisi latin
Zaman terus berubah dan berkembang. Dan perubahan zaman ini juga selalu membawa pada perubahan pada media yang dipakai oleh bangsa manusia untuk berkomunikasi satu sama lain. “Media yang dipakai oleh manusia dalam berinteraksi ikut mempengaruhi cara manusia berperilaku dan berpikir yang menciptakan perubahan pada cara hidup dan atau budaya manusia itu sendiri,” kata Romo Murti. Romo Murti pun menunjukkan sejarah perkembangan media dan budaya peradaban kemanusiaan tersebut.
Yang pertama adalah tradisi budaya lisan.
Menurutnya, yang disebut tradisi lisan adalah tradisi di mana belum ada media lain selain hanya mulut yang dipakai untuk berkomunikasi dan menyampaikan pesan pada orang lain. “Inilah tradisi orang bercakap-cakap, berbicara, ngobrol, yang semuanya memakai media mulut kita. Dari tradisi lisan inilah lahir budaya kata-kata. Produk dari aktivitas manusia berbicara adalah kata-kata. Inilah komunikasi paling alami. Manusia bertatap muka dan saling bicara. Budaya berkata-kata ini tidak pernah mati. Karena budaya inilah dasar dari segala macam media komunikasi,” katanya.
Menurutnya, kekuatan tradisi lisan ini adalah real time. Manusia yang bercakap-cakap membutuhkan ruang dan waktu yang sama. “Orang-orang ngobrol di kafe butuh ruang dan waktu yang sama. Umat datang ke gereja mendengarlan khotbah pastor membutuhkan ruang dan waktu yang sama. Siswa pergi ke sekolah, belajar bersama para guru membutuhkan ruang dan waktu yang sama di sebuah kelas. Orang pergi nonton pertunjukan teater juga membutuhkan ruang dan waktu yang sama,” katanya.
Menurut Romo Murti, ketika seluruh aktivitas berkata-kata ini terjadi, orang yang berdialog ataupun mendengarkan bisa melihat seluruh ekspresi wajah dan bahasa tubuh orang-orang yang sedang berkata-kata. “Kita bisa merasakan apa yang dirasakan oleh orang yang sedang berbicara. Tidak hanya lewat kata-kata yang terucap, tetapi juga melalui seluruh ekspresi dan bahasa tubuhnya melalui cara orang tersebut berkata-kata,” katanya
Menurutnya, tradisi sekolah, tradisi kelas, tradisi kemuridan, tradisi ibadat di gereja lahir bersama tradisi lisan tersebut. “Ruang dan waktu yang sama atau real time tadi adalah keunggulan sekaligus keterbatasannya. Orang yang di luar kelas atau di luar gedung gereja, atau di luar gedung pertemuan tidak bisa mengikuti apa yang dikatakan oleh sang pembicara,” imbuhnya.
Yang kedua adalah tradisi budaya tulis.
Menurut Romo Murti, ketika pada tahun 1440, Johannes Gutenberg menemukan mesin cetak di kota Mainz, Jerman, budaya tulis menulis berkembang pesat dengan produk utamanya adalah buku. “Ini bukan berarti bahwa tulis-menulis belum ada sebelumnya. Tetapi mesin cetak Gutenberg ini yang menjadi pemicu tradisi tulis-menulis dan membaca buku. Dengan adanya buku ini dialog pemikiran lintas ruang dan waktu terjadi. Kita manusia, manusia zaman ini bisa membaca Kitab Suci yang ditulis pada zaman Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru. Pastor-pastor bisa belajar filsafat dan teologi dengan membaca buku-buku karya Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Santo Agustinus dan lain-lain. Ketika kita membaca sebuah buku, sesungguhnya kita sedang berdialog pemikiran dengan penulisnya,” katanya.
Maka, menurutnya, buku memang seringkali membuat kita mampu berpikir secara mendalam, sistematis, logis dan terstruktur. Maka, layaklah jika kita mengatakan buku adalah sumber ilmu pengetahuan kita. “Membaca buku membuat kita pintar. Pengetahuan yang ditimbulkan dari membaca buku adalah pengetahuan kognitif. Semua ada di wilayah pemikiran,” imbuhnya.
Yang ketiga adalah tradisi budaya audiovisual.
Romo Murti menyebut tradisi budaya audiovisual sebagai tradisi lisan kedua. “Kenapa disebut lisan kedua? Karena sebetulnya kalau kita nonton TV isinya adalah kata-kata semua. Kita berdialog, kita membuat talkshow, kita mendengarkan berita, ini semua adalah tradisi lisan, tetapi melalui media. Maka, disebut tradisi lisan kedua. Tradisi audio visual adalah tradisi komunikasi dengan menggunakan sarana gambar dan suara. Tradisi audio visual ini merebak dengan suburnya ketika media elektronik berkembang pesat di dunia ini melalui media radio, televisi, tape recorder, film sekitar tahun 1960-an,” katanya.
Romo Murti menegaskan, televisi mulai tumbuh subur menghiasi kehidupan manusia. Generasi baby boomers tumbuh bersama maraknya dunia televisi sebagai media unggulan di masyarakat dunia. “Orang senang nonton televisi. Televisi yang semula hanya sebagai sarana penerangan dari pemerintah kepada masyarakat, sekarang tumbuh sebagai media hiburan. Orang nonton film seri, pentas musik, reality show, soft opera, gosip, semua ada di televisi,” katanya.
Menurutnya, televisi memang menggembirakan hati banyak orang karena dengan mendengar suara dan melihat gambar, orang-orang disentuh hatinya. “Dengan gelombang suara dan gambar, hati para pendengar digetarkan. Maka, seringkali orang bisa berlama-lama di depan televisi karena emosi yang terus diaduk-aduk oleh bayangan televisi. Maka, tidak mengherankan jika pada saat televisi menjadi kegilaan masyarakat ada pemeo yang mengatakan buku membikin manusia menjadi pintar, dan televisi menjadikan manusia menjadi bodoh. Seminar-seminar dengan tema dampak televisi dalam pendidikan anak pun marak diselenggarakan di mana-mana. Benarkah televisi membodohkan kita semua? Jika kita bertanya pada para pegiat komisi komunikasi sosial dalam Gereja tentu jawabnya tidak. Yang membedakan tradisi tulis atau buku dengan tradisi audio visual adalah cara kerja dua media ini yang berbeda pada tubuh kita, pada anatomi manusia,” katanya.
Menurutnya, ketika kita membaca buku, kita bekerja dengan pikiran kita. Lebih-lebih buku yang membutuhkan kerja keras pikiran, gagasan-gagasan pemikiran, itu berhentinya di pemikiran kita. Terlalu jauh seringkali untuk sampai ke hati. “Sedikit berbeda saat kita membaca novel atau cerpen. Apa yang kita baca menstimulus imajinasi kita. Dan akhirnya menjadi lebih dekat sampai ke hati. Maka, membaca novel, cerita, kita bisa berjam-jam bertahan, bertahan berjam-jam karena emosi kita dilibatkan dalam membaca,” katanya.
Lebih lanjut, Romo Murti menjelaskan, ketika kita nonton televisi, atau mendengarkan musik, kita bekerja dengan emosi kita. “Ibu-ibu yang menonton sinetron ‘Ikatan Cinta’ itu bisa sampai menangis karena emosinya dilibatkan. Tetapi setelah selesai nonton, baru ia sadar dan bertanya, mengapa saya tadi menangis? Nah, ketika pertanyaan ini muncul, itulah saatnya yang ada di tataran emosi kita diangkat menjadi sebuah refleksi pemikiran dan bisa menjadi diskusi yang menarik,” katanya.
Maka, sambungnya, orang yang membaca buku itu akan sampai pada kebenaran kognitif, kebenaran di tataran pemikiran. Sementara orang yang menonton televisi atau film sampai pada kebenaran afektif atau kebenaran yang dirasakan dalam pengalaman konkret kemanusiaan kita.
Yang keempat, tradisi budaya digital.
Tradisi ini berada pada era kita saat ini, era milenial. Menurutnya, tradisi digital ini awalnya ditandai dengan kehadiran internet dalam hidup manusia. “Media digital ini melahirkan yang sekarang ini kita sebut sebagai generasi milenial. Kemajuan di dunia teknologi komunikasi melahirkan sistem digital yang mampu mengkomunikasikan manusia dari satu belahan dunia dengan belahan dunia yang lain secara real time. Di ruang yang berbeda bisa berjumpa dengan waktu yang sama. Istilah sinkronus atau asinkronus menjadi sering kita dengar. Platform-platform social media tumbuh subur di mana-mana. Kebutuhan manusia untuk eksis dengan seluruh aktivitasnya mendapatkan tempat di sini,” kata Romo Murti.
Romo Murti pun menandaskan, di era digital inilah sebenarnya tradisi lisan, tulis, audio visual, semua bertemu menjadi satu. “Untuk kebutuhan ngobrol dengan teman ada ruang-ruang chatting di whatsapp atau telegram. Dan juga hampir di setiap-setiap social media selalu ada ruang untuk chatting sekarang ini. Untuk kebutuhan eksis ada ruang untuk foto-foto seperti instagram atau facebook. Untuk ruang-ruang bercerita melalui film pendek atau talkshow ada youtube, ada podcast,” katanya.
Secara ringkas, menurutnya, ada perbedaan-perbedaan cara kerja yang sangat mendasar ketika perkembangan media berubah dari tradisi baca tulis ke tradisi mendengar dan melihat. “Membaca buku memiliki kekuatan dalam tradisi berpikir yang mendalam tetapi seringkali berhenti di wilayah pemikiran dan pemahaman, tetapi tidak sampai pada pengetahuan yang afektif pada pengalaman. Sementara media audio visual memiliki sentuhan pada hati atau emosi yang sering menggerakkan dan membawa manusia pada tindakan yang nyata,” katanya.
Namun, menurutnya, media audio visual yang bervibrasi pada emosi penonton seringkali juga harus dituntun untuk sampai pada tataran refleksi yang dalam supaya pengalaman yang menggetarkan dengan seluruh tetesan air mata haru itu tidak hanya berhenti di situ saja, tetapi juga sampai pada inti pesan yang dalam yang ingin disampaikan pada sebuah tayangan.
“Agama” baru: Singkat, cepat, viral
Romo Murti pun menyampaikan, para Yesuit Provinsi Indonesia pernah mencanangkan tekad dengan menuliskan klausul memeluk dunia digital, menawarkan kedalaman intelektual dan spiritualitas. “Rumusan ini baik adanya, tetapi jika ditelaah lebih dalam ada dua tegangan di dalamnya. Tegangan yang pertama adalah memeluk dunia digital di zaman ini adalah sebuah conditio sine qua non, kondisi yang mau tidak mau harus kita dalami. Kondisi yang tidak terhindarkan. Kita berkomitmen ingin berjalan bersama orang muda. Sementara orang muda kita sekarang hidup di era digital,” katanya. Menurutnya, “bahasa” orang muda kita adalah bahasa digital, maka kita juga harus melek digital agar kita bisa konek dan nyambung dengan orang-orang yang kita layani.
Ketegangan yang lain, menurutnya, kita dari kalangan Gereja dan kalangan pendidikan adalah manusia-manusia yang lahir di era baca tulis. Sementara, anak-anak milenial dari bangun tidur sampai mau tidur lagi tidak pernah melepaskan gadget-nya. “Dari penelitian-penelitian sering dikatakan bahwa orang muda zaman sekarang tidak membaca buku lagi, tetapi membaca dari gadget mereka. Dan yang ada di gadget sekarang ini tidak hanya tulisan, tapi juga gambar dan suara. Dan seringkali dikatakan apa yang ada di media sosial itu sekarang semua serba singkat. Anak-anak muda kita tidak tahan lagi membaca yang panjang-panjang. Melihat tayangan pun tidak tahan yang panjang-panjang,” kata Romo Murti.
Menurutnya, perilaku baru ketika seseorang membuka youtube, dia akan melihat dulu durasi tayangannya. “Kalau lebih dari 5 menit tidak jadi ditonton. Orang-orang muda kita nonton tayangan youtube pun yang ringkas-ringkas di bawah 5 menit. Program talkshow saya di youtube berdurasi 30 menitan. Dan jika kita melihat catatan, saya melihat catatan youtube penonton talkshow saya yang saya buat, rata-rata bertahan hanya 10 menit,” katanya.
Menurutnya, singkat, cepat dan viral adalah agama baru yang diciptakan oleh social media. “Adalah instagram yang membuat tayangan hanya satu menit di halamannya, meskipun sekarang ada IGTV yang bisa lebih panjang. Tetapi bisa dibayangkan bagaimana mungkin menawarkan kedalaman dalam durasi yang hanya satu menit. Hidup kita terasa semakin harus cepat dan ringkas. Hidup dalam kilasan-kilasan yang cepat, hanya sekejap membutuhkan kemampuan adaptasi bagi kita semua dalam menemani orang-orang muda kita,” katanya.
Masuk melalui pintu mereka, keluar melalui pintu kita, menurutnya, adalah cara berhadapan dengan orang-orang muda kita. “Untuk melayani orang muda, kita juga harus mengenal siapa orang muda yang kita layani ini. Apa kebiasaan-kebiasaannya setiap hari, apa yang ia sukai, dan apa yang tidak ia sukai. Dari situlah kita masuk melalui pintu mereka, masuk ke dalam dunia mereka, dunia orang muda,” terangnya.
Dari sebuah wawancara dengan seorang selebgram muda, Romo Murti menemukan, orang muda suka yang “receh-receh”. “Artinya, suka ngobrol hal-hal yang ringan-ringan saja dan cenderung tidak penting. Bagi kita yang lahir dari tradisi intelektual yang dalam tentu itu sebuah tantangan yang besar sekali. Tetapi itulah orang muda kita, anak-anak milenial kita. Kita tidak bisa menghakimi orang muda kita hanya karena suka yang “receh-receh”. Tetapi justru kita perlu berteman dengan orang-orang muda ini, agar akhirnya dari yang “receh-receh” ini kita bersama-sama bisa menemukan nilai hidup yang dalam,” katanya.
Romo Murti pun menyampaikan, orang muda tidak mau digurui, tidak mau dikotbahi. “Bersama orang muda, kita harus menjadi teman. Ini tantangan yang tidak mudah. Juga terutama bagi para guru yang biasa menjadi guru yang mengajar dan para pastor, biarawan-biarawati yang biasanya berkhotbah. Inilah era matinya kata-kata. Kita hanya bisa menjadi teman bagi orang muda. Dan menjadi teman bagi orang muda adalah berani berdialog tentang kehidupan dan menjadi penggerak bagi orang-orang muda untuk terlibat dalam karya-karya kebaikan dunia ini,” ungkapnya.
Terkait dengan media digital di era milenial ini, menurut Romo Murti, para pendidik juga perlu menjadi melek digital. Para pendidik perlu mengembangkan media pembelajaran baru untuk meningkatkan minat belajar para anak didik kita. “Pandemi ini semakin menyemangatkan kita untuk segera menemukan bentuk-bentuk baru media pembelajaran. Pandemi ini menjadi kode yang sangat keras bahwa eranya kata-kata sungguh sudah sekarat. Anak-anak milenial ini tidak bisa lagi dididik dengan kata-kata. Kita perlu menyentuh hatinya. Dan itu tidak terlalu mudah menyentuh hati dengan pengajaran lewat media zoom. Orang muda bisa disentuh hanya dengan story telling. Mungkinkah pembelajaran kita bisa disulap dengan tayangan-tayangan story telling yang menyentuh hati dan membuat mereka bisa berkata-kata lagi mengungkapkan perasaannya?” tuturnya.
Romo Murti pun mengatakan, orang-orang muda juga suka dengan tayangan-tayangan yang viral. “Tayangan yang viral ini biasanya singkat, cepat, tapi nendang istilahnya anak muda zaman sekarang,” katanya. Untuk membuat tayangan-tayangan yang viral, menurutnya, tidak terlalu sulit di zaman ini karena semua sudah ada aplikasinya. “Ketekunan dan kemauan kita semua untuk belajar lagi demi orang-orang muda yang kita layani dan untuk memiliki skill membuat tayangan-tayangan yang singkat, cepat, ringan dan viral ini kita tidak bisa berhenti hanya di seminar ini saja atau di webinar ini saja. Tetapi kita punya banyak sahabat yang bisa membantu kita. Kalau ini dari kalangan Gereja berkolaborasilah dengan teman-teman dari Komisi Komunikasi Sosial. Mereka semua orang-orang yang percaya pada gambar dan suara yang bisa mengubah dunia ini menjadi lebih baik,” pungkasnya.