Oleh BAPAK JULIUS KARDINAL DARMAATMADJA, SJ
Pendahuluan
Dewasa ini kita semua sedang berada dalam era disrupsi, sedang mengalami perubahan cara hidup secara cepat dan mendasar, tidak seperti ketika kita sendiri masih muda dulu mengalami cara hidup yang statis, relatif kecil perubahannya. Era disrupsi ini dipicu oleh perkembangan teknologi yang serba digital dan serba online dan setiap saat ada yang baru lagi.
Untuk menjelaskan apa yang dimaksud era disrupsi, marilah kita lihat apa yang telah terjadi di sekitar kita. Umpama, komputer telah menggeser mesin ketik. Para mahasiswa yang harus membuat skripsi, merasakan kemudahan komputer itu, dibandingkan dengan mesin ketik. Maka mesin ketik sudah ditinggalkan orang. Surat elektronik telah menggantikan cara menulis surat. Tentu ini mengurangi kesibukan kantor pos dan industri kartu ucapan untuk menyambut hari raya keagamaan. Telepon seluler telah menggantikan industri telepon tetap. Di mana pun kita berada, dan di mana pun dia yang saya hubungi tetap terjangkau. Lebih lanjut, era smartphone dengan aplikasinya tidak lagi hanya untuk telepon dan short message service (sms), melainkan juga sebagai penyedia kebutuhan informasi modern, di mana penyedia informasi sekarang ini sangat banyak dilengkapi dengan aplikasi-aplikasi yang terus bermunculan untuk mempermudah urusan sehari-hari.
Disrupsi teknologi telah menjangkau industri-industri. Sekarang banyak industri sudah berbasis digital dan online. Pada masa kini orang bergantung pada smartphone, dengan ponsel pintar. Yang awalnya sekadar untuk mengabarkan keadaan keluarga melalui telepon, sms, sekarang sudah bersosialisasi lewat media sosial (Facebook, Twitter, Instagram, Path, dan lain-lain), atau video call service (WA, Skype atau Google Hangout). Kita juga dapat membaca berita melalui koran online, atau mengunduh artikel jurnal terbaru dari Google Scholar, menonton live streaming atau mendengarkan khotbah terbaru melalui Youtube, memotret diri atau panorama alam dan membagikannya melalui media sosial Instagram, membeli barang melalui aplikasi Bukalapak atau Tokopedia, memesan ojek online melalui Gojek, Grab, dan seterusnya. Muncul teknologi keuangan baru (the new financial technologies) seperti internet banking, mobile banking, e-commerce, sistem transaksi NFC (near field communication), sistem kredit berbasis peer-to-peer lending yang menggeser peran bank. Ini memudahkan kita untuk melakukan aktivitas ekonomi secara lebih cepat, lebih efektif dan efisien. Untuk melakukan transaksi perbankan atau membeli barang bernilai jutaan rupiah, kita mendonasikan uang melalui laman crowd funding seperti KickStarter.com atau KitaBisa.com. Kita juga dapat berinvestasi lewat aplikasi saham. Bersama penemuan-penemuan teknologi lainnya, teknologi keuangan baru telah mengubah cara hidup kita secara revolusioner. Itu sebabnya teknologi digital semakin mengubah tatanan hidup kita. (Data-data diambil dari “Kepemimpinan Kristen Di Era Disrupsi Teknologi”, Daniel Ronda, https://journal.sttsimpson.ac.id › 2019)
Sikap-sikap baru yang muncul
Paling tidak ada 6 sikap yang muncul dari perubahan cara hidup kita akibat disrupsi teknologi tersebut: (bdk. Ibid.)
- Orang kebih suka menyelesaikan masalah apapun secara kilat.
- Dari satu sisi takut akan teknologi, dari sisi lain memuja teknologi.
- Tidak membedakan antara yang nyata dan yang semu, karena dunia maya dianggap nyata.
- Menerima kekerasan sebagai sesuatu yang wajar,
- Mencintai teknologi dari sisi permainannya saja. Ada banyak games yang digandrungi.
- Orang menjadi jauh dari lingkungan dekatnya, tetapi dekat dengan yang jauh.
Karena era disrupsi juga membawa dampak dalam bentuk perubahan sikap, maka sebagai umat beriman, lebih-lebih sebagai keluarga Katolik yang memiliki tugas utama mendidik putra-putrinya, perlu tahu hal-hal tersebut dan mengantisipasi agar putra-putrinya tetap mendapatkan pendidikan iman dan pendidikan karakter yang baik dan benar.
Manfaat dan bahaya perkembangan teknologi digital
Pisau dibuat tajam, supaya dapat dipakai untuk memotong daging, merajang sayuran, mengupas kentang dan memotong-motongnya untuk dimasak. Pisau sungguh banyak manfaatnya sebagai alat dapur, tetapi dapat dipakai penjahat sebagai senjata yang dapat mematikan. Penemuan tenaga nuklir sangat bermanfaat untuk menggerakkan mesin-mesin tenaga listrik atau kapal selam, tetapi dapat dipakai untuk membuat bom yang merusak segala yang ada dan membunuh banyak sekali orang dalam sekejap mata. Demikian pula perkembangan teknologi diciptakan orang, dengan tujuan dapat bermanfaat bagi kehidupan, tetapi ada yang membuatnya untuk perbuatan jahat, merugikan orang lain.
1.Manfaat teknologi digital. (cfr. ibid.)
Pertama, aplikasi dalam smartphone dan dunia daring, mempermudah semua urusan kita dalam ekonomi, perdagangan, perbankan, kesehatan, komunikasi, pendidikan dan lain-lain. Dalam dunia pendidikan, kemudahan yang diperoleh adalah mudahnya transfer pengetahuan. Untuk hobi dan relaksasi, disediakan mainan atau games.
Kedua, internet sudah menjadi sumber pendidikan dan bukan hanya informasi untuk mendapatkan berita, tapi juga ilmu pengetahuan, seni dan berbagai informasi berguna lainnya yang bisa dicari lewat “Google” dan “YouTube”.
Ketiga, kita sekarang dapat masuk dalam komunitas baru yang disebut warganet di mana kita mendapatkan banyak teman dan jejaring persahabatan yang terjadi di dunia digital lewat “Facebook”, “Instagram” dan grup-grup di media sosial seperti “Whatsapps”, dan aplikasi populer lainnya.
Keempat, teknologi internet telah menciptakan lapangan kerja baru dan berbagai profesi baru antara lain: ahli pembuat situs internet/aplikasi, desain situs (web designer), pembuat film, konsultan internet, pedagang online, dan banyak lagi yang lainnya. Belum lagi terciptanya banyak lapangan kerja yang sangat besar seperti “Gojek, Grab dan Uber”.
Kelima, dunia digital menjadi sarana yang efektif untuk pelayanan pewartaan iman, baik khotbah, pendidikan teologi dan berbagai pelayanan yang disampaikan di media sosial maupun “YouTube” dan sejenisnya. Selama pandemi kita mengikuti Perayaan Ekaristi secara live streaming atau lewat YouTube.
2. Bahaya yang dapat muncul. (cfr. Ibid)
Walaupun manfaatnya sungguh besar dan orang semakin bergantung karenanya, namun ada sisi bahaya di dunia digital yang harus diketahui untuk disikapi dengan cermat. Inilah yang harus menjadi perhatian orang tua Katolik dan para pendidik lainnya:
Pertama, informasi dan pengetahuan yang dimiliki saat ini tidak tersaring lagi sehingga banyak bertebaran berita sampah, palsu (hoaks), pornografi, kekerasan, di mana semuanya itu sudah tidak ada yang bisa menyaringnya dengan cara apapun lagi. Pemerintah pun harus mengakui bahwa mereka kewalahan menyaring konten pornografi masuk ke Indonesia, walaupun sudah dilakukan dengan upaya yang sangat keras dan menggunakan dana yang tidak sedikit. Situs pornografi yang sangat mudah diakses oleh anak-anak-remaja, sangat merugikan. Bagaimana orang tua dan para pendidik dapat membentengi anak muda? Tentu hanya dapat lewat pendidikan iman dan karakter kaum muda kita.
Kedua, muncul budaya baru di kalangan generasi milenial yang diekspresikan dengan berbagai bahasa dan istilah-istilah yang baru seperti: selfie, panjat sosial (menggambarkan bagaimana seseorang ingin menaikkan namanya agar terlihat menonjol dan dikenal oleh masyarakat luas), eksibisionisme (pamer diri), googling dan banyak lagi istilah lainnya. Ini menyulitkan komunikasi antar generasi sehingga harus ada jembatan mengatasi kesulitan ini, karena bahasa percampuran teknologi dan fenomena sosial ini digabung, membuat generasi tua sulit mencernanya.
Ketiga, dalam interaksi komunitas warga netizen, muncul kebiasaan baru yaitu saling menghujat, mencaci maki, mencela tanpa mengetahui konteksnya. Sifat manusia yang rendah diekspresikan di ruang terbuka, tanpa ada rasa hormat kepada sesamanya. Orang kehilangan keluhuran budaya Indonesia, maupun sebagai orang beragama.
Keempat, budaya topeng atau semu menjadi ciri khas orang di era digital sehingga tidak tahu mana yang nyata dan tidak. Apa yang kelihatan baik di laman media sosial seperti “Facebook” belum tentu sesuai dengan fakta. Manusia bertopeng adalah karakteristik manusia modern di era disruptif ini.
Kelima, ada kehidupan rahasia yang dimiliki orang, yang ingin ia tutupi. Sehingga dia bisa menyaru dengan identitas lain di media sosial. Di sisi lain orang mengisolasi diri, sehingga akibatnya menjadi kesepian di tengah hiruk pikuknya dunia digital ini.
Keenam, kejahatan dan semua bentuk konspirasi menjadi tidak terbatas, bahkan sudah masuk ke ruang pribadi manusia. Bahkan arena kompetisi politik yang penuh intrik sudah masuk ke ranah dunia digital.
Ketujuh, orang memanjakan hawa nafsunya lewat seri film televisi yang dipaketkan dengan langganan internet sehingga serinya menjadi panjang dan tak terbatas. Bahkan rata-rata orang menonton TV itu lebih dari 8 jam sehari. Games dan hiburan telah menjadi suatu yang adiktif (mencandu). Adiktif film dan games adalah sebuah penyakit baru di era disruptif ini dan biaya terapi serta penyembuhannya sangat kompleks serta memerlukan dukungan semua pihak.
Apa yang harus dibuat oleh keluarga Katolik dalam era disrupsi?
Suami-isteri sendiri sebaiknya tidak ketinggalan mengenai pengetahuan dan perkembangan teknologi digital. Sehingga tahu seluk-beluknya, apalagi tahu manfaat dan bahaya-bahayanya, seperti telah diuraikan sebelumnya. Dengan demikian juga akan mampu mendidik anak-anaknya yang sedang tumbuh semakin dewasa. Bahwa ada bahayanya, tidak perlu orang lalu mengundurkan diri. Karena itulah dunia sekitar kita yang kita hidupi. Kalau kita tidak tahu apa-apa maka kita juga tidak dapat mendidik anak-anak kita, dan ada bahaya mereka mencari jalannya sendiri. Masalahnya dalam mendidik anak, orang tua memiliki kewajiban dan hak yang utama. Gereja mengajarkan: “Kesuburan cinta kasih suami isteri tidak hanya terbatas pada kelahiran anak-anak; ia juga harus mencakup pendidikan kesusilaan dan pembentukan rohaninya. ‘Pendidikan oleh orang tua begitu penting, sehingga bila tidak ditunaikan, sulit dapat diganti’ (GE 3). Hak maupun kewajiban orang-tua untuk mendidik bersifat hakiki.(bdk FC 36)” (KGK no 2221). Kecuali itu “orang-tua harus memandang anak-anaknya sebagai anak-anak Allah, dan mengormati mereka sebagai pribadi-pribadi manusia. Mereka mendidik anak-anaknya agar mereka mematuhi hukum Allah, apabila mereka sendiri patuh kepada kehendak Bapa disurga.” (KGK no 2222). Suatu hal yang sangat menyedihkan ketika seorang ibu muda bangga dapat membelikan untuk anaknya yang berumur 4 tahun sebuah HP dengan aplikasi permainan. Sekarang anaknya dapat ditinggal masak di dapur, dan tak pernah lagi mengganggu. Setiap saat ia duduk manis, asyik dengan permainannya, bahkan untuk makan pun ia segan meninggalkan HP-nya. Ibu ini tidak tahu bahwa anaknya sudah mulai kecanduan permainan di HP-nya. Ibu ini tidak menyadari bahwa anaknya menjadi egois, hanya memikirkan kesenangan dirinya, bahwa ia mulai jauh dengan lingkungan hidupnya, jauh dari ibu dan ayahnya, tidak peduli terhadap kehadiran saudara-saudarinya yang ada dirumah. Padahal pendidikan yang baik dirumah adalah adanya persaudaraan penuh kasih, saling mengampuni kesalahan yang lain, dan saling menghormati kehadirannya.
Maka Gereja mengajarkan: ”Orang-tua adalah orang-orang pertama yang bertangung-jawab untuk mendidik anak-anaknya. Pada tempat pertama mereka memenuhi tanggung-jawab ini, kalau mereka menciptakan satu rumah keluarga, di mana terdapat kemesraan (relasi satu sama lain), pengampunan, penghormatan timbal balik, kesetiaan dan pengabdian tanpa pamrih. Pendidikan kebajikan mulai di rumah. Di sini anak-anak harus belajar kesiagaan untuk berkurban, keputusan yang sehat dan pengendalian diri, yang merupakan prasyarat bagi kebebasan sejati. Orang tua harus mendidik anak-anak “membawahkan aspek-aspek jasmani dan alamiah kepada segi-segi batiniah dan rohani” (CA 36). Orang tua mempunyai tanggung-jawab yang besar untuk memberi contoh yang baik kepada anak-anaknya. Kalau mereka dapat mengakui kesalahannya kepada mereka, mereka lalu lebih mudah dapat membimbingnya dan menegurnya.” (KGK no 2223).
Pendidikan yang baik, yaitu kalau hasilnya membuat anak-anak menjadi sungguh beriman Katolik, yang kelakuannya baik sesuai tuntutan imannya, karena selalu dipertanggung-jawabkan kepada Tuhan. Kalau berbuat salah juga tahu, lalu menyesalinya dan berniat untuk tidak terulang lagi. Kesalahannya dibereskan dalam sakramen pengampunan dosa. Maka pendidikan yang dibimbing orang tua, terlebih dalam era disrupsi ini mencakup dua hal, yaitu pendidikan iman dan pendidikan hatinurani. Mengenai pendidikan imannya, kecuali pengetahuan iman cukup sesuai umurnya, yang paling pokok adalah membangun relasinya dengan Tuhan. Apapun yang dibuat, dibuat demi Tuhan dan untuk memuliakan Tuhan. Maka akan dibuat sebaik-baiknya, karena dibuat bukan untuk manusia, melainkan untuk Tuhan. Surat St. Paulus kepada umat Kolose berbunyi: “Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita.” (Kol 3:17), dan di tempat lain: “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” (Kol 3:23). Dengan beriman yang mendalam, relasi pribadi dengan Tuhan Yesus tumbuh menjadi relasi kasih, penuh hormat dan bhakti, penuh syukur karena telah diselamatkan. Makin terdorong untuk menata hidupnya sesuai kehendak-Nya. Pendidikan hati nurani memperteguh proses tersebut. Gereja mengajar tentang hati nurani demikian: ”Di lubuk hati nuraninya, manusia menemukan hukum, yang tidak diterimanya dari dirinya sendiri, tetapi harus ditaatinya. Suara hati itu selalu menyerukan kepadanya untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik dan untuk menghindari apa yang jahat. Bilamana perlu suara hati itu menggemakan dalam lubuk hatinya: jauhkanlah ini, elakkanlah itu. Sebab dalam hatinya manusia menemukan hukum yang ditulis oleh Allah. “… Hati nurani ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang sapaan-Nya menggema dalam hatinya.” (GS 16, bdk. KGK 1776-1777). Kalau anak-anak dididik untuk selalu mendengarkan batinnya yang terdalam, maka mereka akan menjadi pribadi yang beriman sekaligus semakin mandiri dapat menemukan kehendak Allah mengenai diri mereka. Sehingga bimbingan orang tua menjadi peneguh arah hidupnya yang baik. Anak-anak akan berbuat sesuatu dengan keyakinan yang dari dalam. Sehingga orang tua tidak perlu mengawasi lagi, tetapi mengingatkan atau meneguhkan. Dalam proses hidup mereka, orang tua perlu membuat suasana terbuka untuk dengan senang hati menyampaikan apa saja kepada orang-tua mereka. Masalah manfaat dan bahayanya perkembangan tehnologi digital perlu disampaikan. Semoga dengan demikian anak-anak, dalam memanfaatkan perkembangan tehnologi digital tidak terperosok menjadi kecanduan games, sehingga mengabaikan tugas belajarnya sehari-hari. Apalagi tidak terperosok kedalam memanjakan nafsunya dengan mengakses situs-situs pornografi. Semoga dengan demikian seluruh keluarga hidup dalam penghayatan iman Katolik, dan hidup dalam persaudaraan penuh kasih dan hidup damai dalam lindungan kasih Allah.