Sekali-sekali mari kita sejenak merenungkan peristiwa Natal berdasarkan Ensiklik Laudato Si’. Apa bisa dihubungkan? Jawabannya, bisa! Bagaimana hubungannya? Kalau ditanya bagaimana hubungannya? Jawabannya baik-baik saja! Tetapi kalau ditanyakan, apa hubungannya? Berikut sedikit refleksi yang bisa dibagikan dan direnungkan.
Langkah pertamanya adalah dengan mencermati “kisah” Natal menurut Injil Lukas. Hal pertama yang menarik diwartakan St. Lukas tentang kelahiran Yesus adalah bahwa Yesus dilahirkan oleh Santa Perawan Maria sebagai putra sulung, dibungkus kain lampin dan dibaringkan di dalam palungan. Mengapa? Karena tidak ada rumah penginapan bagi mereka, yakni Ibu Maria dan Santo Yosef (Lukas 2:6-7).
Hal kedua di langkah pertama, kabar tentang kelahiran Yesus disampaikan para malaikat kepada para gembala. Mereka sedang menjaga kawanan ternak di padang. Kepada mereka, malaikat mengabarkan bahwa, “Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud!” (Lukas 2:11).
Hal ketiga, sesudah kabar disampaikan kepada para gembala, sejumlah besar bala tentara sorga memuji Allah dengan pujian, “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya!” Seiring dengan itu, para gembala bergegas pergi ke Yerusalem untuk mencari dan menjumpai Yesus. Itulah kisah Natal versi Injil Lukas, Natal, sebagai kisah kelahiran Yesus.
Langkah kedua, mari kita bertanya: Siapakah Yesus yang lahir di bumi itu? Jawaban pertama masih mengacu pada Injil Lukas, yakni Lukas 1:31-32a. Ketika memilih dan mengabarkan kepada Maria tentang kelahiran Yesus, malaikat Tuhan berkata, “Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi…”
Jawaban kedua bisa kita ambil dari Injil Yohanes 3:16. Yesus tidak lain adalah Putra Allah yang kasih-Nya begitu besar kepada kita. Itulah sebabnya, Allah berkenan mengaruniakan Putra-Nya yang tunggal, Yesus, kepada kita. Inilah refleksi teologis Natal. Refleksi itu tidak bisa dilepaskan dari pembuka Injil Yohanes yang mengatakan, “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan. Dalam Dia ada hidup… Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran” (Yohanes 1:1-4a; 14).
Dengan dua langkah berdasarkan Injil Lukas dan Yohanes tersebut, kita menemukan inti dari kisah Natal adalah kasih Allah kepada manusia. Kasih tersebut menegaskan kesejatian Allah, yang sejak semula menciptakan Bumi, langit, dan seisinya. Di sinilah, Ensiklik Laudato Si’ terhubung dengan kisah Natal. Dalam LS 77, Paus Fransiskus mengajarkan, “Penciptaan termasuk bagian tatanan kasih. Kasih Allah adalah alasan mendasar semua ciptaan” (bdk. Kebijaksanaan 11:24). Masih dalam LS 77, Paus Fransiskus menulis, “Oleh karena itu, setiap makhluk adalah objek kelembutan hati Bapa yang memberinya tempat di dunia. Bahkan kehidupan sekilas dari makhluk yang paling hina adalah objek cinta-Nya, dan dalam beberapa detik hidupnya Allah memeluk-nya dengan kasih sayang-Nya.”
Sayangnya, manusia telah salah langkah dengan mengeksploitasi salah satu ciptaan Allah, yakni Bumi, Ibu Pertiwi. Ibu Pertiwi terbebani dan hancur oleh ulah manusia, dan menjerit kesakitan (LS 2). Dalam situasi ini, kita dipanggil untuk kembali merenungkan kasih Allah yang telah mengutus Yesus ke Bumi untuk menebus dan menyelamatkan. Maka, Paus Fransiskus menulis, “Yesus mengangkat kembali iman alkitabiah akan Allah Sang Pencipta, sambil menekankan suatu kebenaran mendasar: Allah adalah Bapa (lihat Matius 11:25)” (LS 96). Bahkan, Yesus “terus-menerus berhubungan dengan alam dan memberinya perhatian yang penuh kasih sayang dan rasa takjub” (LS 97). “Yesus hidup dalam harmoni penuh dengan dunia ciptaan” (LS 98).
Atas dasar refleksi itu, baiklah kita semua menyambut dan merayakan Natal dengan semangat hidup yang diperbarui secara ekologis. Secara praktis, bukan saatnya lagi merayakan Natal dengan menebang pohon cemara atau pinus sebagai hiasan Natal. Alih-alih, mengapa tidak membeli pohon baru, yang kemudian menjadi penanda Natal yang tetap membawa kehidupan, bukan kerusakan, bahkan kematian. Itu hanya contoh sederhana. Contoh lain bisa direnungkan dan dicari sesuai kondisi masing-masing dengan spirit dasar: merayakan Natal dengan semangat baru, merawat Bumi, rumah bersama!
Selamat mempersiapkan diri menyambut dan merayakan Natal.
Salam Peradaban Kasih Ekologis.
Salam INSPIRASI, Lentera yang Membebaskan!
Aloys Budi Purnomo Pr