Dari sejarah kelahirannya, Pancasila sangat dekat dengan kaum muda. “Pancasila itu memang, menurut saya, adalah wilayahnya kaum muda,” demikian kata Romo F.X. Armada Riyanto, CM dalam webinar ‘Pancasila dan Kaum Muda’, 25 September 2021.
Menurut Romo Armada, dilihat dari sejarahnya, Soekarno sudah mulai menggali Pancasila pada usia 20-an tahun. “Jadi, kita jangan hanya meredusir Pancasila pada tahun 1945, pada tanggal 1 Juni itu. Tetapi itu menjadi, katakanlah, suatu eksplorasi personal dan komunal bersama dengan para pendiri negara yang juga notabene mereka itu kaum muda dan lalu mereka mencetuskan Pancasila itu,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Romo Armada menyampaikan alasan Soekarno yang masih muda itu mencetuskan Pancasila. Menurutnya, Soekarno sejak muda berada di dalam posisi ketertindasan. Dari ketertindasan itu, Soekarno memiliki kerinduan yang luar biasa untuk merdeka. Untuk merdeka, ia memiliki pertanyaan yang menggelisahkan, siapakah aku, siapa kita ini? “Jawaban yang powerful dari pertanyaan itu ialah cara menggali identitas itu dari khazanah kearifan lokal, kebijaksanaan lokal, yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia,” kata Romo Armada.
Misalnya, ketika bicara keadilan sosial. “Keadilan sosial itu bukan produk dari sosialisme saja, tetapi juga sesuatu yang sudah dihidupi oleh bangsa Indonesia,” katanya. Menurutnya, ada kearifan lokal yang sudah dihidupi masyarakat Kei kecil, misalnya adanya pembatasan membeli tanah karena pulaunya kecil. “Pembelian tanah itu tidak boleh dilakukan seturut banyaknya uang yang dimiliki oleh si pembeli. Sebab kalau orang luar memiliki banyak sekali uang, dia bisa membeli satu pulau itu. Nah, kalau satu pulau dibeli, lah terus yang lain mau hidup di mana,” katanya.
Menurut Romo Armada, kearifan lokal tersebut merupakan salah satu contoh roh dari keadilan sosial yang sudah ada di dalam hidup sehari-hari masyarakat jauh sebelum Soekarno ada.
Romo Armada berharap, kaum muda menjadi sosok-sosok yang “memiliki kerinduan” yang kurang lebih sama seperti Soekarno yaitu menggali identitas dari kearifan lokal yang ada.
“Jadi, saya memiliki kepercayaan yang sangat tinggi kepada kaum muda, ya, karena mereka memiliki energi yang sangat besar, terkait dengan bagaimana mereka akan meniti karier, studi dan seterusnya,” katanya.
Menurut Romo Armada, salah satu cara untuk mengerti relasionalitas dari para pendiri negara yang de facto mereka itu kaum muda dan penggalian identitas mereka pada kebijaksanaan lokal mereka, ialah dengan membaca. “Mereka ini orang-orang yang pembaca. Gitu ya. Pembaca apa saja. Pembaca filsafat, kebudayaan, sastra dan seterusnya,” katanya.
Bahkan, menurut Romo Armada, ketika para tokoh seperti Dr Soetjipto Mangoenkoesoemo, Soekarno, maupun Hatta mengalami pembuangan, hal yang paling menyusahkan mereka adalah dipisahkan dari buku.
Soekarno, menurut Romo Armada, adalah pembaca buku yang baik. “Dia banyak sekali meminjam buku-buku dari, misalnya juga Drijarkara, kemudian romo-romo SVD, dan seterusnya, waktu di pembuangan di Ende. Nah, saking sukanya membaca buku, kadang-kadang sampai lupa mengembalikan buku itu kepada mereka. Jadi, ini yang harus kita akui. Nah, itu cara untuk mengerti bagaimana orang mencintai identitas lokal sendiri,” katanya.
Namun, Romo Armada menyadari, membaca menjadi tantangan besar bagi kaum muda saat ini. “Saya tahu bahwa sekarang ini membaca (adalah) tantangan besar bagi kaum muda kita, terutama karena sosial media dan sebagainya,” katanya.
Namun, baginya, membaca dan kemudian memiliki suatu kesadaran yang tinggi mengenai identitasnya, itu berlaku tetap. Politisi muda seperti Tsamara Amany tertarik dalam dunia politik salah satunya karena dipicu kebiasaannya membaca. Buku Soekarno seperti ‘Di Bawah Bendera Revolusi’ adalah salah satu buku yang dibacanya.
“Dalam hal ini, saya akui bahwa mungkin ini “perjuangan” lain yang juga harus disasar oleh kaum muda kita. Jadi, membaca,” kata Romo Armada.
Romo Armada melanjutkan, pentingnya kemampuan mendialogkan antara yang dibaca dengan kearifan lokal masyarakat kita. “Ketika orang itu melibatkan diri, sesungguhnya yang diperlukan juga adalah kemampuan untuk berdialog. Jadi, mendialogkan pengetahuan yang dia baca dengan misalnya kearifan lokal yang dihidupi oleh masyarakat kita,” ungkapnya. Di situ, menurutnya, dialektika personal terus mengalami pembaharuan.
Kemanusiaan Indonesia
Bagi Romo Armada, sila kedua Pancasila, ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’ menjadi sila “favorit’-nya. “Saya dari sudut, ya sedikit pembelajar politik, katakanlah begitu, karena saya juga belajar mengenai filsafat politik, sebenarnya the core dari yang disebut politik itu ada pada manusia,” katanya.
Kata politik berasal dari kata polis, bahasa Yunani, yang secara harafiah berarti negara kota. Di dalamnya ada tata hidup bersama. “Tata hidup bersama itu, pertanyaan pertama adalah siapakah manusia? Nah, kalau kita ngomongin tata hidup bersama orang Indonesia, sebenarnya pertanyaannya adalah siapakah orang Indonesia?’ katanya.
Namun, Romo Armada mengritik, kemanusiaan Indonesia dalam perkembangan saat ini, seperti terekam dalam media sosial, sering diredusir hanya pada sendi-sendi tertentu, misalnya agama. Padahal, menurutnya, kemanusiaan Indonesia memiliki kekayaan yang luar biasa.
“Manusia Indonesia sendiri memiliki kekayaan yang luar biasa. Saya percaya bahwa orang Batak itu bukan saja orang yang berasal dari Batak, tapi orang yang menghidupi nilai-nilai kebatakan. Seperti misalnya persaudaraan, kekerabatan. Orang Jawa menghidupi kejawaannya dengan tata nilai etisnya, demikian pula orang Dayak. Orang Papua yang memiliki relasionalitas yang sangat tinggi dan kental dengan alam,” katanya.
Namun, menurut Romo Armada, kemanusiaan Indonesia, termasuk relasionalitas manusia dengan alam, belum sepenuhnya dieksplorasi para politikus atau praktisi politik.
“Jadi, tidak ada saya melihat partai-partai politik di Indonesia itu kembali kepada ke-Indonesia-an secara mendalam, termasuk di dalamnya mengurai tentang relasionalitas manusia dengan alam. Lah, kita kok bisa tidur nyenyak itu kita kehilangan banyak hutan? Kita kok bisa tidur nyenyak itu kehilangan begitu banyak sungai yang jernih untuk kita minum dan sebagainya? Kok bisa tidur nyenyak itu Jakarta beberapa puluh tahun lagi akan tenggelam? Kok malah yang dibangun monumen sepatu? Kok tidak berpikir mengenai alam? Nah, ini, ini bagi saya. Jadi, kemanusiaan saya pandang sebagai sesuatu yang menurut saya belum banyak dieksplorasi secara sungguh-sungguh bahkan juga oleh para politikus, para praktisi politik. Itu kritik kecil saya,” katanya.