
Dalam agama Hindu dikenal konsep Catur Guru. Demikian Eko Pujianto mengawali pemaparannya dalam Dialog Lintas Agama yang diselenggarakan FKUB Provinsi Jateng, Yayasan Tasamuh Kudus, dan Gerbang Watugong Semarang, 10 Mei 2021.
Catur Guru atau empat guru utama itu harus dihormati. “Yang utama adalah Guru Swadhyaya. Itu adalah Tuhan yang mahakuasa. Berikutnya adalah Guru Wisesa yaitu pemerintah. Dan yang ketiga adalah Guru Pengajian. Adalah guru yang membimbing kita di sekolah dan lingkungan masyarakat. Yang berikutnya adalah Guru Rupaka yaitu, orang tua yang melahirkan kita,” katanya dalam acara bertema “Agama Inspirasi dalam Memperteguh NKRI” itu.
Sebagai umat beragama dalam konteks negara, menurutnya, kita harus melaksanakan darmaning negara selain darmaning agama. “Yaitu berkewajiban membangun negara, karena apapun kita bisa melaksanakan ibadah dengan baik. Kita bisa melaksanakan bisnis atau mencukupi kehidupan di rumah tangga, kehidupan dalam keseharian. Kalau negara itu tidak aman, kalau negara tidak bisa memberikan rasa yang aman bagi warga negaranya, maka tujuan-tujuan tadi tidak akan bisa tercapai,” katanya.
Menurut Eko, kalau kita rukun, maka membangun negara pun bisa terlaksana dengan baik.
“Itulah salah satu konsep di dalam ajaran agama Hindu tentang guru utama, salah satunya adalah berbakti kepada negara, dalam hal ini adalah pemerintah,” katanya.
Eko juga menyampaikan konsep keberagaman dari perspektif agama Hindu yang tercermin dalam Tat Twan Asi. “Yaitu aku adalah kamu, kamu adalah aku. Apabila kita menyakiti orang lain, sama dengan juga menyakiti diri kita sendiri. Itu tentunya memiliki filosofi yang sangat luar biasa,” katanya.
Eko juga mengenalkan konsep atau ajaran ahimsa. “Ahimsa itu adalah tidak menyakiti. Tidak menyakiti dalam konsep keberagamaan, dalam konsep bermasyarakat, adalah bagaimana kita harus senantiasa menjaga nilai-nilai kebersamaan di dalam perbedaan,” katanya.
Eko pun bercerita mengenai dirinya yang tinggal di tengah masyarakat. Meskipun Hindu, ia dipercaya sebagai ketua RT di tengah warga yang sebagian besar beragama Islam. “Saya itu sendiri dalam sebuah RT terdiri hampir 32 KK. Saya hanya sendiri sebagai seorang Hindu. Nah kebetulan itu dipilih sebagai Ketua RT. Itu artiya apa? Bahwa dari dalam grass root sesungguhnya, di dalam masyarakat nggak ada yang namanya silang pendapat seperti di media sosial yang begitu ramai itu,” katanya.
Dari hal itu, Eko melihat nilai-nilai kebersamaan dan semangat saling menghargai di tengah masyarakat sudah terjaga dengan baik. “Itu terjadi dalam saya bermasyarakat. Walaupun hanya sendiri di dalam RT yang 32 KK, saya dipercaya menjadi ketua RT tanpa membedakan saya adalah seorang Hindu. Itulah riil yang terjadi di masyarakat,” tandasnya.
Eko pun mengenalkan konsep Wasudewa Kutumbhakam yang berarti “Kita semua bersaudara”. “Bahwa dalam kaitannya dengan akidah dan keyakinan, iya, kita memiliki keyakinan yang harus kita tegakkan, harus kita jaga karena itu hubungannya antara manusia dengan Tuhan yang dalam hal tadi saya sampaikan Guru Swadiyaya, yaitu menghargai, menghormati, mengagungkan Tuhan yang kita sembah. Namun dalam konsep bersama-sama, bermasyarakat, tentunya selalu kita tegakkan bahwa kita semua selalu bersaudara,” pungkasnya.