
Ban-ban besar bekas tronton teronggok begitu saja. Tidak enak dipandang mata. Selain itu, ban-ban itu juga berpotensi mengganggu lingkungan. Ia tidak rela membiarkan ban-ban tersebut tertumpuk tak berguna dan mengganggu lingkungan. Ide pun muncul. Ban bekas tronton besar ia gulirkan meski terasa sangat berat. Ia akan memakai ban-ban itu untuk membuat meja dan kursi di kebun rumah Khalwat Wisma Sikhar, Banjarbaru, Keuskupan Banjarmasin.
Romo Antonius Budi Wihandono, Pr mengaku sejak kecil sudah sangat dekat dengan lingkungan hidup. Ia tinggal di desa di daerah Magelang, Jawa Tengah. Dalam keseharian, ia sangat akrab dengan sawah, kebun, hewan ternak dan lingkungan pedesaan yang indah. Ia tidak asing dengan sampah-sampah yang ada di desanya. “Sejak kecil, salah satu hobi saya adalah menyapu, membuang, memilih sampah mana yang bisa dijadikan pupuk, mana yang harus di bakar dan mana yang bisa dimanfaatkan dan mana yang bisa dijadikan tanaman. Kadang memang jijik karena kotor dan kadang bau. Kalau sampah yang sudah lama juga ada belatungnya. Tapi hobi terhadap sampah itu tetap saya jalani sampai sekarang,” kata lelaki yang biasa disapa Romo Budi itu.
Sampah, kepedulian dan belarasa
Terkait dengan sampah, Romo Budi sangat prihatin dengan sampah makanan. Terutama ketika ada acara pertemuan banyak makanan yang terbuang sia-sia. “Kadangkala saya “ngelus dada” ketika ada banyak makanan dan minuman yang masih bagus tetapi dibuang begitu saja. Banyak makanan-makanan yang masih utuh dibuang begitu saja. Banyak juga minuman-minuman botol yang baru diminum sedikit tetapi dibuang. Beberapa minuman kemasan gelas, bahkan masih utuh dibuang,” kata Romo Budi mengungkapkan rasa prihatinnya yang dalam terhadap perilaku sebagian umat dan masyarakat kita.
Dengan perilaku tersebut, Romo Budi berefleksi ada berapa banyak rejeki dan uang yang terbuang sia-sia? Tentu sangat banyak. Menurutnya, tindakan membuang makanan dan minuman yang masih sangat layak menunjukkan sikap dan sifat seseorang yang tidak memiliki kepedulian atau belarasa terhadap saudara-saudari yang kekurangan dan menderita. Bahkan di antara mereka untuk mencukupi kebutuhan makanan dan minuman masih sangat kekurangan.
“Begitu menyedihkan tindakan demikian itu. Bapa Paus Fransiskus mengatakan bahwa tindakan membuang makanan dan minuman bukan hanya suatu keburukan karena tidak adanya belarasa tetapi juga suatu perbuatan dosa. Dosa terhadap sesama karena tidak peduli dan dosa kepada Tuhan karena menyia-nyiakan rejeki,” kata Romo yang pernah menjadi Vikaris Episkopal Surakarta (2012-2018) dan Semarang (2018-2020) itu.

Sampah dan kehidupan
Terkait dengan sampah, Romo Budi mengajak umat dan masyarakat untuk mengelola sampah sesuai jenisnya. Menurutnya, dengan memilah-milah sampah, seseorang sebenarnya juga merenungkan kehidupan. “Memilah-milah berbagai macam sampah adalah merenungkan mengenai kehidupan. Ketika ada sampah-sampah plastik, bisa dipilih manakah yang bisa di daur ulang. Botol-botol plastik bisa dijual untuk didaur ulang. Setidaknya botol plastik itu bisa jadi rejeki. Ketika ada sampah plastik yang tidak bisa didaur ulang, harus dimusnahkan dengan cara dibakar, jangan dibuang ke tanah karena akan merusak tanah, menjadi tidak subur. Ketika ada sampah banyak, sisa makanan busuk, banyak belatung, ayam-ayam bisa dipanggil untuk makan belatung-belatung itu. Belatung jadi rejeki hidup bagi ayam-ayam. Ketika ada sampah sisa sayur-sayuran yang dimasak bisa untuk makanan kambing, kelinci. Ketika ada sampah lombok busuk, pucuk nanas, atau jenis lainnya, bisa disisihkan untuk dijadikan bibit dan tanaman baru. Memilah sampah adalah memilah kehidupan baik untuk alam, hewan dan kita sebagai manusia,” katanya.
Pastoral Sampah
Bagi Romo yang pernah menjadi Ketua UNIO Keuskupan Agung Semarang (2009-2012), mengelola sampah adalah mengelola kesederhanaan, kepedulian, belarasa dan kehidupan. Romo Budi menyadari, dunia ini tidak kurang rejeki karena ketika Tuhan menciptakan manusia (Kej 1:26-31) sudah memberikan modal pola menurut gambar dan rupa Allah [ayat 26-27) . Bukan hanya itu, Allah tidak hanya mencipta, tetapi juga memberkati… (ayat 28), memberikan… (ayat 29) supaya manusia sungguh amat baik (ayat 31) . Kalau ada penderitaan atau kekurangan, hal itu disebabkan karena manusia tidak dapat melihat berkat dan rejeki yang disediakan oleh Tuhan, atau karena ada banyak manusia yang tidak memiliki kepedulian, tidak memiliki belarasa dan tidak mencintai kehidupan.
“Tuhan ampunilah kami bila menjadi orang yang kurang peduli, kurang belarasa dan kurang mencintai kehidupan ini,” ungkapnya.