Kemajuan Teknologi Informasi untuk Pastoral

Tak hanya Society 5.0, saat ini dunia pemasaran juga memasuki Marketing 5.0. Antonia Ghislieri Mega Ayu Kusumawati dalam Temu Pastoral Online Keuskupan Agung Semarang, 1 Oktober 2024, menjelaskan, hal itu terjadi karena adanya Generasi Z dan Generasi Alfa. “Pemasaran itu selalu berevolusi, selalu update ya, selalu baru terus, untuk mengikuti perkembangan zaman. Nah, pemasar ini terus melakukan inovasi, mengadopsi dari teknologi untuk melayani dua generasi ini. Sebutannya adalah revolusi marketing untuk kemanusiaan,” kata perempuan yang biasa disapa Mega itu.

Generasi ini lahir ketika internet itu menjadi arus utama. Maka, dianggap sebagai penduduk asli atau digital native. “Karena tidak memiliki pengalaman hidup tanpa internet, mereka memandang teknologi itu sebagai bagian yang tak terpisah dari kehidupan sehari-hari,” ungkap pegiat OMK Paroki Kalasan itu.

Menurut aktivis Komunitas St. Mikael Yogyakarta itu, Generasi Z pada tahun 2025 itu akan menjadi generasi yang terbesar di dalam tenaga kerja. Dengan demikian menjadi pasar paling signifikan dalam produk dan layanan.

Dalam era itu, menurutnya, Gereja mesti tetap terlibat aktif dan mendampingi orang muda Katolik (OMK) dalam menghadapi masalah-masalah yang terjadi selama perziarahan hidup mereka mengikuti Tuhan.

Mega melihat gejala Generasi Z dalam menghidupi kegiatan-kegiatan Gereja yang termasuk mood-mood-an. “Anak-anak yang kesenggol dikit, mereka pasti akan baper,” katanya.

Mega mengatakan, Generasi Z dianggap sebagai generasi yang cukup rapuh dibandingkan beberapa generasi lainnya. “Dan ini sudah ada penelitiannya. Menurut American Psychological Association tahun 2018. Jadi generasi Z ini tidak memiliki kepercayaan diri dalam menghadapi dunia kerja. 34% mereka itu mengalami kecemasan karena kurangnya motivasi. Lalu 17% memiliki rasa yang rendah diri,” katanya.

Mega melihat, ada hal rentan terkait mental health Generasi Z. “Dikit-dikit nanti baper,” katanya. Tingkah laku Generasi Z cenderung terbentuk akibat pengaruh media informasi. “Sebagian dari mereka itu telah dihinggapi mental hedonis, sehingga malas bekerja, sifatnya konsumtif,” katanya. Mega juga mengatakan, Generasi Z ini sangat melek teknologi dan informasi. “Mereka lahir, tumbuh dan berkembang di era teknologi ini,” katanya. Generasi Z juga dikenal sebagai generasi yang sangat kritis.

Kondisi Generasi Z yang seperti itu, bagi Mega, bisa menjadi peluang untuk berpastoral. “Bagaimana sih kita mendekati anak-anak yang sekarang ini mungkin mood-mood-an itu?” ungkapnya.

Seperti dirilis IDN Media, Generasi Z menghabiskan waktu 3 jam untuk bermedia sosial dalam sehari. “Ini kan bisa menjadi keprihatinan, tapi gimana kita melihat ini menjadi peluang,” kata Mega.

Lebih lanjut, berdasar survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2024, kata Mega, Generasi Z lebih tertarik video online saat mengunjungi konten internet hiburan. “Jadi 78,35 persen itu mereka lebih suka nonton video daripada literasi. Jadi gimana nih kita itu mengubah yang tadinya berbentuk tulisan, yang tadinya dari bertemu langsung, mengubahnya jadi lebih menarik lagi di video online,” katanya.

Survei yang sama juga mengatakan, setiap generasi memiliki preferensi yang berbeda-beda. Generasi Z yang lahir antara tahun 1997-2012 atau berusia 27 tahun ke bawah memiliki platform favorit Instagram 51,9%, Facebook 51,6% dan Tiktok 46,84%. Bagi Mega, data itu mesti dipandang sebagai peluang. “Kita memandangnya ini sebagai peluang. Nah gimana kita itu memasuki dunia-dunia mereka. Apalagi ini kan generasi yang tahun depannya itu akan paling besar gitu ya,” kata Mega.

Seiring dengan itu, kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) juga semakin berkembang. Mega melihat anak-anak muda sekarang sangat terbantu dengan teknologi tersebut. “Nah, gimana sih kita itu memanfaatkan hal-hal fana duniawi ini untuk kemuliaan Tuhan. Gimana itu kita memrosesnya untuk pewartaan, untuk pelayanan,” katanya.  Cara kerja AI, sambungnya, sebenarnya meniru kinerja otak manusia. Menurut Mega, AI sangat membantu. Bahkan bisa untuk copy writing atau membuat ilustrasi. Ia pun mencoba bantuan AI melalui Chat GPT untuk membuat content planning rohani dalam seminggu dalam format table sheet. Ternyata alat ini sungguh bisa membantu. Meski AI bisa diandalkan, Mega mengingatkan supaya hasilnya tidak ditelan mentah-mentah. “Langsung dibuatin semua. Tapi ini dijadikan referensi, inspirasi. Jangan dijadikan, diambil mentah-mentah,” katanya. Karena hasil olahan AI masih perlu disesuaikan dengan kebenaran dan kebutuhan yang semestinya. AI juga bisa dipakai untuk membuat gambar-gambar ilustrasi untuk mendukung pastoral.

“Jadi, kecerdasan buatan ini justru menjadi peluang tidak hanya tantangan gitu ya untuk kita mewartakan. Anak muda pun bisa terlibat dalam pewartaan dibantu, ditopang oleh kecerdasan buatan ini,” kata Mega.

Tantangan dan peluang

Menurut Mega, dengan banyaknya informasi yang sudah tersedia itu, anak-anak muda harus lebih teliti dan bijak memilih informasi yang benar. “Jangan sampai kita termakan hoaks,” tuturnya. Karena informasi-informasi yang ada di internet cukup banyak dan beragam, maka harus dicari kebenarannya dan bisa dipertanggungjawabkan.

Kedua, tantangan kecanduan teknologi. Kecanduan teknologi membuat anak-anak muda itu tidak mau keluar dari zona nyaman, sehingga mereka melupakan prioritas utama. “Jadi, harusnya mereka keluar ke gereja, misa, ternyata malah mereka nonton drakor. Nah, itu kan kecanduan teknologi. Sebenarnya kita melihatnya sebagai keprihatinan,” kata Mega. Kecanduan teknologi membuat anak-anak muda berada terlalu lama di hadapan layar gadget, tidak melihat keadaan sosial di luar.

Meski demikian, perkembangan teknologi ini bukan menjadi ancaman kalau bisa menggunakannya seturut dengan kehendak Allah. Hal itu bisa dilakukan misalnya dengan mengajak anak-anak muda menggunakan media sosial untuk pewartaan dan pelayanan. “Bisa mengingatkan nih orang-orang yang sudah lama nggak ke gereja,” katanya. Media sosial juga bisa dipakai untuk menyapa anak-anak muda yang mengalami krisis identitas dan kembali merangkul mereka.

Melalui media sosial, Gereja bisa mengedukasi kaum muda. Gereja menjawab kegelisahan orang muda. Jangan sampai orang muda itu tidak mendapat jawaban akan kegelisahannya.

Mega mengalami sendiri manfaat AI untuk pelayanan. “Kalau dari pengalaman saya mungkin saya bisa menggunakan segala sesuatu teknologi ini untuk pelayanan. Saya memang sudah terjun langsung di content creator,” katanya. Melalui aktivitasnya, ia merasa banyak orang tersapa misalnya dengan memberi informasi tentang Taman Doa yang akhir-akhir ini kerap menjadi tujuan umat untuk berziarah.

“Dari situ kan teknologi ini benar-benar membantu nih untuk merangkul orang-orang yang tadinya mungkin nggak tahu,” katanya.

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *