Jangan Berikan Energi Sisa untuk Anak-anak Kita

Dalam Peluncuran dan Bedah Buku “Amare et Servire, Praktik Cura Personalis di Sekolah” di Semarang, 11 Juli 2024, Romo A. Mintara Sufiyanta, SJ, salah satu buku penulis buku tersebut berharap guru-guru yang berkarya di Yayasan Kanisius mau berbagi kisah cura personalis-nya melalui buku yang bisa dibaca banyak pihak. Kalau secara individu tidak bisa, buku bisa dikerjakan bersama beberapa guru. Hal itu penting untuk memberi inspirasi bagi guru-guru lainnya. “Dan kalau di dalam buku itu entah secara langsung atau tertulis tidak langsung, tertulis ada kata Kanisius, dan itu dibaca oleh entah siapa gitu ya. Luar biasa!” kata Romo Mintara. Menurutnya, dengan demikian, energi para guru itu lebih positif dan lebih kreatif.

Romo Mintara menyayangkan ada guru yang mbulet, hanya berkutat saja di sekolah. Bahkan ada guru yang hanya berkutat di ruang guru atau di ruang kelas. “Jangankan pikiran kita, hati kita ya, ruangan saja sempit diisi banyak orang. Sesak to untuk bernafas. Kalau pikiran kita itu diisi penuh dengan seperti itu, ya sesak to. Kalau sudah sesak apa dha isa (apakah bisa, red) kreatif, punya energi positif untuk mendampingi anak, bisa kreatif untuk mengembangkan ini-itu. Apalagi kalau fokusnya lebih banyak ke hal-hal administratif. Sorry, saya tidak tertarik. Karena saya tertarik pada pribadi-pribadi, manusia-manusia, cura personalis, personal care, perhatian pada pribadi,” katanya.

Rama Mintara melihat sebagian guru yang hanya berkutat di ruang guru atau hanya di ruang kelas berpotensi melemahkan kreativitasnya sendiri. “Jangan korbankan anak-anak demi prestasimu!” tegasnya.
Menurutnya, kalau guru mengorbankan anak untuk prestasi, “sok-sokan untuk kehebatan sekolah, saya nambah lagi kehebatan Yayasan atau pendidikan Diknas menurut saya keblinger (keliru atau salah pikir, red),” ungkapnya.
Romo Mintara memiliki alasan dengan mendasarkan diri dari hidup Yesus Kristus. Menurutnya, Yesus Kristus pertama-tama mengumpulkan pribadi-pribadi dengan beraneka latar belakang. “Apakah Simon Petrus itu orang yang baik? Orang yang dikenal sebagai keras kepala. Tetapi Yesus melihat potensinya. Justru karena kepalamu keras, kamu Aku pakai sebagai pondasi. Baru setelahnya toh, ada institusi Gereja. Apa Yesus itu membangun organisasi? Ndak. Apakah Yesus ingin dikenal tenar sebagai kepala sekolahnya 12 murid itu? Ndak. Yesus malah berkorban,” katanya.

Maka, dengan mendasarkan pada cara hidup Yesus, pendidikan mesti berpihak pada pribadi manusia. “Dalam hal ini pribadi anak-anak, para murid. Contoh bagi saya. Jelas-jelas ada kegiatan anak murid ini itu. Terus kemudian atas alasan apa pun yang baik, dan biasanya alasan takut, anak-anak ditinggalkan. Lebih takut tidak datang ke rapat dinas daripada mendampingi anak-anak berkegiatan,” katanya.

Untuk menjaga semangat guru, Romo Mintara kerap membuat kutipan yang berisi motivasi untuk para guru. “Saya membuat kutipan itu juga latar belakangnya ini,” katanya. Salah satu kutipannya yang pernah disampaikan adalah “Jangan berikan energi sisa untuk anak-anak kita”. “Jangan berikan energi sisa untuk anak-anak kita maksudnya apa? Kamu wis entek-entekan (habis-habisan, red), dalam administrasi lembur-lembur, kowe tau lembur ora ndampingi (kamu pernah lembur tidak mendampingi, red) murid? Nek (kalau, red) administrasi lembur-lembur, kowe tau nglembur ora ndampingi (kamu pernah lembur tidak mendampingi, red) murid? Itu saja pertanyaan yang mengikutinya. Atau kalau diminta lembur ndampingi murid, gelem po ora (mau tidak, red)?” katanya.

Jika guru lebih mementingkan administrasi ketimbang mendampingi murid, “jangan-jangan ini dasarnya bukan kasih, cinta, tapi dasarnya adalah ketakutan. Kalau itu yang menjadi dasar, sorry, ndak akan berkembang”.
Ia berharap, guru fokus memberikan energi yang lebih utama untuk anak-anak. Guru untuk anak. Kepala sekolah untuk guru dan anak. Kepala yayasan untuk kepala sekolah, guru juga anak. “Dasarnya apa? Yesus. Dasarnya Yesus Kristus, kalau kita masih menjadi murid-murid Yesus, leader of services, pemimpin yang melayani, bukan pemimpin yang dilayani,” katanya.

Sekali lagi, Romo Mintara berharap, guru dalam mendampingi anak tidak mendasarkan diri pada ketakutan. “Marilah kita berjalan berdasarkan pada cinta, supaya kreatif, produktif,” katanya.

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *