Oleh BAVO BENEDICTUS SAMOSIR, OCSO*
Matahari masih memberikan cahayanya di belahan bumi lain, ketika bus yang membawa kami tiba di terminal Tidar, Magelang. Kuangkat tasku melewati beberapa kursi penumpang lainnya menuju pintu keluar. Hanya aku satu-satunya penumpang yang turun. Ini bukan tujuan akhir dari perjalananku. Aku harus berganti bus yang lebih kecil untuk menuju Maron. Sudah lebih dari satu dekade aku tidak melihat terminal ini, namun tidak banyak perubahan. Pendaran cahaya lampu yang suram membantuku mengenali beberapa sudut bagian terminal ini. Kulihat sebuah bus kecil sedang menanti penumpang. Tidak berapa lama seorang kernet menawariku untuk masuk ke bus tersebut.
Ada beberapa penumpang sudah berada di dalam bus. Aku memilih tempat duduk di bagian tengah melewati seorang ibu yang membawa beberapa ember berisi tahu. Aku yakin ia akan ke pasar menjual dagangannya. Di sampingku duduk seorang anak perempuan kecil dengan ibunya. Aku beri senyum dan anak tersebut tersenyum. Di depan seorang bapak dengan santainya menghembuskan asap racun bagi penumpang lainnya. Biasanya keadaan seperti ini menghilangkan kebahagiaanku dalam perjalanan. Entah mengapa dalam perjalananku kali ini, kebahagiaan dalam hatiku tidak pergi meski asap racun memenuhi bus. Ternyata kebahagiaan ditentukan dari kedalaman hati kita yang menerima dan menikmati momen saat ini. Bus melaju dengan hembusan angin pagi memasuki jendela untuk menghalau asap racun.
Setiap orang punya kisah perjalanan hidup masing-masing. Dan kita tidak dapat memprediksi kisah apa yang akan kita jalani. Oleh karena itu, kita perlu kesiapan hati untuk menjalani kisah hidup kita masing-masing, entah itu kisah bahagia maupun kisah lara. Kita selalu mengharapkan sebuah perjalanan hidup yang membahagiakan, namun kita terkadang punya pemikiran yang salah tentang perjalanan hidup yang membahagiakan.
Kita beranggapan bahwa perjalanan hidup yang membahagiakan adalah ketika hidup tanpa kesulitan, tantangan dan rintangan sehingga hidup menjadi mudah. Kita bisa saja mengalami kebahagiaan seperti itu tetapi kebahagiaan itu hanya sementara dan segera hilang di saat perjalanan hidup menjadi penuh kerikil-kerikil tajam.
Maka, salah satu cara untuk mengalami kebahagiaan dalam perjalanan hidup adalah memiliki rasa syukur atas segala sesuatu yang Tuhan berikan kepada kita. Ketika kita mau bersyukur kepada Tuhan atas hidup yang kita jalani meskipun itu hal-hal yang sederhana, kita akan menerima kebahagiaan dalam hidup kita. Rasa syukur akan membantu kita menyadari akan kebaikan dan berkat yang sudah kita terima dalam perjalanan hidup ini. Pada akhirnya, hal ini akan lebih meningkatkan kebahagiaan kita.
Kebahagiaan sejati tidak tergantung pada peristiwa dalam kehidupan tetapi sangat tergantung pada relasi kita dengan Dia yang selalu menyertai kita dalam menjalani kehidupan ini. Kebahagiaan sejati yang karena penyertaan-Nya akan tetap ada di dalam hati kita bahkan ketika perjalanan penuh berbatu karang terjal. Kita akan tetap merasakan kebahagiaan.sejati betapapun sulitnya perjalanan hidup. Keyakinan akan penyertaan-Nya akan membuat kita terus melangkah menyusuri perjalanan hidup meski dalam ketidaksempurnaan sebuah perjalanan. Tidak perlu kita mengeluhkan ketidaksempurnaan perjalanan kehidupan tersebut, apalagi sampai berharap semuanya menjadi sempurna. Kita jalani saja dengan iklas, biarkan Dia yang menyertai kita yang akan menyempurnakan dengan cara-Nya. Keyakinan akan penyertaan-Nya, membuat kita yakin untuk menyusuri perjalanan tersebut sekalipun kita tidak memahaminya. Perjalanan hidup itu tidak harus selalu dipahami karena hidup ini misteri. Maka kita jalani dan nikmati perjalanan itu. Dan ketika kita menjalani dengan tulus, kehidupan itu akan memberikan maknanya. Percaya pada-Nya hari-hari yang lebih baik akan segera tiba.
Ada orang yang beranggapan bahwa perjalanan hidup di dunia ini akan membahagiakan ketika kita memiliki harta benda yang melimpah agar perjalanan hidup kita nyaman. Nyatanya banyak orang yang kaya tidak bahagia. Bahagia itu bukan pada materi karena kebahagiaan seperti itu hanya sesaat saja dan akan segera hilang dan menimbulkan kehampaan. Dalam sabda bahagia (Matius 5:3-10), Yesus mengajarkan bahwa kebahagiaan terletak pada keterbukaan hati kita untuk melakukan kehendak-Nya dan keterbukaan hati kita untuk mengasihi sesama kita. inilah kebahagiaan yang hakiki, yang sejati. Terserah kita mau memilih kebahagiaan sejati atau kebahagiaan sementara?
Saat tiba di Maron, matahari telah mulai menghangatkan bumi persada dengan cahayanya. Aku menyeberangi jalan sambil menarik tasku. Bunyi roda tasku di atas jalanan mengikuti langkah kakiku. Jalanan masih lengang. Aku berdiri dekat traffic light menanti seorang saudara yang berjanji akan menjemputku. Detik-menit berlalu. Hampir tigapuluh menit, namun dia belum juga muncul. Dia mungkin lupa atau ada halangan. Akhirnya aku putuskan untuk naik angkot ke jurusan Rawaseneng. Di dalam angkot ada seorang ibu dengan dagangan sayuran dan ikan asin. Hampir setengah ruangan angkot ditempati ibu tersebut dengan dagangannya. Aku menarik tasku ke antara kedua kakiku yang tertekuk, untuk memberi tempat ke penumpang lain yang kemungkinan akan ikut.
Perjalananku memang tidak nyaman tetapi hatiku nyaman-nyaman saja menjalani perjalanan ini. Aku tidak mengeluhkan olengan angkot yang kadang ke kanan atau ke kiri. Entahlah, mungkin karena sudah sekian lama aku tidak mengalami hal seperti ini atau mungkin karena Rawaseneng tempat yang akan aku kunjungi. Aku menikmati perjalanan ini karena perjalanan ini mengajarkan banyak hal kepadaku. Terimakasih Tuhan!
*Penulis adalah Rahib dan Imam – Mount St. Yoseph Abbey –Roscrea Co. Tipperary- Irlandia