Maria Catarina Sumarsih adalah ibunda Wawan Korban Tragedi Semanggi I, 13 November 1998. Sampai saat ini keberadaan Sumarsih tetap gigih memperjuangkan keadilan bagi anaknya dan korban pelanggaran HAM. Salah satunya dengan melakukan Aksi Kamisan, aksi yang dilakukan setiap hari Kamis di depan istana presiden Republik Indonesia.
Dalam Webinar dan Rekoleksi IKAFITE “Martabat Manusia Kereta Kencana di Jalan Penuh Siksa?” Refleksi Dokumen Baru Vatikan “Dignitas Infinita””, Sabtu, 11 Mei 2024, Sumarsih menyampaikan refleksinya. Berikut ini adalah petikan refleksinya.
Saya ibunya Wawan. Nama lengkapnya Bernardinus Realino Norma Irmawan, mahasiswa Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Jurusan Ekonomi Akuntansi. Tetapi kuliahnya hanya sampai semester kelima karena meninggal dunia dalam tragedi Semanggi 1, 13 November 1998.
Tragedi Semanggi I adalah kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada saat mahasiswa berdemonstrasi menolak Sidang Istimewa MPR RI karena disinyalir akan dipergunakan untuk konsolidasi kroni-kroni Soeharto dan untuk mengesahkan B.J. Habibie menjadi presiden. Untuk menghadapi para mahasiswa yang berdemonstrasi, pemerintah tidak hanya mengerahkan aparat militer yang dipersenjatai dengan peralatan berat untuk perang, tetapi juga mengerahkan Pamswakarsa yaitu masyarakat sipil yang dipersenjatai dengan bambu runcing. Korban berjatuhan. Ada 18 orang meninggal dunia. Tujuh di antaranya adalah mahasiswa, yang salah satunya adalah anak saya, Wawan. Wawan diautopsi oleh dr Budi Sampurno. Wawan dinyatakan meninggal dunia karena ditembak dengan peluru tajam standar militer di dada sebelah kiri, mengenai jantung dan parunya. Wawan juga menjadi anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TruK). Kartu namanya ditandatangani oleh Frater Mutiara Andalas, yang sekarang beliau mengajar di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Dalam misa requiem, Romo Kardinal Uskup Agung Jakarta, Mgr Julius Darmaatmaja, dalam khotbahnya mengatakan bahwa Wawan meninggal dunia karena ditembak oleh aparat di halaman kampusnya ketika sedang menolong seorang korban yang juga ditembak oleh aparat. Kemudian saya mencari kesaksian dan benar itu yang terjadi.
Menurut kesaksian dari teman-temannya di Atmajaya, hari Jumat, tanggal 13 November itu sekitar jam sepuluh, bersama enam orang temannya, Wawan menetralisir gas air mata di udara di halaman Kampus Atmajaya dengan menyemprotkan air hidran yang ada di halaman Kampus Atmajaya.
Wawan hobinya makan dan juga membaca, senang menulis, termasuk membuat puisi. Ada puisi Wawan yang dimusikalisasi oleh Dek Usman Hamid, Direktur Amnesti Internasional di Indonesia. Lagu itu ada di YouTube. Judulnya “Lagu dari Puisi Wawan-Ditembak Mati Saat Tragedi Semanggi 1998”. (Sumarsih juga menceritakan puisi Wawan dimusikalisasi oleh pihak lain).
Saya menyekolahkan anak-anak saya, Wawan dan Irma di sekolahan Katolik agar saya bisa mengetahui tentang Katolik karena saya menjadi Katolik beberapa bulan sebelum menikah. Pada setiap Minggu kami selalu mengikuti misa yang pertama. Kami sekeluarga pernah menjadi petugas lektor di Gereja Maria Kusuma Karmel.
Makan malam menjadi saat untuk berbagi cerita tentang apa yang kami alami dalam keseharian. Hal-hal penting kami diskusikan dan selalu diakhiri dengan pertanyaan besok dimasakin apa?
Pada saat sidang umum MPR RI bulan Maret 1998, saya melihat Wawan di televisi, ada di tengah tumpukan banyak barang. Dan di meja makan, Wawan bercerita bahwa di kampus, Wawan bertugas mengurusi banrat yaitu bantuan masyarakat untuk keperluan mahasiswa yang berdemonstrasi.
Pada tahun 1998 gelombang demonstrasi dari hari ke hari semakin membesar menuntut turunkan Soeharto dari jabatan presiden, laksanakan enam agenda reformasi dan demokrasi.
Wawan senang mengikuti seminar. Ketika saya melarang berdemonstrasi, Wawan mengadakan seminar di kampus dan juga pernah mengadakan diskusi publik di gereja dengan mengundang pengamat politik Bapak Arbi Sanit, dosen UI dan juga Romo Sandiawan.
Sebagai anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Wawan ikut mendampingi keluarga korban tragedi kemanusiaan 13-15 Mei 1998 yaitu di wilayah Jakarta Barat dan sekitarnya. Proposal untuk mendirikan Posko tim relawan yang akan diajukan kepada Dewan Paroki Maria Kusuma Karmel belum sempat dikirim karena Wawan meninggal dunia.
Dalam keterbatasan dan kekurangan, kami sekeluarga hidup bahagia. Tetapi kebahagiaan itu tiba-tiba dipenggal dalam sesaat. Jumat sore tanggal 13 November 1998, saya menerima telepon dari Ivon, menanyakan tentang keberadaan Wawan.
Tidak lama kemudian Romo Sandiawan menelepon agar kami segera ke Rumah Sakit Jakarta karena Wawan tertembak. Dalam perjalanan menuju ke Rumah Sakit Jakarta saya berdoa Rosario. Tidak saya sadari tiba-tiba terlintas terucap kata, ‘Selamat jalan, Wan!” Saya berteriak, “Tidak, Tuhan Yesus! Selamatkanlah Wawan! Bunda Maria, tolonglah anak saya, Wawan!”
Di kamar jenazah Rumah Sakit Jakarta, Wawan berada di keranda terbuka. Matanya terpejam seperti lelap tertidur. Kedua tangannya dilipat di dada. Kedua jempol kakinya diikat dengan kain putih. Perutnya tipis. Mungkin Wawan lapar. Dada sebelah kiri berlubang selebar puntung rokok. Di pinggirnya terlihat luka bakar.
Di kaosnya ada bercak darah. Di Rumah Sakit Jakarta, kami bersama Romo Andang Binawan. Setelah berdoa, tiba-tiba muncul di pikiran, Wawan sudah meninggal. Ya, sudah, dibawa pulang, dimakamkan. Tetapi tidak, ternyata tidak semudah itu. Saya bersyukur, Tuhan Yesus tidak meninggalkan kami sekeluarga. Kasih Tuhan Yesus tidak dikurangi oleh penderitaan dalam kesulitan yang dihadapi oleh umat-Nya.
Di ruang tamu, di tempat Wawan disemayamkan, saya berdoa, “Tuhan Yesus, jamahlah dia yang menembak Wawan. Bukalah hati dan pikirannya agar dia mengenal kasih dan cinta-Mu yang agung!”
Wawan dibawa pulang dengan kemuliaan Tuhan. Dalam misa requiem, para gembalanya berjubah merah. Majalah Sabili memberitakan bahwa Wawan diangkat menjadi Martir karena jubah pasturnya berwarna merah, bukan berwarna ungu. Pada 30 November 1998, Menteri Sosial atas nama pemerintah menugasi PMI DKI untuk mengantarkan bantuan duka berupa selembar cek senilai 5 juta rupiah. Di dapur saya berdoa, “Tuhan Yesus, tunjukkanlah apa yang seharusnya saya
lakukan! Bunda Maria, tolonglah kami!” Saya menandatangani tanda terima karena para petugas PMI bersedia memberikan cek bantuan duka untuk Wawan kepada yang menembak Wawan atau kepada aparat yang bertugas di sekitar kampus Atmajaya pada hari Jumat tanggal 13 November sore, atau diberikan kepada 167 prajurit yang ditahan di Pomdam Jaya. Petugas PMI juga menyetujui akan memberikan tanda terima cek tersebut diberikan kepada siapa. Tetapi dalam perkembangannya sampai sekarang saya tidak tahu kepada siapa cek itu diberikan.
Melalui surat kesepakatan pada Menteri Sosial Ibu Yustika Baharsyah, tetapi tidak direspon, kemudian bapaknya Wawan membuat surat terbuka kepada Menteri Sosial dan banyak wartawan yang memberitakan di media sosial.
Pada Jumat malam, 13 November 1998 itu, di Rumah Sakit Jakarta ada orang berpakaian preman memaksa agar Wawan diautopsi. Dia mengatakan bahwa autopsi itu penting dan autopsi itu operasi kecil. Tetapi ternyata dada Wawan dibelah dari tenggorokan sampai ke perut. Saya kecewa. Pada saat itu saya ikut memandikan Wawan di Rumah Sakit Carolus.
Ketika kami berusaha untuk mendapatkan fotokopi hasil autopsi Wawan, dr Budi Sampurno menyarankan agar menemui Kabag Sidik Pomdam Jaya. Dalam pertemuan di Pomdam Jaya, Kabag Sidik Pomdam Jaya berpakaian seragam TNI. Dia mengatakan bahwa yang meminta Wawan diautopsi adalah dia. Padahal yang minta agar Wawan diautopsi adalah orang berpakaian preman. Berarti di Rumah Sakit Jakarta pada saat itu kami ditempel oleh seorang Intel.
Pada hari Senin tanggal 9 Juli 2000, saya menyiapkan 7 butir telur untuk dilempar di Sidang Paripurna DPR RI untuk tujuh fraksi dari 10 fraksi yang menyatakan bahwa penembakan para mahasiswa dalam peristiwa Semanggi I, Semanggi II dan Trisakti tidak terjadi pelanggaran HAM berat. Sebab sebelum DPR RI membentuk Pansus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, ada beberapa anggota DPR yang mengkhawatirkan akan terjadinya politisasi di DPR dan ternyata hal itu terbukti terjadi.
Pada tahun 2002 di kantor asuransi Wahana Tata, bapaknya Wawan bertemu dengan seorang yang mengaku namanya Pak Nur, mengatakan bahwa dia adalah sopir ambulan yang membawa Wawan ke RSCM yang berteriak-teriak, “Tundukkan kepala, tundukkan kepala, mobil kita ditembaki!” Di dalam mobil ambulan itu selain Wawan, ada saya, bapaknya Wawan, adik saya dan dua orang anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan. Jadi, bila Jaksa Agung mengatakan penembakan mahasiswa dalam peristiwa Semanggi I, Semanggi II dan Trisakti sulit dibawa ke pengadilan karena tidak ada saksi, itu adalah pernyataan bohong.
Pada tahun 2020, kami menang di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta atas gugatan kami kepada Jaksa Agung S.T. Burhanudin atas pernyataannya dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI pada tanggal 16 Januari 2020 yang menyatakan peristiwa Semanggi I dan Semanggi II sudah ada hasil putusan DPR
RI yang menyimpulkan peristiwa tersebut bukan pelanggaran HAM berat, sehingga seharusnya Komnas HAM tidak menindaklanjuti ke Pengadilan HAM Ad Hoc.
Dalam putusan Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta di antaranya menyatakan bahwa Jaksa Agung melawan hukum dan melakukan kebohongan. Setelah 25 tahun berlalu, pada 11 Januari 2023, presiden atas nama negara mengakui adanya 12 perkara pelanggaran HAM berat, salah satunya adalah peristiwa penembakan para mahasiswa dalam tragedi Semanggi I, Semanggi II, dan Trisakti.
Hidup ini seperti air mengalir. Tuhan Yesus membimbing dan menuntun kami sekeluarga ke mana kami harus melangkah melalui banyak umat-Nya. Tim Relawan untuk Kemanusiaan membangkitkan semangat hidup dengan mendorong korban keluarga korban kekerasan politik untuk bicara. Pada saat saya ingin mengetahui mengapa Wawan ditembak dan seperti apa aparat dalam menghadapi orang-orang yang berdemonstrasi pada bulan April 1999, saya bergabung dengan aktivis perempuan yang melakukan aksi damai pada setiap hari Jumat sore di Bundaran Hotel Indonesia.
Di Bundaran Hotel Indonesia itu seorang anggota Tim Relawan Kemanusiaan mengajak bergabung dalam pertemuan dengan korban keluarga korban tragedi 13-15 Mei 1998 di Wisma SJ di Depok.
Kami sekeluarga datang ke Wisma SJ. Pada umumnya korban, keluarga korban ingin berbicara. Tetapi setelah memegang mik, yang keluar hanya air mata. Pada tahun 1999 terbentuk Paguyuban Korban Keluarga Korban Tragedi 13-15 Mei 1998, Semanggi I (13 November 1998), Semanggi II (24 September 1999) dan Tim Relawan untuk Kemanusiaan.
Kami mencari kebenaran dengan mengunjungi lembaga-lembaga negara yang terkait, tetapi di depan pintu gerbang perkantoran sering dihadang aparat sehingga yang semula akan audiensi menjadi demonstrasi, orasi di depan aparat, sering dorong-dorongan, banyak orang tua korban yang terluka, patah tulang, pendamping korban keluarga korban ada yang ditembak dengan peluru karet. Banyak orang tua korban yang lelah dan putus asa. Akhirnya paguyuban tersebut bubar.
Terbitnya UU nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mengarahkan langkah perjuangan untuk mencari keadilan tetapi sulit dan berbelit-belit. Terjadi bolak-balik berkas penyelidikan dari Kejaksaan Agung ke Komnas HAM. Pada tahun 2008 Jampidsus Kejaksaan Agung pernah memberitakan bahwa berkas penyelidikan Komnas HAM atas tragedi Semanggi I, Semanggi II dan Trisakti dinyatakan hilang. Pada 10 Desember 2004, saya dianugerahi Yap Thiam Hien Award. Di samping mendapat medali, juga diberi penghargaan berupa uang. Tetapi saya merasa, saya berjuang bersama aktivis, mahasiswa, korban keluarga korban dari berbagai peristiwa. Saya berkoordinasi dengan Romo Sandiawan, kemudian uang dari Yayasan Yap Thiam Hien itu dipergunakan untuk kegiatan korban. Pada tahun 2005
berdiri Paguyuban JSKK, Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan. Salah satu kegiatannya adalah Aksi Kamisan yang dimulai pada hari Kamis, tanggal 18 Januari 2007. Lokasinya di depan Istana Presiden dari jam tiga sampai jam lima sore.
Pada hari Kamis tanggal 16 Mei yang akan datang adalah aksi yang ke-815. Romo Prof. Franz Magnis-Suseno, Guru Besar STF Drijarkara berkenan hadir untuk memberikan kuliah terbuka.
Dalam kesempatan ini kami mengundang Bapak-Ibu peserta webinar, webinar, yang sedang berada di Jakarta untuk hadir dalam Aksi Kamisan pada tanggal 16 yang akan datang, jam 3 sampai 5 sore di depan Istana Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat.
Aksi Kamisan adalah cara kami bertahan, berjuang membongkar kebenaran, mencari keadilan, melawan impunitas, menolak lupa dan merawat reformasi. Melalui Aksi Kamisan, kami menuntut penyelesaian pelanggaran HAM berat secara yudisial agar ada jaminan pemerintah tidak terjadi keberulangan pelanggaran HAM berat di masa depan. Aksi Kamisan berlipat ganda di berbagai kota menginspirasi anak-anak muda kritis terhadap permasalahan rakyat. Menurut catatan saya ada 65 kota yang mengadakan Aksi Kamisan walau ada yang berlanjut dan ada yang tidak berlanjut. Sejak awal, Aksi Kamisan menyuarakan berbagai permasalahan rakyat yaitu pelanggaran HAM di bidang sipol dan ekosob, mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat, mengkritisi pembahasan rancangan undang-undang yang dibahas di DPR bersama pemerintah dan lain-lainnya. Perhatian warga masyarakat cukup besar. Ada yang memberi bantuan berupa uang dan barang. Di antaranya ada yang membuatkan perlengkapan aksi, website, lagu-lagu, film, video, lukisan, pendokumentasian di YouTube, dan lain sebagainya. Aksi Kamisan di didokumentasikan di YouTube Jakartanicus.
Aksi Kamisan juga mendapat perhatian dari luar negeri, misalnya seniman dari Polandia ketika mengadakan kegiatan di Jakarta memberi perlengkapan Aksi Kamisan. Peneliti dari Amerika bekerja sama dengan seniman Indonesia yang tinggal di Brussel beberapa kali mengadakan diskusi di Amerika tentang pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Pada tanggal 30 April 2021 sampai 16 Januari 2022, seniman dari Indonesia itu mengadakan pameran atas undangan museum HAM di Kanada dengan menggunakan payung Aksi Kamisan sebanyak 85 payung. Pada 19 Januari 2017, Aksi Kamisan mendapat penghargaan dari MURI, Museum Rekor Dunia Indonesia dan pada 7 Agustus 2017, mendapat Tasrif Award dari AJI, Aliansi Jurnalis Independen Indonesia.
Semula Korban Keluarga Korban Pelanggaran HAM berat banyak yang mengikuti Aksi Kamisan. Tetapi sekarang lebih banyak dihadiri oleh orang-orang yang masih muda. Berkaitan dengan semakin banyaknya orang-orang muda yang hadir di Aksi Kamisan, saya minta bantuan mahasiswa STF Driyarkara untuk mencari para akademisi atau para tokoh berkenan memberikan kuliah terbuka atau orasi dalam Aksi Kamisan.
Saya sering mengatakan bahwa kebenaran itu bersinar. Di saat perjuangan berada di lorong yang gelap dan sempit, selalu ada cahaya yang menyinari sehingga selalu ada kegiatan yang bisa dilakukan. Dalam cinta ada semangat dan harapan. Kami sekeluarga mencintai Wawan. Duka cita kami bertransformasi pada cinta kepada sesama dengan memperjuangkan pertanggungjawaban negara atas berbagai pelanggaran HAM berat. Keberadaan orang-orang di sekeliling kami, umat Katolik, frater, bruder, suster, romo memulihkan semangat hidup dan meneguhkan sikap dalam menjalani kehidupan. Bila aksi kami dihadiri oleh suster atau frater, biarlah saya mohon doa untuk menutup aksi. Dan bila dihadiri oleh romo, biasanya saya mohon doa dan berkat.
Sering terlintas dalam pikiran saya, apalah arti seorang Wawan. Wawan dianugerahi kehormatan berupa doa di gereja yang dipimpin oleh seorang Kardinal, Bapak Uskup Agung Jakarta, Monsinyur Julius Darmaatmadja. Apa pula arti kami sekeluarga, rumah tinggal kami dikunjungi oleh seorang Kardinal, Bapak Uskup Agung Jakarta, Monsinyur Ignatius Suharyo.
Sebagai umat Katolik, kita menolak segala tindakan dan kebiasaan yang tidak adil atau tidak jujur dan yang melanggar hak-hak asasi manusia. Semoga Aksi Kamisan menjadi sarana untuk mewartakan kebenaran dan keadilan, mendorong anak-anak muda kelak menjadi pemimpin yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, tidak melakukan korupsi, tidak melakukan tindak kejahatan terhadap sesama sehingga rakyat hidup aman, damai, adil, makmur, dan sejahtera seperti yang tertulis dalam puisi Wawan.