Agama dan Gerakan Ekologi

Ada beberapa gejala yang menarik terkait dengan perilaku manusia terhadap lingkungan. Dalam webinar filsafat ke-5 STFT Widya Sasana bertema “Agama dan Gerakan Ekologi” (16 April 2024), Romo Dr. Yohanes I Wayan Marianta, SVD menyampaikan beberapa hal. Pertama, kaitan antara agama dan kesadaran ekologis. Kisah nyata bagaimana mungkin orang yang dalam perjalanan ke gereja membuang sampah secara sembarangan di pinggir jalan? Terlihat bahwa antara kesadaran etis, moral, agama dan kesadaran ekologisnya tidak sambung.

Kedua, kesadaran publik akan krisis ekologis muncul setelah terjadi bencana. Misalnya ketika terjadi banjir, masyarakat akan beramai-ramai mencari penyebab banjir, namun setelah banjir usai, mereka lupa melakukan aksi konkret misalnya tanam pohon atau bersih lingkungan. Mereka larut dalam aktivitas sehari-hari, bussines as usual.

Ketiga, tragedy of common. “Coba kalau kita pikir-pikir, barang milik umum itu cenderung awet atau cenderung rusak? Gitu ya. Toilet umum itu cenderung kotor atau cenderung bersih? Dalam situasi tanpa manajemen biasanya cenderung kotor,” kata Romo Wayan. “Cobalah di komunitas, sepeda motor milik bersama, semua mau pakai tapi gak ada yang mau rawat, ya hancur motor itu kan,” kata Romo Wayan memberikan ilustrasi lain. Itu sudah seperti hukum besi.

Keempat, free riders. Romo Wayan menyampaikan, dalam collective action atau tindakan bersama biasanya muncul penumpang-penumpang gratisan. “Ngapain saya harus repot-repot ikut kerja bakti, bersih-bersih, toh setelah jalan itu dibersihkan saya juga lewat gratis kok. Jadi, biarkan orang lain berkontribusi, saya nggak perlu gitu. Itu namanya free riders. Nah, ini yang sering kali dalam hidup bersama itu begitu. Dia mau menikmati hasilnya, tetapi tidak mau berkontribusi,” ungkapnya. Dalam gerakan sosial, menurut Romo Wayan, baik tragedy of common dan free rides phenomenon akan selalu dihadapi. Orang mau memanfaatkan sumber daya milik umum tetapi tidak mau merawatnya. Orang mau menikmati hasilnya namun tidak mau berkontribusi.

Meskipun  begitu, sambung Romo Wayan, Elinor Ostrom (1933-2012) membantah bahwa tragedy of the common itu bukan merupakan hukum besi. Hal itu bisa dilihat dalam masyarakat lokal yang bisa mencari jalan bersama untuk menyelesaikan kerusakan barang-barang milik umum atau sumber daya (resources) bersama meski hal itu dilakukan tanpa campur tangan pemerintah. Mereka menyadari kalau kerusakan itu terjadi, mereka tahu kerusakan sedang membayangi mereka. Ketika kerusakan itu terjadi mereka akan rugi bersama. “Contoh mata air, semua mau ngambil tapi nggak mau merawatnya. Nah ketika sudah mulai terjadi bahaya krisis air, misalnya, mereka akan tergerak bersama,” kata Romo Wayan. Manajemen sumber daya bersama itu akan terjadi ketika batas-batasnya jelas. Ostrom juga menemukan, orang akan mau menjaga sumber daya bersama itu ketika merasa terawasi.

Persoalan ekologis: Kasus Bhutan

Dalam kesempatan itu, Romo Wayan menyampaikan upaya negara Bhutan dalam menjaga komitmen ekologisnya. Ini sebuah negara di pegunungan Himalaya, berbatasan dengan Cina, Nepal, India, Bangladesh. Penduduknya sekitar 700-an ribu. Mayoritas rakyatnya beragama Buddha. “Negara ini berbentuk kerajaan tetapi kemudian rajanya mendemokratisasi negaranya,” katanya.

Yang menarik adalah, ketika banyak negara mengukur kemajuan negara dengan Gross National Product (GDP), namun Bhutan mengukurnya dengan Gross National Happiness (GNH).

Pemerintah Bhutan juga menaruh perhatian lebih pada aspek kelestarian alam. “Jadi penduduknya kecil. Komitmen untuk menjaga lingkungan dan kebahagiaan masyarakatnya. Bahkan dia menjadi satu-satunya negara yang karbon negatif,” katanya.

Bhutan justru berhasil menjadi negara negatif karbon (carbon negative country).  “Karena apa? Dia punya hutan 70% dari luas wilayahnya, sehingga dia mensuplai,  menjadi paru-paru dunia, mensuplai oksigen. Lebih dari itu dia memiliki pembangkit listrik tenaga air yang diekspor ke tetangganya,” katanya.

Meski menjadi negara negatif karbon, Bhutan tetap terdampak pemanasan global dan perubahan iklim. Perdana Menteri Bhutan, Tsering Togbay, dalam acara Ted Talk menunjukkan mencairnya glacier yang kemudian menjadi danau-danau kecil yang mengakibatkan banjir pada musim-musim tertentu.

Era anthropocene

Menurut Romo Wayan, kita sekarang hidup dalam satu babak yang disebut anthropocene. Babak di mana jejak manusia sebagai sebuah spesies itu sudah terlalu dalam pada wajah bumi. Itu semua mengakibatkan krisis ekologis yang terlihat dalam global warming dan climate change. “Nah, secara sosiologis, kita bisa melihat hal itu, krisis ekologis itu sebagai bagian dari global risk (risiko global),” katanya.

Romo Wayan mengatakan, masyarakat kita menurut Ulrich Beck dan Anthony Giddens adalah masyarakat risiko. “Risiko itu artinya kita menerima adanya kemungkinan terjadi bencana, tetapi kita terima. Kita coba manage karena kita mengharapkan sesuatu tetap kita dapatkan,” katanya.

Jadi, sambungnya, risiko itu tidak dibuang sama sekali. Ketika kita mengejar kemajuan ekonomi, risikonya seringkali adalah kerusakan ekologi. “Persoalannya sejauh mana kita mampu me-manage risikonya,” katanya.

Saat ini salah satu tantangan terbesarnya adalah global warming yang berujung ada climate crisis. “Sayangnya, kerja sama global untuk menangani ini masih sangat terbatas. Kalau kita lihat ya ada yang disebut dengan Kyoto Protocol dan kemudian Paris Agreement tahun 2015, dunia mengupayakan sebuah kenaikan suhu global itu tidak melebihi 1,5 derajat Celcius,” katanya.

Tetapi masalahnya, lanjutnya, Kyoto Protocol dan juga Paris Agreement itu dijalankan dengan prinsip yang disebut dengan common but differentiated the responsibilities (CBDR) atau tanggung jawab bersama, tetapi porsinya dibedakan sesuai dengan perkembangan masing-masing negara. “Jadi masing-masing negara menetapkan targetnya sendiri, dan lebih parah lagi tidak ada mekanisme sanksi dan kontrol untuk memastikan negara itu mematuhi target yang dibuatnya sendiri. Nah akibatnya semua berlomba-lomba tetap aja jalan seperti biasa,” katanya. Penurunan emisi karbon ditakutkan akan menghambat kemajuan ekonominya. Padahal jika terjadi kenaikan suhu bumi sebesar 1,5 derajat Celcius, kerusakan lingkungan akan sangat parah. Salah satunya adalah hilangnya keanekaragaman hayati (biodiversity loss) yang sangat parah. Kekeringan menghantam lebih banyak orang. Kebakaran makin sering terjadi. Bencana ekologis makin sering terjadi.

Indonesia punya komitmen mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29%-41%. “Tapi rasanya tidak berjalan dengan maksimal, karena kita sibuk untuk membangun terus ya. Jadi ini nggak dijalankan. Kita bahkan pernah menjadi penyumbang CO2 terbesar itu karena kebakaran lahan gambut,” katanya.

Paradoks gerakan lingkungan

Mengutip pendapat Christopher Rootes (2014:610), Romo Wayan menyampaikan, gerakan lingkungan hidup dapat didefinisikan sebagai jaringan interaksi informal yang melibatkan individu, kelompok atau organisasi untuk melakukan aksi kolektif berdasarkan identitas atau kepedulian bersama mengenai isu-isu lingkungan.

Definisi ini mensyaratkan 3 elemen konstitutif gerakan lingkungan, yakni, (1) adanya jaringan aktor, (2) yang melakukan aksi bersama, (3) dengan mengusung isu dan identitas peduli lingkungan.

Gerakan lingkungan lebih baik mewujud dalam aksi bersama. “Jangan hanya khotbah atau ngomong aja, nulis buku, tapi nggak melakukan aksi bersama. Kalau sudah ada aksi bersama atau aksi kolektif baru disebut gerakan sosial atau gerakan lingkungan. Dan supaya bisa disebut gerakan lingkungan mesti mengusung isu dan identitas peduli lingkungan.Nah itu ya, jadi supaya dibedakan antara gerakan dengan gerak-gerik gitu atau hanya sekadar wacana atau hanya sekadar ajaran. Nah, dari situ kita bisa mengevaluasi diri kita,” ungkapnya.

Menurutnya, gerakan lingkungan merupakan salah satu gerakan sosial yang paling berpengaruh dewasa ini. “Saya berpikir ke depan isu besar abad ini adalah salah satunya adalah isu lingkungan ya,” katanya. Selain itu ada isu artificial intelligence (AI),  internet, digital life, perang (great power rivalry).

“Anda suka atau tidak suka, Anda sebagai pemimpin, nanti pemimpin dalam Gereja atau dalam masyarakat, Anda akan berurusan dengan isu-isu semacam ini. Jadi dengan ini mau tidak mau Anda harus mendalami isu lingkungan,” katanya.

Dalam tataran global, gerakan lingkungan juga semakin besar dengan banyaknya yang terlibat seperti NGO dan partai bahkan menggunakan resource yang besar. Sosiolog Amerika, Robert Nisbet mengatakan gerakan lingkungan dapat disebut sebagai gerakan sosial paling penting abad ke-20.

Namun, mengutip Rucht, 1999, Romo Wayan menyampaikan, perkembangan pesat gerakan lingkungan hidup ternyata menampilkan wajah paradoksal. “Gerakannya tumbuh besar, tetapi kerusakan lingkungan juga tambah besar,  kan gitu. Jadi itu ya. Jadi semacam tangible outcomes-nya tidak terlihat secara jelas. Gitu ya. Artinya apa? Artinya bukan untuk melemahkan semangat, tetapi untuk menunjukkan bahwa PR kita tuh masih banyak ya. Jadi paradoksnya di mana? Gerakan menguat mengglobal tetapi kerusakan lingkungan tambah besar juga,” ungkapnya.

Jenis Gerakan Lingkungan

Romo Wayan pun menyampaikan 5 jenis gerakan lingkungan yang dikenalkan  Manuel Castells dalam bukunya, “The Rise of Network Society”. Pertama, gerakan “konservasi alam” (conservation of nature) yang memandang diri mereka sebagai pecinta alam, melawan pembangunan ekonomis yang tak terkontrol, dan memfokuskan diri pada pelestarian alam dengan program-program seperti penetapan cagar alam, pelestarian hutan tropis, dan semacam itu.

Kedua, gerakan “proteksi wilayah sendiri” (defense of own space) yang dilakukan oleh komunitas-komunitas yang merasa kualitas hidup dan kelestarian ekosistem di wilayah mereka terancam. Gerakan mereka terfokus menentang aktivitas-aktivitas penyebab polusi dalam wilayah mereka.

Ketiga, gerakan deep ecology, yaitu sebuah gerakan counter-culture yang meyakini kegentingan krisis ekologis dan menekankan bahwa solusinya terletak pada komitmen mengubah pola hidup secara radikal dengan “menghijaukan diri” (greening of the self). Penganut gerakan ini berasal dari berbagai aliran pemikiran ekologis. Visi mereka adalah membangun kultur ideal yang ramah ekologi atau ecotopia.

Keempat, gerakan “menyelamatkan bumi” (saving the planet), memandang diri mereka sebagai pejuang-pejuang lingkungan hidup (eco-warriors) yang menentang pembangunan ekonomis yang tak terkontrol. Mereka memperjuangkan sistem ekonomi yang berkesinambungan.

Kelima, gerakan “politik hijau” (green politics), dibangun oleh warga yang peduli dengan memobilisasi diri dalam gerakan politis, termasuk mendirikan parti politik berbasis isu ekologis, untuk membangun kekuatan politis yang melawan arus politik-ekonomi yang destruktif terhadap lingkungan.

Meski demikian, Romo Wayan melihat ada gerakan lingkungan yang tidak masuk dalam 5 kategori itu, misalnya ecopreneurship.

Gerakan lingkungan berbasis agama

Gerakan lingkungan berbasis agama telah tumbuh dengan cukup baik. “Ternyata di kalangan gereja, di kalangan agama-agama juga sudah mulai tumbuh ya. Bahkan, saya pernah baca, ekoteologi itu merupakan sebuah gerakan teologi yang paling tumbuh pesat,” katanya.

Romo Wayan memberi contoh gerakan ekologi yang berbasis agama yang sudah lama bergerak seperti Pepulih. “Didirikan dalam lingkungan Katolik tapi, anggotanya tidak semua Katolik,” katanya. Kemudian muncul Green Faith, sebuah koalisi menggalang kerjasama lintas agama dalam gerakan ekologis. “Jadi, mendorong agama-agama peduli di isu lingkungan secara khusus mitigasi climate change,” katanya.

Romo Wayan juga pernah meneliti gerakan lingkungan yang bercorak konfrontatif seperti gerakan tolak tambang. Ada empat faktor yang memungkin gerakan itu terjadi. Pertama, gerakan sosial ataupun gerakan lingkungan mesti punya frame. “Frame itu artinya bingkai ideologis. Orang hanya mau terlibat ketika mereka diyakinkan bahwa perjuangan mereka itu punya nilai. Jadi Anda harus pintar-pintar membangun bingkai ideologis, sehingga dia mau meluangkan waktunya, misalnya untuk membersihkan sungai dan seterusnya. Harus ada bingkai ideologisnya. Semakin kuat bingkai ideologisnya, semakin militan orang bergerak. Nah, bingkai ideologis ini juga menentukan nanti agenda Anda apa dan seterusnya. Dengan siapa Anda berkoalisi,” katanya.

Yang kedua, gerakannya harus punya resource. “Jadi harus ada modal uang, modal jaringan, modal macam-macam itu, butuh resources, supaya gerakan itu tumbuh. Jadi, harus pintar-pintar membangun sumber daya,” katanya.

Yang ketiga, adalah aspek politik eksternal. “Gerakan itu hanya bisa tumbuh ketika iklim politis eksternalnya mendukung. Jadi kalau misalnya gerakan itu ditindas oleh pemerintah yang otoriter ya cenderung mati. Makanya dari studi gerakan lingkungan, terbukti gerakan lingkungan itu bertumbuh pesat, lebih pesat setelah Orde Baru,” katanya. Iklim demokratis mendukung tumbuhnya gerakan sosial.

Yang keempat, gerakan itu menjalankan agendanya dengan cara tertentu yang sesuai. “Bahasa kerennya itu repertoire of contention. Kalau gerakan protes, bentuk apa yang dipakai? Demo, menulis surat, memblokade jalan?” katanya. Ini dilakukan dengan mencari cara yang paling efektif.

Anggota yang bergerak dalam komunitas gerakan lingkungan tentu tidak memiliki semangat yang sama. Sementara, menurutnya, gerakan biasanya berhasil kalau kelompok intinya solid. “Tidak perlu leader-nya hebat gitu ya. Kalau ada kelompok inti yang solid, biasanya jalan. Nah ini bisa dipakai dalam gerakan sosial manapun menurut saya. Anda buat persekutuan doa, juga sama begitu ya. Kalau ada kelompok inti yang kuat itu biasanya jalan. Coba di kelas. Kelasnya akan solid kalau ada kelompok inti yang mengaturnya. Mau pertandingan sepak bola, mau makan-makan bareng, biasanya ada kelompok inti yang bergerak yang bukan semata-mata karena ketua kelas,” katanya memberi ilustrasi.

Etika ekologis

Mengenai frame atau bingkai ideologis gerakan lingkungan, menurut Romo Wayan, bisa ditarik dari 5 etika ekologi berikut ini. Pertama, antroposentrisme. Dalam etika ini, manusia menjadi pusat. “Kita peduli lingkungan sejauh itu untuk kepentingan manusia,” jelas Romo Wayan. “Kita peduli lingkungan karena kalau lingkungan rusak manusia juga yang kena gitu. Jadi purely dari perspektif manusia,” imbuhnya. Antroposentrisme,  menurutnya, meletakkan takaran atau ukurannya itu pada manusia.

Dua, biosentrisme. Etika ini mengatakan, makhluk hidup pun punya nilai intrinsik, “tidak hanya diukur oleh kepentingan manusia”. “Tidak bisa kita menghabisi spesies tertentu hanya karena kebutuhan manusia,” katanya.

Tiga, ekosentrisme. Menurutnya, ekosistem itu mempunyai hak intrinsik untuk hidup, “tidak boleh diganggu semata-mata hanya karena kepentingan manusia”.

Empat, ekofeminisme. Menurutnya, tesis dari etika ini, adalah perempuan memiliki naluri untuk merawat atau peduli (care). “Dari situ dilahirkan etika lingkungan yang berbasis care, kepedulian dan responsibility ya. Jadi etika tanggung jawab dan kepedulian,” katanya.

Lima, ekoteologi. Adalah wawasan atau kepedulian lingkungan yang basisnya adalah ajaran-ajaran atau inspirasi teologi. “Jadi kepedulian lingkungan itu mengalir dari ajaran agamanya. Itu kuat sekali di kita. Jangan diragukan,” katanya.

Namun, seorang historian, Lynn White Jr. pernah menulis artikel “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis” tahun 1967. Dia menuduh, akar penyebab krisis ekologi adalah ajaran Kristen-Yahudi. “Lalu dibuatlah tanggapan-tanggapan terhadap artikel Lynn White Jr. muncullah kemudian ekoteologi, singkatnya demikian ya. Jadi tidak benar bahwa Kitab Kejadian itu mengajarkan manusia untuk mendominasi atau mengeksploitasi alam tetapi manusia diberi martabat sebagai co-creator untuk merawat dan menjaga alam. Lahirlah kemudian ekoteologi dan seterusnya ya. Bukan hanya di kalangan Katolik, Kristen tetapi juga kalangan Hindu, kalangan Islam dan seterusnya,” katanya.

Dalam perkembangan selanjutnya, Romo Wayan melihat satu frame yang muncul cukup kuat yaitu environmental justice. Menurutnya, frame ini mengatakan bahwa dampak kerusakan ekologi tidak dialami secara simetris. “Yang menjadi korban itu masyarakat setempat dan yang paling miskin biasanya karena mereka yang tidak punya akses terhadap berbagai macam hal ya, harus hidup di pinggir sungai, misalnya gitu. Kalau sungainya tercemar mereka yang kena, jadi perempuan dan anak dan mereka yang miskin . Sementara pelakunya mungkin tidak tinggal di situ. Nah itu yang disebut dengan isu environmental justice, keadilan atau ketidakadilan lingkungan,” katanya.

Frame ini menjadi penting karena dampak yang dirasakan tidak setara. “Orang miskin yang lemah yang akan lebih terkena. Itu pula yang disuarakan oleh Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ ketika dia mengatakan jeritan alam dan jeritan kaum miskin itu bersamaan,” katanya.

Agama menjadi sumber inspirasi gerakan lingkungan. Selanjutnya, ini menjadi gerakan komunitas agama yang bersangkutan. Salah satu definisi agama adalah seperti disampaikan Emile Durkheim dalam ‘The Elementary Forms of Religious Life’ (1912), “A religion is unified system of beliefs and practices relative to sacred things, that is to say, things set apart and forbidden – beliefs and practices which unite into one single moral community called a Church, all those who adhere to them”.

“Intinya apa kalau kita bicara agama kalau mengikuti Durkheim? Elemennya itu ada tiga. Yang pertama, ada kepercayaan akan yang sacred. Yang kedua, ada praktik-praktik yang berkaitan dengan kepercayaan itu. Dan yang ketiga, itu ada komunitasnya,” katanya. Maka, ketika bicara agama dan lingkungan, kita bicara sebetulnya tentang satu komunitas.

Sumber-sumber refleksi tentang ekoteologi pun semakin beragam.  John L. Allen. Jr tahun 2009 menulis menulis buku berjudul “The Future Church :How Ten Trends are

Revolutionizing the Catholic”.  “Isu kedelapan adalah isu ekologi. Jadi Anda kalau menjadi pemimpin Gereja Katolik, Anda mau tidak mau harus cukup melek soal-soal ekologi,” katanya.

Dalam konteks Indonesia, kesadaran ekologis Gereja sudah cukup tinggi. Konferensi Waligereja Indonesia menerbitkan Nota Pastoral KWI pada tahun 2013 “Keterlibatan Gereja dalam Melestarikan Keutuhan Ciptaan”. Nota Pastoral itu kental dengan isu integrity of creation, keutuhan ciptaan dengan skema see, judge, act.

Pertama, para Uskup menggambarkan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kerusakan lingkungan. Lalu dilanjutkan dengan refleksi teologis tentang amanat ilahi dan diakhiri dengan tawaran tindakan (act).

Dalam perkembangannya, Paus Fransiskus mengeluarkan Ensiklik Laudato Si’ (2015) dan  Laudate Deum (2023) yang secara khusus berbicara tentang mitigasi climate change.  Menurut Romo Wayan, konsep utama dokumen tersebut adalah rumah bersama. “Karena rumah bersama, setiap orang harus berkontribusi merawatnya,” katanya.

Romo Wayan mengatakan, konsep-konsep yang bagus di dalam dokumen tersebut bisa dieksplore lebih lanjut misalnya pertobatan ekologis. “Kalau kita sebut pertobatan ekologis itu mengandaikan adanya dosa. Karena kalau bertobat enggak ada dosa kan gak mungkin. Pertobatan itu mengandaikan dosa. Nah, perlu kemudian kita kembangkan misalnya teologi tentang dosa ekologis,”  katanya.

Dalam Ensiklik Laudato Si’, Paus menulis begini, “Mayoritas penduduk planet ini menyatakan dirinya beriman. Hal ini harus mendorong agama-agama untuk masuk ke dalam dialog dengan maksud melindungi alam, membela orang miskin dan membangun jaringan persaudaraan.” (LS 201).  “Paus menghimbau adanya kerja sama dan dialog antar agama. Jadi, percuma menyebut diri beragama kalau tidak peduli lingkungan gitu ya,” kata Romo Wayan. Paus menghimbau kontribusi setiap komunitas agama untuk melestarikan rumah bersama.

Menariknya, Ensiklik Laudato Si’ menginspirasi banyak orang Katolik untuk merawat bumi. Tidak hanya itu, pengembangan konsep ke langkah yang lebih konkret melahirkan beberapa refleksi. Salah satunya adalah buku “The Ten Green Commandments of Laudato S’” yang ditulis Josthrom Issac Kurrethadam. Meski demikian, menurutnya, dokumen ekoteologi sudah cukup banyak. “Yang kurang adalah bagaimana dokumen itu diterjemahkan menjadi movement,” katanya.

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *