Oleh BAVO BENEDICTUS SAMOSIR, OCSO
Langkahku terhenti ketika seorang ibu yang sudah sepuh menyapaku “selamat pagi” dan ia mengungkapkan sebuah harapan agar aku sehat selalu. Aku membalas dengan sapaan dan harapan yang sama untuk ibu tersebut. Sapaan itu tidak hanya membuatku bahagia tetapi aku merasakan bahwa seakan aku mengenal ibu tersebut dan ibu tersebut mengenal aku, meski kami baru berpapasan di pagi hari itu.
Aku melanjutkan kembali jalan pagi yang rutin aku lakukan, dengan rasa surprise yang masih ada dalam benak dan hati karena sapaan itu. Mendengar sapaan dari sesama manusia saja saya merasa bahagia apalagi kalau saya atau kita semua mendengar sapaan dari Tuhan. Ketika kita mau mendengar sapaan Tuhan, sapaan itu tidak hanya membuat kita bahagia tetapi bisa mengubah diri kita dalam memandang dan menjalani kehidupan ini.
Sapaan–Nya
Tuhan selalu menyapa kita, baik itu ketika kita sedang dalam kesedihan maupun dalam kegembiraan, dalam kesuksesan maupun dalam kegagalan, entah itu ketika kehidupan berjalan dengan baik maupun ketika kehidupan memberikan pukulan yang menghancurkan. Ia selalu menyapa kita untuk memberikan peneguhan, semangat dan kekuatan dalam menjalani kehidupan harian. Namun kita sering mengabaikannya karena tidak menyadari. Kita terlalu fokus pada situasi yang kita alami di perjalanan hidup di dunia ini sehingga kita melupakan Dia yang selalu bersama kita (Matius1:23), Dia yang selalu menyertai kita hingga akhir zaman.(Matius 28:20). Sebagai umat beriman, harus selalu kita sadari bahwa apa pun yang kita lakukan dalam hidup tidak ada gunanya jika kita tidak melakukannya bersama-Nya.
Bagaimana kita bisa mendengar sapaan Tuhan dalam kehidupan harian? Kita mendengarkan sapaan-Nya bukan melalui kasat telinga tetapi melalui hati nurani kita. Dalam kitab Yeremia dikatakan bahwa Tuhan melalui Roh-Nya menanamkan hukum dan perintah-Nya ke dalam hati setiap pribadi (Yeremia 31:33). Dan dalam Injil Yohanes 16:13-15 dikatakan; ‘’Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran… Segala sesuatu yang Bapa punya, adalah Aku punya; sebab itu Aku berkata: Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterima-Nya dari pada-Ku.” Dengan demikian suara hati sebagai penuntun benar atau salah perilaku seseorang karena Tuhan telah menanamkan Roh Kebenaran di dalamnya.
Dalam kenyataan hidup, kita manusia tidak selalu mampu mendengarkan sapaan Tuhan di dalam hati nurani kita. Ketidakmampuan itu disebabkan karena kesibukan kita dalam menjalani kehidupan ini. Kita hidup di hari dan waktu yang dipenuhi dengan banyak hal sehingga tidak punya waktu untuk bersama Tuhan untuk menjalin relasi dengan-Nya, untuk mendengarkan sapaan-Nya. Itulah alasan klasik yang sering diungkapkan, terlalu sibuk. Kesibukan adalah bagian dari kehidupan kita, namun jika kesibukan membuat kita tidak memiliki waktu untuk Tuhan yang merupakan sumber kehidupan kita, di mana kita tergantung pada-Nya, maka kita perlu meninjau kembali kesibukan kita tersebut. Kesibukan yang memenuhi hidup harian kita, pada akhirnya bisa membuat “kesibukan” yang memenuhi diri kita, sehingga membuat kita semakin tidak mampu mendengarkan sapaan Tuhan
Hal lain yang membuat kita tidak mampu mendengarkan sapaan Allah, disebabkan karena kita tidak memiliki sikap kerendahan hati di hadapan-Nya. (bandingkan Yakobus 3:17). Mendengarkan sapaan Tuhan membutuhkan hati yang terbuka dan menerima, membutuhkan kesabaran dan ketekunan yang terus berproses hingga kita mampu mendengarkan sapaan-Nya. ‘Berbicaralah, Tuhan, karena hamba-Mu mendengarkan.” (1 Samuel 3:9). Agar mampu mendengarkan sapaan Tuhan dalam hati kita, kita harus menjaga hati nurani kita tetap bersih dengan menaati Sabda-Nya dan menjaga hubungan baik dengan-Nya. Kitab Amsal mengatakan; “Di atas segalanya, jagalah hatimu, karena segala sesuatu yang kamu lakukan mengalir darinya” (Amsal 4:23).
Sapaan Tuhan selalu mengajak kita untuk menjalani kehidupan ini dengan lebih baik, mengajak untuk menjadi orang yang lebih baik dibandingkan hari kemarin, mengajak kita untuk terus bertumbuh. Sapaan Tuhan mengajak untuk menyelaraskan kehendak kita dengan kehendak-Nya dan membiarkan Dia menransformasi diri kita. Hal ini menjadi sebuah tantangan bagi kita untuk mendengarkan sapaan-Nya kalau kita sudah merasa nyaman dengan keberadaan diri kita, sudah merasa cukup baik dengan kehidupan yang kita jalani saat ini. Di dalam diri kita ada kesombongan, hanya ingin mendengarkan apa yang ingin kita dengar. Dengan bersikap seperti itu kita tidak dapat bertumbuh dalam hidup rohani.
Agar mampu mendengarkan sapaan Tuhan dalam hati kita, kita perlu meluangkan waktu bersama Tuhan secara teratur untuk mempraktikkan keheningan dalam doa di mana kita berkomunikasi dengan-Nya. Kita duduk dengan tenang dan merasakan kehadiran Tuhan. Melalui keheningan doa, kita dibantu untuk dapat mendengarkan sapaan Ilahi dalam hati kita. Tuhan selalu menyapa kita dan dari kita diminta kesediaan untuk mendengarkan dengan iman dan pengharapan. Agar mampu mendengarkan sapaan-Nya kita perlu mengenal-Nya dan untuk mampu mengenal-Nya kita perlu mengenal Sabda-Nya di dalam Kitab Suci. Dan saat kita membaca Kitab Suci, kita mendengarkan suara Tuhan, dan pada akhirnya kita mampu mengenal suara-Nya (Yohanes 10:14) yang membimbing dalam aktivitas harian kita, dalam keramaian dunia.
Teguran–Nya
Suara Tuhan itu tidak hanya berupa sapaan yang memberi peneguhan, semangat dan penguatan namun juga berupa teguran yang menunjukkan kesalahan kita dan sekaligus mengajak kita untuk memperbaiki, mengajak kita untuk bertobat (Matius 4:17; Markus 1:15). Teguran Tuhan itu bisa melalui berbagai macam cara, salah satunya adalah melalui suara hati kita. Sama halnya ketika kita mendengar sapaan-Nya, kita perlu mengenal-Nya, khususnya melalui Kitab suci, demikian juga halnya ketika kita mendengarkan teguran-Nya.
Ketika Tuhan menegur, hal itu demi kebaikan kita sebagai umat milik-Nya. Dia ingin kita bertumbuh. Kitab Ibrani menggambarkan teguran Tuhan seperti seorang ayah menegur anaknya ‘Dan sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak: “Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan , dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak.” Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang. Selanjutnya: dari ayah kita yang sebenarnya kita beroleh ganjaran, dan mereka kita hormati; kalau demikian bukankah kita harus lebih taat kepada Bapa segala roh, supaya kita boleh hidup? Sebab mereka mendidik kita dalam waktu yang pendek sesuai dengan apa yang mereka anggap baik, tetapi Dia menghajar kita untuk kebaikan kita, supaya kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya.’ (Ibrani 12:5-10)
Mendengarkan teguran Tuhan, itu berarti kita mengakui ada kesalahan di dalam diri kita. Hal ini tidak selalu mudah untuk bisa kita terima karena kita memandang kesalahan sebagai sesuatu yang negatif, hanya menunjuk kelemahan kita. Padahal sebenarnya kesalahan mengajarkan kita bahwa ada hal baru yang perlu kita pelajari dan hal yang lama di dalam diri kita yang perlu kita hilangkan agar kita bisa berkembang (Yohanes 15;1-2). Kenyataan manusia tidak ada yang sempurna dan ketika menyadari ketidaksempurnaan diri kita, akan lebih memudahkan kita untuk bertumbuh dalam iman daripada ketika kita menganggap diri sempurna.
Sambil terus berjalan, sesekali aku menengadah ke atas. Sinar mentari mulai menyelinap di antara dedaunan pohon yang menjulang tinggi di sisi kanan-kiri jalan yang kulalui. Kuberharap sinar mentari tidak hanya menyinari alam persada ini namun juga menyinari hati nurani umat manusia yang tinggal di dalamnya agar mampu mendengarkan sapaan dan teguran-Nya.
*Penulis adalah Rahib dan Imam, Mount St. Joseph Abbey – Roscrea, Co.Tipperary- Irlandia