Perdagangan orang merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dimana hak asasi korban dirampok dan korban diperlakukan sebagai barang dagangan yang dibeli, dijual, dipindahkan dan dijual kembali bahkan berakhir dengan meregang nyawa. Dalam perkembangannya, modus perdagangan orang berubah dalam berbagai bentuk kompleksitasnya.
Isu perdagangan orang menjadi isu yang menarik perhatian masyarakat luas, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Korban yang meninggal terus meningkat. Selama 2023 sekitar 140 jenazah dipulangkan ke Nusa Tenggara Timur (NTT).
Zero Human Trafficking Networking (ZHTN) menginisiasi webinar terkait pembelajaran proses lobi dan advokasi anti perdagangan orang yang dilakukan oleh masyarakat sipil dengan narasumber Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus dari Komisi Keadilan Pastoral Migran dan Perantau (KKPMP) Keuskupan Pangkalpinang, Pdt Emmy Sahertian dari Komunitas Hanaf Kupang NTT, Sonnya Sinombor (Jurnalis Kompas), Gabriel Goa dari PADMA Indonesia pada 20 Februari 2024.
Romo Paschalis Saturnus dalam kesempatan itu menyampaikan data kasus-kasus kekerasan di Batam yang ditanganinya bersama timnya selama tahun 2023. Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) 42,2 persen, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) 6,3 persen, eksploitasi ekonomi 2,9 persen, kekerassan fisik 4,4 persen, penelantaran 4,4 persen, perundungan dan KBGO 11,2 persen, kekerasan seksual 28,6 persen. “Kasus TPPO memang masih besar terjadi. Ada 42,2 persen,” ungkap lelaki yang biasa disapa Romo Paschal itu. Ada 122 korban.
Namun, Romo Paschal masih prihatin dengan penanganan kasus-kasus itu oleh aparat penegak hukum (APH) yang tidak optimal. “Ada banyak kasus-kasus yang disampaikan, cukup besar penangkapan-penangkapan. Tapi yang menarik adalah tidak ada satu kasus pun yang kemudian diputuskan dalam pengadilan di data kami, atau katakanlah masih berproses. Banyak kasus yang ditangkap oleh kepolisian tetapi tidak sampai kepada keputusan pengadilan. Jadi dia berhenti di jaksa, misalnya gak cukup bukti, atau dipulangkan dan sebagainya. Dan itu menjadi keprihatinan kita,” katanya.
Sedangkan data kasus berdasar hubungan pelaku dengan korban adalah sebagai berikut: keluarga 31 persen, hubungan kerja 31 persen, komunitas 16 persen, dan orang tidak dikenal 39 persen.
Tantangan dan hambatan
Romo Paschal dan timnya kerap mengalami tantangan dalam menangani kasus kekerasan termasuk TPPO baik berupa eksternal maupun internal. Tantangan eksternal adalah sebagai berikut: kurangnya bukti, APH belum punya perspektif terhadap Undang-undang, APH belum memiliki perspektif terhadap korban, APH belum sensitif gender, lambannya proses hukum, dan visum yang terbatas kuota.
Sedangkan tantangan internalnya sebagai berikut: pihak keluarga yang tidak mendukung korban, intervensi keluarga pelaku untuk berdamai dengan korban, pelaku adalah anggota keluarga, pelaku berada di luar negeri, dan korban yang tidak ingin kasusnya dibongkar.
“Lambatnya proses hukum kalau nggak viral. Atau kalau nggak, misalnya, kita ngotot ya kasusnya juga dibiarkan begitu saja. Dan juga dukungan-dukungan dari masyarakat juga yang kita rasakan juga masih kurang, dan ini menjadi tantangan dan menjadi pekerjaan rumah kita yang cukup panjang,” ujar Romo Paschal.
Terkait dengan itu, Romo Paschal mengusulkan perlunya ada pelatihan bagi APH baik kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman. Kedua, perlu adanya capacity building untuk APH penegak hukum sehingga bisa menyelesaikan kasus dengan perspektif korban. Ketiga, adanya keterlibatan pemerintah untuk melakukan konseling keluarga. Keempat, pemaksimalan implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Dan kelima, penambahan kuota visum untuk korban kekerasan.
Menurut Romo Paschal, pemerintah masih lemah dan belum mempunyai roadmap yang jelas mengenai pemberantasan kekerasan dan TPPO.
“Saya itu, apa ya, kadang-kadang bingung juga, terus ini mau ngomong apa ya. Korban setiap hari datang dan selalu ada saja modusnya, makin tambah baru, ditambah lagi dengan kemajuan teknologi, sekarang didukung lagi dengan kemajuan media sosial dan sebagainya,” katanya.
Untuk itu, Romo Paschal menekankan pentingnya jejaring antar para aktivis pembela korban kekerasan dan TPPO. “Tapi saya yakin memang sekali lagi ini nggak bisa kita kerjakan sendiri-sendiri. Memang kita harus terus menerus tidak pernah lelah berjejaring karena rantainya ini terlalu panjang dan tentu di belakangnya ada uang yang cukup besar yang juga melatarbelakangi orang untuk baik mau bekerja, maupun mau melakukan kejahatan ini,” katanya.
Romo Paschal prihatin dengan pemerintah yang belum optimal dalam menangani TPPO. “Sampai sekarang ya, kalau tidak Teman-teman, Suster, siapapun, yang berani bicara, ya kasus itu dibiarkan begitu saja,” ungkapnya. Selain itu, ada sebagian orang yang melihat aksi itu sebagai hal yang biasa saja. “Kita dianggap orang gila itungannya, ngapain sih, Romo, Suster gini, ngapain, untuk apa, kan udah biasa orang pergi keluar-masuk Malaysia, dan sebagainya. Itu kerumitan-kerumitan yang kami temukan di lapangan,” ungkap Romo Paschal.
Untuk penanganan di Batam yang diampunya bersama timnya, Romo Paschal mengatakan, kalau dalam 3-4 tahun terakhir tidak begitu gampang memulangkan korban yang ditanganinya. Menurutnya, memulangkan korban tidak menyelesaikan masalah. Namun, Romo Paschal dan timnya membuat program pemberdayaan supaya mereka tidak jatuh menjadi korban perdagangan orang. “Kalau dia mau kerja kita bantu dengan segala keterbatasan kami agar dia bisa bekerja dengan cara yang baik dan benar, dan dia terlindungi dari segala macam ancaman kekerasan. Hanya itu yang bisa kami buat. Ya tidak banyak yang bisa kita buat. Tapi ya satu orang pun berharga tentunya. Dan itu cukup berhasil ya saya kira dalam 3 tahun terakhir ini. Kita tidak lagi merasa kesulitan untuk memonitoring di mana korban-korban yang telah kita tolong dan bagaimana situasi mereka itu jauh lebih baik daripada memulangkan dengan begitu semangatnya padahal dua hari kemudian mereka berangkat lagi, dan menjadi korban yang sama,” katanya.
Terkait dengan upaya penghapusan TPPO, Talitakhum juga Menggelar Doa Bersama Lintas Iman di Plaza Maria, Gereja Katedral Jakarta, 8 Februari 2024. Hari itu adalah Hari Doa Internasional dan Kesadaran Melawan Perdagangan Manusia.
Keprihatinan Paus Fransiskus
Bapa Suci Paus Fransiskus mengeluarkan Pesan dalam rangka Hari Doa Sedunia dan Kesadaran Melawan Perdagangan Manusia Ke-sepuluh, pada peringatan Santa Josephine Bakhita, pelindung korban perbudakan modern dan perdagangan manusia, berjudul “Perjalanan Bermartabat: Mendengarkan, Bermimpi, Bertindak”, 8 Februari 2024.
Pada awal pesannya, Paus Fransiskus menyapa siapapun yang memerangi perdagangan manusia. “Saudari dan saudara terkasih! Hari ini, dalam peringatan liturgi Santa Josephine Bakhita, kita merayakan Hari Doa Sedunia dan Kesadaran Melawan Perdagangan Manusia yang ke-sepuluh. Saya mengasosiasikan diri saya dengan sepenuh hati dengan Anda semua di seluruh dunia, terutama kaum muda, yang berupaya memerangi momok global ini,” sapanya.
Ia pun mengajak siapapun untuk mengikuti Santa Bakhita yang pernah menjadi korban perbudakan dan perdangan manusia, namun mengalami kebangkitan semangat. “Mari kita bersama-sama mengikuti jejak Santa Bakhita, Suster religius dari Sudan, yang ketika masih anak-anak dijual sebagai budak dan menjadi korban perdagangan manusia. Mari kita mengingat kesalahan yang dia alami, penderitaannya namun pada saat yang sama kekuatannya dan perjalanan pembebasannya dan kelahiran kembali menuju kehidupan baru. Santa Bakhita mendorong kita untuk membuka mata dan telinga untuk melihat mereka yang tidak terlihat dan mendengar mereka yang tidak memiliki suara, untuk mengakui martabat setiap orang dan untuk melawan perdagangan manusia dan segala bentuk eksploitasi,” ajak Paus.
Menurutnya, perdagangan manusia, faktanya, seringkali tidak terlihat. “Media, berkat para wartawan yang berani, telah mengungkap bentuk-bentuk perbudakan modern, namun budaya ketidakpedulian cenderung membuat kita tidak peka. Mari kita saling membantu agar lebih tanggap, membuka hidup dan hati kita terhadap saudari dan saudara kita yang saat ini masih diperjualbelikan sebagai budak. Tidak ada kata terlambat untuk mengambil tindakan,” ajaknya lagi.
Paus Fransiskus bersyukur bahwa anak muda mulai terlibat dalam melawan perdagangan manusia. “Syukurlah, banyak anak muda yang telah menerima tantangan Hari Anti Perdagangan Manusia Sedunia ini. Antusiasme dan komitmen mereka menunjukkan jalannya kepada kita: mereka mengingatkan kita bahwa kita dipanggil untuk mendengarkan, bermimpi dan bertindak untuk melawan perdagangan manusia,” tulisnya.
Paus menegaskan pentingnya mendengarkan mereka yang menjadi korban. Ia pun menyebut para korban perang dan konflik, korban dampak perubahan iklim, korban akibat migrasi terpaksa, dan perempuan dan anak-anak korban eksploitasi seksual dan korban eksploitasi di tempat kerja. “Pertama, penting untuk mendengarkan mereka yang menderita. Saya memikirkan para korban perang dan konflik, mereka yang terkena dampak perubahan iklim, mereka yang terpaksa bermigrasi, dan mereka, terutama perempuan dan anak-anak, yang dieksploitasi secara seksual atau di tempat kerja. Semoga kita mendengarkan seruan minta tolong mereka dan merasa tertantang dengan cerita yang mereka katakan,” tulisnya dalam pesannya.
Paus juga menegaskan perlunya bermimpi bersama para korban akan kehidupan yang bebas dan bermartabat. “Bersama para korban dan kaum muda, marilah kita sekali lagi memimpikan sebuah dunia di mana semua orang dapat hidup dengan kebebasan dan bermartabat,” katanya.
Tak cukup mendengarkan dan bermimpi, Paus mengajak semua pihak untuk bertindak nyata memerangi perdagangan manusia dengan berbagai cara dan dengan berbagai kapasitasnya. “Maka, Saudari dan saudara sekalian, dengan kuasa Roh Yesus Kristus, marilah kita mewujudkan impian ini dengan mengambil tindakan nyata untuk memerangi perdagangan manusia. Mari kita berdoa dengan sungguh-sungguh dan bekerja secara proaktif untuk tujuan ini, membela martabat manusia, baik melalui doa dan tindakan sebagai individu dan keluarga, atau sebagai komunitas paroki dan religius, sebagai perkumpulan dan gerakan gerejawi, dan juga di berbagai bidang kehidupan sosial dan politik,” ajaknya.
Untuk melawan perdagangan manusia, Paus menekankan perlunya mencari akar permasalahan dan menghilangkan penyebabnya. “Kita tahu bahwa perjuangan melawan perdagangan manusia dapat dimenangkan, namun kita perlu mencari akar masalahnya dan menghilangkan penyebabnya. Oleh karena itu, saya mendorong Anda untuk menanggapi seruan transformasi ini, untuk mengenang Santa Josephine Bakhita, yang membela semua laki-laki dan perempuan yang, meskipun diperbudak, masih dapat memperoleh kebebasan. Ini merupakan seruan untuk mengambil tindakan, untuk memobilisasi seluruh sumber daya kita dalam memerangi perdagangan manusia dan mengembalikan martabat penuh mereka yang telah menjadi korbannya,” ajaknya.
Bahkan Paus menegaskan, “Jika kita menutup mata dan telinga, jika kita tidak berbuat apa-apa, kita akan bersalah karena ikut terlibat.”
Paus pun menyampaikan apresiasi dan ungkapan terima kasih atas semua orang yang terlibat dalam perayaan tersebut. “Dari lubuk hati saya, saya mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang terlibat dalam perayaan hari ini, dan saya memberkati semua orang yang berkomitmen untuk memerangi perdagangan manusia dan segala bentuk eksploitasi guna membangun dunia persaudaraan dan perdamaian,” ungkap Paus Fransiskus.