Novena Keutuhan Ciptaan Kevikepan Yogyakarta Barat: Gerak Sinodal Merawat Sungai Sumber Kehidupan

Ensiklik Laudato Si’ tentang Merawat Rumah Kita Bersama yang dikeluarkan oleh Paus Fransiskus pada tahun 2015, bagi Ketua Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) Kevikepan Yogyakarta Barat, Romo Adolfus Suratmo, Pr telah menginspirasi banyak orang. Meski belum sangat masif, tetapi mulai ada upaya-upaya konkret untuk merawat bumi. Pada kesempatan ini, Romo Suratmo akan berbagi mengenai gerak Kevikepan Yogyakarta Barat dalam mengejawantahkan ensiklik Laudato Si’ dalam praksis pastoral tahun 2022 lalu.

“Kehadiran ensiklik Laudato Si’ itu jujur sudah menginspirasi banyak orang. Ada gerakan-gerakan yang secara khusus itu membangun gerakan untuk peduli lingkungan, untuk membuat gerakan-gerakan penyadaran maupun gerakan-gerakan penyelamatan bumi. Meskipun tidak sangat masif, tetapi ada upaya-upaya konkret itu dan kelompok-kelompok Laudato Si’ juga dibuat dan digerakkan. Ada aktivisnya. Dan itu cukup menginspirasi banyak orang. Kesadaran akan bahaya yang mengancam bumi dan kehidupan manusia itu menjadi salah satu sorotan dalam Laudato Si’ yang diamini oleh beberapa orang dan kemudian itu mendorong mereka untuk menekuni gerakan ini dan meyakini bahwa gerakan ini harus dibuat untuk menyelamatkan kehidupan,” kata Romo Suratmo dalam sebuah webinar yang dihelat oleh Komisi KPKC Kevikepan Semarang beberapa waktu lalu.

Menurutnya, keprihatinan dan harapan mewarnai ensiklik tersebut. “Harapannya bahwa manusia itu kan dikaruniai kemampuan ya untuk bisa berpikir, untuk menggunakan akal budinya, dan untuk melihat ada keprihatinan yang harus ditanggapi sedemikian rupa dan itu melahirkan harapan meskipun ada saat berkeprihatinan terhadap realita dunia yang terjadi dan ancaman serius terhadap kehidupan dan itu memang nyata disadari betul. Dan ketika itu semakin direfleksikan rasanya semakin kelihatan benar bahwa di satu sisi ada keprihatinan mendalam terhadap arah gerak bumi ini ketika salah urus dan salah kelola akan membahayakan kehidupan. Tetapi ketika dikelola dengan baik dan dibangun dengan sadar dan kemudian dipelihara, dirawat, maka akan melahirkan berkat yang semakin banyak,” ungkap Romo yang lahir di Wonogiri, 17 Juni 1969 itu.

Kevikepan Yogyakarta Barat yang baru dimekarkan dari Kevikepan Yogyakarta menjadi 2 kevikepan yakni Kevikepan Yogyakarta Timur dan Kevikepan Yogyakarta Barat sejak 7 Oktober 2020 lalu, melalui Komisi KPKC yang diampunya pun berusaha untuk mengembangkan semangat Ensiklik Laudato Si’ itu supaya menjadi gerakan yang membangun harapan. Salah satu ide yang muncul adalah menyelenggarakan Novena Keutuhan Ciptaan di 9 tempat ziarah di wilayah Kevikepan Yogyakarta Barat.

Romo Suratmo membeberkan proses munculnya gagasan Novena Keutuhan Ciptaan tersebut. “Waktu itu, Romo Vikep (Romo A.R. Yudono Suwondo, Pr, Red.) dalam kesempatan rapat di Kevikepan menyampaikan gagasan pemikiran bagaimana menggerakkan umat di Kevikepan Yogyakarta Barat itu supaya sejalan dengan gerak membangun keutuhan ciptaan dan gerak sinodal yang waktu itu, awal tahun 2022 itu kan sedang digagas, dipikirkan dan disosialisasikan,” tutur Romo yang juga merangkap sebagai Ketua Komisi KPKC Keuskupan Agung Semarang itu.

Dua hal itu, oleh Vikep Yogyakarta Barat, diharapkan bisa disinergikan dalam bentuk kegiatan. Seiring berjalannya waktu muncullah gagasan Novena Keutuhan Ciptaan meskipun hanya diikuti sedikit orang. “Yang penting Romo Vikep itu mau menyapa, mau membuat juga kegiatan-kegiatan di beberapa tempat ziarah yang ada di Kevikepan Yogyakarta Barat, sekaligus untuk mensosialisasikan keberadaan tempat-tempat ziarah itu,” kata Romo Suratmo yang saat ini melayani di Paroki Klepu. Menurutnya, di Kevikepan Yogyakarta Barat cukup banyak tempat ziarah umat Katolik, baik yang sudah mendapatkan status kanonis dari Uskup maupun yang belum. Selanjutnya, semua itu dibahas dalam Dewan Harian Kevikepan Yogyakarta Barat.

Seperti yang diungkapkan Vikep, dalam pembahasan itu ada dua titik penting yang menjadi sasaran yaitu perhatian pada alam ciptaan dan sinode Keuskupan. Terkait alam ciptaan, dalam prosesnya, akhirnya isu sungai dipilih sebagai bahan yang akan direfleksikan dalam novena. “Yogyakarta ini kan ada begitu banyak aliran sungai. Dan ada yang besar, ada yang kecil. Lalu dari situ saya mengembangkan gagasan saya bahwa sungai tidak semua dimaknai positif dalam pengertian ada yang mencoba untuk mengeksploitasi dengan mengambil hasil bumi dari sungai itu sedemikian rupa,” kata Romo Suratmo.

Romo Suratmo mendapat informasi bahwa sekitar 21 perusahaan sudah mengantongi izin untuk mengelola sungai-sungai di sekitar Yogyakarta. “Izin itu adalah untuk bisa menggali hasil bumi baik pasir maupun batu secara masif. Dan itu berarti akan menjadi potensi konflik mengingat pasti perusahaan itu tidak akan menambang secara manual, tetapi sudah pasti akan menambangnya dengan alat-alat berat dan itu berarti potensi konflik sudah ada di depan mata,” imbuhnya.

Dari pembicaraan itu akhirnya 9 tempat ziarah pun dipilih sebagai tempat Novena Keutuhan Ciptaan. Tempat-tempat tersebut berdekatan dengan sungai.

Pemikiran awal

Tahun 2022, Kevikepan Yogyakarta Barat relatif masih menjadi kevikepan baru. “Maka sadar untuk dengan sengaja membangun dan menumbuhkan gerak pastoral bagi umat di Kevikepan Yogyakarta Barat itu selaras dengan gerak pastoral Keuskupan. Semangat yang dibangun gemati, open dan ngopeni adalah semangat yang dipilih oleh Romo Vikep sendiri untuk membingkai seluruh gerak pastoral di Kevikepan Yogyakarta Barat. Dan gema itu terus digaungkan sedemikian rupa. Nah, salah satu langkah adalah dengan membingkai gerak dalam sebuah kegiatan Novena di 9 tempat ziarah yang ada di Kevikepan Yogyakarta Barat,” katanya.

Menurutnya, ada tiga kegiatan terintegrasi dalam novena tersebut yakni ketekese keutuhan ciptaan, perayaan ekaristi dan aksi atau bakti sosial-kemasyarakatan yang diserahkan kepada masing-masing tempat ziarah atau paroki.

“Pemikiran awal ini kemudian dirumuskan sedemikian rupa dalam sebuah alur kegiatan yang diharapkan menjadi semacam perwujudan dari gerak bersama sinodal. Maka tema-tema yang dipilih pun, tema-tema yang sejalan dengan tema Sinode Keuskupan. Jadi kalau nanti kelihatan sedikit agak aneh atau dipaksakan ya itulah yang terjadi, karena memang mau mencoba mensinergikan dua kegiatan yang sebenarnya berbeda itu dalam satu kesempatan. Dan itu memang disadari tidak mudah, tetapi puji Tuhan dengan sedikit agak memaksakan ide lalu bisa terselenggara,” tutur Romo Suratmo.

Melalui novena tersebut, lanjut Romo Suratmo, umat diajak kembali untuk bersemangat terlibat dalam perayaan ekaristi dan devosi-devosi yang menjadi kekuatan iman secara khusus bagi umat di Kevikepan Yogyakarta Barat. “Kegiatan novena,  ziarah itu menjadi kegiatan-kegiatan yang populer di antara umat di Kevikepan Yogyakarta Barat ini. Daripada pendalaman Kitab Suci itu, kegiatan-kegiatan novena dan juga kegiatan-kegiatan ziarah itu lebih menarik rupanya. Novena menjadi ajakan untuk semakin terlibat dalam upaya menjaga keutuhan ciptaan melalui gerakan-gerakan cinta lingkungan dan aneka kegiatan yang lain,” ungkapnya.

Tujuan Novena

Novena Keutuhan Ciptaan yang dipersiapkan sedemikian rupa ini, menurut Romo Suratmo bertujuan untuk, pertama, memberi ruang perjumpaan umat yang sebelumnya selama pandemi semua bentuk ibadah hanya dilakukan secara online, tidak bisa bertatap muka secara langsung. “Romo Vikep mengundang siapapun untuk bisa menyelenggarakan lagi pertemuan dan dimulai di tempat-tempat ziarah yang notabene adalah tempat-tempat yang terbuka untuk umum sekaligus juga untuk mengundang umat  supaya kembali menekuni devosi-devosi yang menjadi salah satu kekuatan iman bagi umat di Kevikepan Yogyakarta Barat,” katanya.

Kedua, menumbuhkan kesadaran umat untuk mencintai alam dan terlibat dalam upaya pelestarian keutuhan ciptaan melalui katekese. “Jadi, katekese mendahului perayaan ekaristi dan aksinya,” imbuh Romo Suratmo.

Ketiga, mengikuti gerak berjalan bersama Sinode Keuskupan.

Keempat, memperkenalkan khazanah tempat ziarah kepada umat.

Kelima, membingkai gerakan penguatan kekatolikan, kebangsaan, kerasulan sinergitas, dan profesionalitas. “Mengapa ini juga ikut dalam pertimbangan? Dan ternyata juga justru menemukan bentuknya ketika kita bisa berkomunikasi, berelasi dengan, terutama saya sebut, pemerintah dan juga instansi-instansi seperti kepolisian dan tentara. Kita bisa untuk setiap kali persiapan maupun penyelenggaraan atau pelaksanaannya selalu ada dalam koordinasi dengan pihak-pihak itu,” ungkapnya.

Misa Novena Keutuhan Ciptaan

Panorama sungai di Yogyakarta

Menurut Romo Suratmo, wilayah Kevikepan Yogyakarta Barat dilalui oleh satu sungai besar yaitu Sungai Progo yang membelah antara Kabupaten Kulon Progo dengan Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul. Tiga kabupaten itu masuk dalam reksa pastoral Kevikepan Yogyakarta Barat. Di dalamnya juga terdapat anak-anak sungai dan sungai-sungai kecil.

Sungai- sungai yang melewati Kevikepan Yogyakarta Barat dengan berbagai alur dan karakteristiknya masing-masing, lanjutnya, perlu mendapatkan perhatian semakin banyak orang. Maka, menurutnya, setelah novena perlu ada tindakan lanjutan.  “Pemikirannya berkembang tidak hanya untuk menyelenggarakan novena, tetapi juga membangun relasi dengan para pemangku kebijakan. Maka kemudian dalam waktu-waktu berikutnya lalu ada komunikasi dengan pemerintah, dengan kabupaten, Kesbangpol, dan kapanewon, kelurahan dan macam-macam yang lain,” lanjutnya menandaskan betapa pentingnya kerja sama.

Sungai menjadi bentang alam yang mengalirkan air dari hulu ke hilir dan membagi kehidupan bagi masyarakat di sekitarnya. Bantaran sungai menjadi

tempat-tempat yang sangat strategis. Maka, ada yang mencoba mamanfaatkan potensi sungai untuk aktivitas ekonomi. “Ada fenomena yang menarik di Kabupaten Kulon Progo ini, sudah mulai ada yang memanfaatkan tepi sungai itu untuk cafe, untuk tempat-tempat usaha. Jadi kalau dikatakan bahwa usaha di sekitar sungai itu

eksplisit jahat ya nggak selalu begitu, karena faktanya ada juga yang memanfaatkan secara positif. Ada yang membangun tempat-tempat wisata di sekitar itu kemudian rumah makan, arung jeram, off road dan sebagainya,” katanya.

Maka, kepedulian terhadap sungai yang diangkat melalui Novena Keutuhan Ciptaan di Kevikepan Yogyakarta Barat sangat relevan dengan fakta dan tuntutan untuk memelihara sungai sedemikian rupa. Terlebih adanya temuan bahwa kearifan lokal masyarakat dalam memelihara sungai mulai ditinggalkan karena sungai yang sekarang ini sudah tidak jernih, tidak menarik untuk dilihat lagi.

“Yang menjadi salah satu pertimbangan kami untuk memilih sungai menjadi salah satu olahan dan gema dari Novena ini karena realitanya ada pemanfaatan sungai yang mulai melulu memakai pertimbangan ekonomis, sehingga tidak terlalu peka terhadap dampak lingkungan yang dihasilkan. Dieksploitasi sedemikian rupa, ditambang pasirnya secara besar-besaran dan ditinggalkan dalam posisi yang memprihatinkan. Meskipun itu ditambang secara tradisional toh kalau tidak diperhatikan kelestariannya juga akan menimbulkan persoalan.  Penambangan pasir yang secara membabi buta dan tidak mempedulikan keselamatan sungai atau masa depan sungai meninggalkan ceruk yang dalam dan abrasi,” tandas Romo Suratmo.

Keadaan sungai makin memprihatinkan ketika budaya membuang sampah ke sungai menjadi kebiasaan turun temurun. “Di sana-sini tumpukan sampah  plastik dan sampah rumah tangga tak terhindarkan,” katanya.

Romo Suratmo menegaskan, gerakan pelestarian sungai yang dipikirkan dan digagas bukan hanya demi kelangsungan hidup manusia tetapi juga keberlangsungan hidup seluruh ciptaan yang ada di dalamnya. “Ini yang kemudian menjadi salah satu isian atau fokus perhatian dari gerakan novena pelestarian lingkungan hidup atau Novena Keutuhan Ciptaan yang bersemangatkan Laudato Si’ dan dalam konteks sinode Keuskupan Agung Semarang yang digagas oleh Kevikepan Yogyakarta Barat,” katanya.

Menurut Romo Suratmo, perjuangan untuk melestarikan sungai dirasa tidak berlebihan kalau menyatakan sejalan dengan gerak universal Gereja untuk mencintai alam khas Laudato Si’. “Bapa Suci Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ juga mengungkapkan bahwa kerusakan lingkungan hidup berhubungan erat dengan degradasi kemanusiaan. Kalau alam lingkungan rusak, maka manusianya juga pasti akan terimbas, menjadi tidak sehat, umurnya lebih pendek dan seterusnya. Ketika manusia tidak dapat mengendalikan diri juga tidak dapat menjaga alam sekitar. Maka manusia dan alam ada dalam relasi kesalingterhubungan yang erat. Pembaharuan hubungan dengan alam tidak dapat terlaksana jika tidak ada pembaharuan kemanusiaan. Maka sangat penting membina pemahaman akan kecintaan kita pada alam lingkungan,” tandasnya.

“Nggemateni” Persekutuan, “Ngopeni” Partisipasi dan Misi

“Nggemateni” (Menyayangi) Persekutuan, “Ngopeni” (Menghidupi) Partisipasi dan Misi menjadi tema Novena Keutuhan Ciptaan. “Jadi kembali kepada semangat gemati, open dan ngopeni ini yang terus digaungkan oleh Romo Vikep sebagai salah satu spirit yang dibangun di Kevikepan Yogyakarta Barat,” kata Romo Suratmo. Tema itu kemudian diturunkan menjadi 9 tema yang akan direfleksikan dalam novena yang dilakukan 9 kali di 9 tempat ziarah. Sembilan tema khusus beserta dengan tempat dan waktu kegiatan novenanya adalah sebagai berikut:

Pertama, “Teman Seperjalanan dalam Merawat Sungai” di Candi Hati Kudus Ganjuran, 27 Maret 2022. “Saya sendiri diminta untuk mengawali dengan katekese di tempat ini. Dan saya menyampaikan beberapa gagasan antara lain tanggung jawab moral dan sekaligus juga sosial dari masyarakat di sekitar itu mengingat mereka adalah masyarakat yang memangku muara sungai supaya mereka juga cermat, jeli, teliti dalam menyikapi gerak sungai pada umumnya,” jelas Romo Suratmo.

Kedua, “Mendengarkan Kecemasan dan Membicarakan Harapan dari Pinggir Sungai”, di Patung Kerahiman Ilahi, Bantul, 1 Mei 2022. “Waktu itu berkenan untuk menjadi pembicara adalah tokoh masyarakat setempat yang langsung bergesekan dengan pemangku atau pengusaha di sekitar itu dan kita undang dan berkenan dan kemudian dia menyampaikan beberapa gagasan pemikiran yang membantu kami juga untuk mencermati,” kata Romo Suratmo.

Ketiga, “Merayakan Anugerah Sungai” di Sendang Jatiningsih Klepu, 29 Mei 2022.

Keempat, “Bertanggungjawab dalam Misi Merawat Sungai” di Gua Maria Lawangsih Pelem Dukuh, 26 Juni 2022. “Pas sekali menurut saya dan konteksnya tepat sekali karena mereka ada di daerah pegunungan, maka tanggung jawab untuk merawat sungai itu serius supaya disadari betul. Karena kalau mereka itu war wer, buang sampah di sungai maka yang ada di bawah ini yang akan memanen masalah,” tutur Romo.

Kelima, “Dialog dalam Gereja dan Masyarakat Pinggir Sungai” di Makam Prenthaler, Boro, 24 Juli 2022. “Di makam (Romo) Prenthaler  ini kita menyelenggarakan dalam bentuk  obrolan santai bersama para aktivis sungai yang waktu itu dikomandani oleh umat setempat. Dan kebetulan ada kelompok aktivis sungai yang ada di sekitar itu sehingga pembicaraannya juga lebih hidup dan lebih konkret. Dan di tempat ini juga berkenan hadir pejabat Bupati Kulon Progo dan memberikan sambutan yang intinya mendukung upaya baik dari Gereja

untuk mengadakan atau menyelenggarakan penyadaran terhadap warga masyarakat pentingnya merawat sungai,” terang Romo Suratmo.

Keenam, “Bersama Gereja-gereja Lainnya Merawat dan Menjaga Sungai” di Somohitan, 28 Agustus 2022. Di Somohitan, selain perayaan ekaristi, katekese merawat sungai, acara juga diisi dengan penanaman pohon dan bersih kali.

Ketujuh, “Kewenangan Negara dan Partisipasi Gereja dalam Merawat Sungai” di Sumur Kitiran Mas, Pakem, 25 September 2022.

Kedelapan, “Memahami dan Memutuskan untuk Mencintai Sungai” di Selintang Kokap, 7 Oktober 2022. Novena kali ini bertepatan dengan peringatan ulang tahun Kevikepan Yogyakarta Barat yang kedua.

Kesembilan, “Membina Kaum Muda untuk Peduli dan Melestarikan Keutuhan Ciptaan” di Gua Maria Lourdes, Sendangsono, 16 Desember 2022.

Sinergi

Novena Keutuhan Ciptaan dilakukan dengan menjunjung semangat sinodal dan sinergi yang melibatkan 9 paroki penyelenggara dan paroki-paroki peserta di sekitarnya. Sinergi juga terjadi antarkomisi yaitu Komisi KPKC, Komisi PSE, Komsos, Komisi Liturgi, Komisi Kateketik, pemerintah (bupati, wakil bupati, Kesbangpol, penewu, lurah), kepolisian dan militer.

Kearifan lokal

Dari semarak novena tersebut, Romo Suratmo juga menemukan kearifan lokal yang didapatkan dalam falsafah masyarakat Jawa yaitu mangku kali. “Itu artinya menghadap ke sungai. Intinya sungai bukan entitas yang jorok, kotor, berbau yang harus disingkiri atau di-ungkuri. Tetapi sungai ini harus dihadapi, dipangku, dimuliakan. Maka orang Jawa membangun rumah itu kalau di sekitar sungai, maka akan menghadap ke sungai. Nah, ini adalah cara untuk memuliakan sungai. Maka, akan terpelihara kebersihannya, akan terpelihara manfaatnya dan dimanfaatkan sedemikian rupa. Yang pasti dirawat, dimanfaatkan hasilnya, dijaga kebersihannya dan seterusnya,” ungkap Romo Suratmo.

Romo Suratmo pun memberi simpulan, Laudato Si’ makin terasa kalau tidak hanya direfleksikan atau menjadi bahan seminar, tetapi sekecil apapun tindakan konkret untuk merawat dan memelihara bumi adalah investasi masa depan.

 

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *