Oleh BAPAK JULIUS KARDINAL DARMAATMADJA, SJ
Berkatekese adalah panggilan dan identitas Gereja
Ketika Allah Bapa dan Putera mengutus Roh Kudus untuk mendirikan Gereja Yesus atas dasar para Rasul (dan Maria Ibu Yesus), maka pada hari Pentakosta (bdk.Kis 2:1-4) datanglah Roh Kudus menaungi para rasul dan Bunda Maria yang telah lama berdoa menantikan kedatangan-Nya sesuai pesan Yesus sebelum naik ke Surga. (Bdk Kis 1:4-14). Inilah peristiwa lahir dan berdirimya Gereja. Kedatangan Roh Kudus membuat para Rasul menjadi orang-orang baru: Yesus dan Roh Kudus hidup dalam diri mereka. Apa yang diajarkan Yesus mereka tangkap secara tepat, penuh dan diperbarui. Mereka menangkap pesan Yesus sebelum naik ke surga: yaitu bahwa mereka diutus pergi ke seluruh dunia menjadi Pewarta Kabar Baik mengenai Tuhan Yesus sebagai Juru Selamat. Yang percaya kepada Yesus, sesuai ajaran para Rasul, supaya dibaptis, dan dengan demikian diselamatkan. Injil Matius mencatat sabda Yesus: “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Mat 28:18-20). Bersamaan dengan berdirinya Gereja, para Rasul dijadikan utusan, dengan tugas menjadikan semua bangsa murid Yesus dan diteguhkan dengan baptis dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Mereka harus mengajarkan (berkatekese) apa yang sudah disampaikan Yesus kepada mereka, dan menghidupinya dalam hidup sehari-hari. Para Rasul yang sebelumnya mengunci rumah tempat mereka berdoa, menjadi pewarta tanpa takut. Keluarlah mereka menuju kerumunan orang banyak dan mulai melaksanakan tugas berkatekese. Yaitu mewartakan bahwa Yesus yang telah mereka salibkan itu telah bangkit sebagai Juru Selamat, yang telah menebus dosa manusia.
Mukjizat Pentakosta luar biasa, karena kuasa Yesus dan Roh Kudus menyertai mereka. Yang menjadi baru tidak hanya para Rasul. Mereka yang mendengarkan ajaran para Rasul, terbuka hatinya. Mereka percaya dan memberikan diri mereka dibaptis (bdk. Kis 3:37-40). Mereka pun menjadi baru. Hidup dalam persaudaraan, bertekun dalam ajaran para Rasul, berdoa dan merayakan Ekaristi bersama. Serta dalam hidup saling berbagi. Apa yang mereka miliki lebih, diberikan kepada yang membutuhkannya. (bdk. Kis Ras 2:41-47). Inilah Gereja, yang terdiri dari para Rasul, murid-murid dan pengikut Yesus, yang menjadi percaya oleh pewartaan para Rasul. Gereja ini sering disebut Gereja Purba. Gereja Purba ini sejak awal sudah membawa dalam dirinya tugas mewartakan Kabar Gembira atau mewartakan Injil. Berdirinya Gereja hanya untuk itu. Itu panggilannya dan sekaligus jati dirinya. Paus Santo Yohanes Paulus II merumuskan demikian: “Mewartakan Injil adalah rahmat dan panggilan khas Gereja, merupakan identitasnya yang terdalam” (EN 14). Pantaslah bahwa Gereja setempat atau keuskupan selalu berusaha melaksanakan sebaik-baiknya tugas berkatekese itu. Dan secara teratur dari waktu ke waktu menilai kembali dan merencanakan pembaruan-pembaruannya. Merencanakan pembaruan kiranya akan berangkat dari realita Gereja setempat, yang sangat berbeda satu dengan yang lain. Maka yang dapat disumbangkan dalam tulisan ini hanyalah salah satu kemungkinan bentuk arah pembaruan.
Gambaran Gereja kita dalam tugas berkatekese
Bentuk arah pembaruan adalah: melihat pembinaan iman apa saja yang telah ada di Keuskupan: kemudian dijajarkan dalam jenjang umur sejak dini sampai lanjut usia. Hasilnya akan kelihatan. Dari situ dapat dipikirkan perlu berbuat apa.
- Sebelumnya ada catatan penting.
Pertama, yang selalu harus diingat ialah bahwa ada realitas Gereja yang tak tampak, namun nyata. Bahkan kita yakini dalam iman sebagai kekuatan utama bagi katekese Gereja. Yaitu karya kuasa Yesus dan Roh Kudus yang ada dalam Gereja. Bahkan sebenarnya yang punya kerja itu Tuhan Yesus dan Roh Kudus. Gereja adalah kaki-tangan dan alat Tuhan. Yesus telah berjanji akan selalu menyertai Gereja-Nya. Yesus dan Roh Kuduslah yang berkarya secara utama, dalam hati nurani putra-putri Gereja yang telah dibaptis, agar mereka tumbuh sebagai orang beriman yang semakin sempurna. Kita adalah alat-alat penting di tangan Tuhan Yesus dan Roh Kudus. Kita alat-alat-Nya pun akan dibimbing dan dimampukan untuk mendampingi tumbuh dan berkembangnya iman mereka yang kita dampingi, seperti halnya dulu para rasul didampingi Yesus dan Roh Kudus.
Kedua, sudah ada petunjuk dari Santo Yohanes Paulus II bahwa hendaknya pendampingan atau pembinaan iman itu untuk semua umat Allah. Tidak hanya untuk para calon baptis saja. Surat Pastoralnya Catechesi Tradendae yang diterbitkan pada tanggal 16 Oktober 1979, memuat definisi apa arti katekese. “Katekese ialah pembinaan anak-anak, kaum muda dan orang-orang dewasa dalam iman, yang khususnya mencakup penyampaian ajaran Kristen, yang pada umumnya diberikan secara organis dan sistematis, dengan maksud menghantar para pendengar memasuki kepenuhan hidup Kristen (CT 18). Di sana sudah disebut siapa yang membutuhkan katekese. Ya semua saja, dari usia dini sampai lanjut usia. Kiranya dalam dokumen itu istilah anak-anak, mencakup anak balita, dan orang dewasa sudah mencakup para lanjut usia.
Ketiga, apa yang harus diajarkan, sudah ada sumbernya. Gereja telah menerima ajaran iman selengkapnya dari Yesus, melalui para murid-Nya, diwariskan kepada Gereja melalui Kitab Suci dan Tradisi dari abad ke abad. Untuk kita sekarang sudah ada ajaran iman yang disusun setelah Konsili Vatikan II, yaitu buku “Katekismus Gereja Katolik” (KGK) yang diterbitkan pada tahun 1992, oleh Paus Santo Yohanes Paulus II. Hanya saja sulit bagi kebanyakan umat Katolik. Syukurlah sekarang kita sudah punya “Youcat” (terbitan Kanisius Yogyakarta tahun 2012), buku Katekismus moderen dan populer, yang disusun bersama dengan anak muda, dan dibuat agar mudah ditangkap oleh orang muda juga. Berbentuk tanya jawab. Mereka yang sudah membacanya sangat senang. Semoga juga menjadi sumber Gereja berkatekese.
Keempat, yang sangat penting adalah adanya imam-imam, yang telah disiapkan untuk melayani sakramen dan sabda. Di sini kita memiliki tenaga untuk berkatekese, dibantu para katekis terdidik pula. Juga adanya biarawan-biarawati dengan segala lembaga yang mereka miliki. Lebih-lebih lembaga pendidikan dari PAUD, TK, SD, SMP, SMA/SMK sampai Universitas.
Kelima, ada keuskupan yang telah membagi paroki menjadi wilayah dan lingkungan. Lingkungan merupakan kumpulan keluarga-keluarga secara teritorial, yang setiap periode tertentu berkumpul untuk berdoa Rosario bersama, membuat acara pendalaman iman dan melaksanakan Aksi Puasa Pembangunan pada masa Prapaskah. Tetapi pesertanya lebih lengkap kalau acaranya berdoa Rosario. Tetapi kalau acaranya pendalaman iman, yang datang hanya sedikit. Ada yang telah membangun lingkungan semacam itu menjadi Umat Basis Katolik. Lingkungan semacam itu tempat (Jawa: wadhah) yang baik untuk berkatekese.
Khusus sebagai cara berkatekese, ada yang disebut Katekese Umat. (Bdk. Katekese, disadur dan dikumpulkan oleh AP. Budiyono HD, dikeluarkan oleh Pusat Pembinaan Katekis Vikep Ssurakarta, hal. 100-109). Katekese umat menekankan komunikasi iman atau penghayatan iman. Bukan pengetahuan iman. Sharing dari umat untuk umat. Pendamping melayani jalannya sharing, mengusulkan tema dan lain-lain, untuk menekankan sisi iman yang kontekstual terhadap hidupnya sehari-hari. Katekese Umat ada yang memakai metode Analisis Sosial, disingkat Ansos. Umpama di lingkungan kaum buruh di Tangerang. Ada Umat Basis Katolik yang memakai metode SWOT, singkatan dari Strengths (kekuatan), Weaknesses (kelemahan), Opportunities (peluang) dan Threats (ancaman). Dilakukan di Keuskupan Agung Pontianak tahun 1992. Ada yang memakai metode SOTARAE. (Situasi, Obyektif, Tema, Analisis, Rangkuman, Aksi, Evaluasi). Dilakukan di Paroki St. Yoseph Riangkemie, Keuskupan Larantuka. (Bdk. Model-model Katekese Umat dengan Metode Analisis Sosial, Komkat KWI , Penerbit Kanisius 1997).
- Di Indonesia, tugas sebagai Gereja berkatekese sudah lama dilibati dan sudah ada pengalaman yang bermacam-macam. Karena sebagai Gereja kita ingin mendampingi iman umat dari usia dini sampai usia lanjut, mari kita lihat sepintas keadaannya setiap jenjang umur. Apa sudah ada pembinaan iman atau katekese yang mencukupi?
(1). Sejak usia dini, berarti sejak balita. Di sini belum ada bentuk katekese yang sesungguhnya. Karena masih balita, maka yang bertugas membina iman anaknya adalah ibu dan ayah, atau kakak-kakaknya. Bukan katekis. Terutama ibu, yang selalu mendapat pertanyaan dari anaknya yang sedang tumbuh dan apapun ditanyakan kepadanya. Meski kelihatannya belum tahu apa-apa mengenai yang kita imani, kita perlu sadar bahwa dengan kecerdasan spiritual yang sudah ia miliki sejak lahir bersama dengan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional, dia sudah dapat merasakan dan menangkap suasana beriman dari keluarga yang kerap berdoa bersama dan dari suasana iman umat paroki yang merayakan Ekaristi di gereja. Oleh keluarga, lebih-lebih ibu, kita telah dididik untuk bersikap hormat saat berdoa. Kita telah diajari membuat tanda salib. Setelah tambah umur, setiap mau tidur diajari untuk menyapa Allah Bapa, dan mohon berkat untuk tidurnya. Demikian pula kalau pagi, diajari menyapa Allah untuk mohon berkat. Diajari berdoa sebelum dan sesudah makan. Kemudian ketika lebih besar, diajak pergi ke gereja. Diajari supaya duduk manis dan tidak bicara. Lebih-lebih saat konsekrasi. Ibu membisikkan: “Itu Tuhan Yesus yang menjadi roti. Kita sembah”. Semacam ini adalah pembinaan iman bagi putranya yang masih kecil. Keluargalah yang seharusnya membina iman putra-putrinya, yang nanti dapat diteruskan oleh para petugas bina iman dari paroki, dan kemudian dapat dilanjutkan dengan pelajaran agama di sekolah, di kelompok bina iman anak, dan lain-lainnya. Pembinaan iman terjadi sejak dini, disesuaikan dengan kemampuan nalar anak, dan nanti setelah Komuni Pertama dan makin dewasa, pemahaman mengenai isi iman semakin dilengkapkan. Beriman adalah cara hidup baru sejak dibaptis, dan akan berkembang terus menuju masa remaja, kemudian masa dewasa dan akhirnya masa lanjut usia. Masing-masing periode tadi memang memiliki tantangan khusus bagi perkembangan hidup beriman. Maka perlu ada katekese khusus untuk setiap jenjang umur.
Agar katekese sejak balita dapat terlaksana dengan baik, pihak Keuskupan perlu memastikan agar paroki membuatkan panduan sederhana untuk itu. Karena belum tentu seorang ibu tahu mengenai tugas membina iman anaknya yang masih balita ini. Maka baik juga kalau tugas ini disebutkan dalam kursus perkawinan yang diadakan oleh paroki.
(2). Saat mulai sadar adanya pilihan perbuatan yang baik dan tidak baik. Memang sudah ada kelompok bina imam. Tetapi belum semua anak ikut serta. Apalagi kebanyakan diisi dengan permainan dan nyanyian. Juga biasanya anak-anak sudah masuk sekolah SD atau SMP. Keuskupan perlu menjamin, kesinambungan dan tepatnya materi pembinaan baik dalam bina iman atau pelajaran agama di sekolah. Baik kalau keluarga mengikuti secara dekat perkembangan iman anaknya. Sangat tepat kalau Keuskupan memastikan bahwa anak mendapat keterangan sederhana mengenai hati nurani, yang menyuarakan apa yang baik, dan apa yang buruk yang tidak boleh dibuat. Tuntunan terus menerus dari orang tua dibutuhkan. Baik kalau nonton TV bersama, setelah itu dikomentari. Umpama mana perilaku sopan dan yang tidak sopan. Baik atau melanggar etika. Perbuatan jahat yang sudah menyangkut dosa, juga sebaiknya disampaikan. Persiapan menerima komuni pertama biasanya sudah ada pendampingnya. Perlu ditekuni. Perlu ditanamkan iman bahwa roti atau hosti yang diterima saat komuni adalah Tuhan Yesus sendiri. Di sini baik kalau dibina relasi kasih dengan Yesus secara pribadi. Juga disampaikan perlunya: sakramen pengampunan dosa. Pelajaran mengenai sakramen-sakramen ini, baik kalau diberikan.
(3). Saat mulai sadar mengenai peran seksualitas. Tidak hanya anak putri mendapat penjelasan tentang gejala datang bulan dalam rangka hidup perkawinan. Juga kepada anak laki-laki perlu diterangkan adanya kecenderungan seksual. Pentingnya memiliki keutamaan dapat menguasai dan mengendalikan diri terhadap nafsu-nafsu seksualnya. Nilai-nilai kemurnian hati dan badani hendaknya dijunjung tinggi. Maka dijelaskan tidak baiknya nonton situs-situs pornografi. Baik bahwa sejak saat itu pula mendapat penjelasan mengenai adanya beberapa panggilan hidup: yaitu membangun keluarga, menjadi imam atau biarawan-biarawati. Mereka diminta mengamati kecenderungan hati yang terdalam. Ada panggilan hidup ke mana. Mereka supaya berdoa mohon bimbingan Roh Kudus.
Di tengah umat sudah ada Choice untuk muda-mudi dewasa, sesemangat dengan Marriage Encounter. Tidak setiap paroki ada. Juga ada kegiatan Mudika Katolik atau OMK. Perlu ditegaskan perlunya ada katekese.
(4). Masa berkarya dan membangun keluarga. Bagaimana menghayati dan membangun keluarga menjadi Gereja Mini. Menghayati tugas pekerjaan di tempat berkarya dengan iman, menghayati peran sebagai terang atau garam di tengah masyarakat. Nilai terjun di bidang kesehatan, ekonomi, sosial, politik, keamanan. Itu semua dalam rangka mengasihi Allah dan melayani sesama, dalam rangka membangun bangsa dan negara. Bagaimana bentuk katekesenya dan bagaimana dibuat menjadi kegiatan katekese yang tetap dan terpelihara.
Dalam umat, telah tumbuh kelompok-kelompok kategorial, seperti Marriage Encounter (ME) dan Couples for Christ (CFC) untuk pasangan suami-isteri. Masih ada Kelompok Karismatik dan KTM serta PUKAT (untuk para Pengusaha), dan banyak kelompok lainnya. Bagaimana program katekesenya?
(5). Masa purna tugas, masa lanjut usia. Perlu ada katekese untuk memahami nilai dan menghayati hidup menjadi semakin tua. Semakin mundur dari macam-macam kesibukan, berarti semakin terbuka kesempatan semakin banyak memberi perhatian kepada Allah. Hidup dapat semakin ditata sesuai iman, rajin berdoa dan merayakan Ekaristi, menuju ke jalan semakin akrab dengan Tuhan Yesus. Baik kalau membaca Kitab Suci, yang mungkin sebelumnya jarang dibaca. Di beberapa paroki tumbuh paguyuban-paguyuban untuk para adiyuswa (usia lanjut) ini. Tetapi pembinaan iman atau katekesenya belum selalu ada.
Penutup
Dari uraian tadi, tampak cita-cita Gereja berkatekese, apalagi kalau katekese itu untuk semua jenjang umur dan berkelanjutan, dari usia dini sampai usia lanjut, masih banyak kekurangannya. Umpama, belum ada panduan untuk masa balita. Demikian pula untuk usia lanjut.
Untuk kaum muda dan untuk kelompok dewasa sudah ada bermacam-macam bentuk dan usaha yang dilakukan. Tetapi mengenai isi katekesenya apakah sudah cukup? Apakah sudah merata? Agaknya perlu ada peta yang jelas mengenai kegiatan yang menyangkut aspek katekesenya. Kemudian membangun agar menuju katekese yang berjenjang dan berkelanjutan dari usia dini sampai usia lanjut.
Yang sudah dapat diandaikan bahwa katekese sesuai Masa Liturgi Gereja, sudah berjalan baik. Tetapi mengenai ajaran Gereja-Nya, mungkin perlu dibicarakan apakan baik kalau pastor Paroki pada Minggu-Minggu tertentu menyampaikan katekese, untuk menggantikan homili atau khotbahnya. Semua ini terpulang kepada Keuskupan bagaimana akan menangani masalah ini, supaya jangan sampai terlalu banyak umat yang tidak mengetahui ajaran agamanya.
Sebagai catatan akhir, perlu ditekankan bahwa dalam berkatekese, tujuan akhirnya adalah, membangun dan mengembangkan relasi masing-masing pribadi umat dengan Tuhan Yesus, Bunda Maria dan Tritungggal Mahakudus semakin erat, dan karenanya hidup semakin taat pada ajaran Yesus, sehingga hidup mereka makin berkenan kepada Allah.