Berikut ini adalah homili Bapak Ignatius Kardinal Sunaryo dalam Misa Pembukaan Pesta Paduan Suara Gerejani (Pesparani) III, di Jakarta, 28 Oktober 2023.
Saudari- Saudaraku yang terkasih di dalam Kristus,
Kita mengawali Pesparani III ini dengan perayaan ekaristi. Tentu yang dimaksud ekaristi bukan sekedar salah satu acara dari rangkaian acara-acara yang akanmenyusul. Kita semua tahu ekaristi adalah syukur atas karya agung Tuhan.
Kalau kita mengawali Pesparani III ini dengan perayaan ekaristi, kita ingin mengungkapkan keyakinan iman kita bahwa Pesparani III ini adalah bagian dari karya Agung Tuhan, wujud dari karya agung Tuhan.
Selain itu, kita juga ingin mengungkapkan tekad kita bersama untuk menjadikan Pesparani ini menjadi wajah karya agung Tuhan pula. Saya yakin, keyakinan iman seperti ini akan mendorong kita semua melaksanakan Pesparani III ini dengan penuh syukur dan dengan gembira karena kita boleh mengambil bagian dalam karya agung Tuhan itu. Pertanyaannya adalah bagaimana kita bisa memahami Pesparani III ini sebagai karya agung Tuhan? Jawabannya bisa sederhana yaitu dengan membaca pesan Yesus yang tadi kita dengarkan di dalam pembacaan Injil dengan kacamata kita sebagai umat Katolik dan warga negara Indonesia.
Pesan Injilnya sangat jelas. Kita semua sudah hafal perintah itu, yaitu untuk mencintai Tuhan sebagai hukum pertama dan selanjutnya cinta kepada sesama sebagai buahnya. Itulah perintah Tuhan. Dan kita ingin membacanya dengan semangat, dengan kacamata kita sebagai umat Katolik warga negara Indonesia. Maksudnya apa? Hari ini adalah tanggal 28 Oktober. Ulang tahun ke-95 Sumpah Pemuda. Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Kalau demikian, dengan kacamata ini, kita sampai kepada kesimpulan yaitu bahwa cinta kepada sesama yang diperintahkan oleh Tuhan berarti membangun kesatuan, membangun persaudaraan sejati, membangun satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Itulah yang saya duga menjadi alasan panitia untuk mengambil tema Pesparani III ini “Persaudaraan dalam Keberagaman”. Kita semua tahu gampang diucapkan, tetapi tidak mudah untuk dilaksanakan, membangun kesatuan sebagai buah dari cinta kita kepada Tuhan.
Ketika renungan saya sampai di sini, saya ingat kembali akan satu dongeng yang sudah pernah, sudah sering bahkan, saya ceriterakan. Yaitu dongeng mengenai Penggembala Kambing. Ceriteranya begini.
Suatu hari, ada seorang dari kota yang jalan-jalan ke desa. Dia kagum ketika melihat seorang gembala menggembalakan kambingnya yang begitu ia kagumi. Maka dia mendekati gembala itu dan bertanya. “Kawan, saya tertarik sekali dengan kambing-kambing Anda ini. Bolehkah saya mengajukan satu dua pertanyaan?”
“Oh, silakan,” kata gembala itu.
Orang kota itu bertanya, “Kawan, kambing-kambing Anda ini gemuk-gemuk. Berapa banyak makanan yang Anda berikan kepada kambing-kambing Anda?”
Si penggembala bertanya karena kambingnya dua macam, putih dan hitam. ”Yang mana?”
“Yang putih.”
“Kambing yang putih ini saya beri makan setengah keranjang dua kali setiap hari.”
“Yang hitam?”
“Yang hitam saya beri makan satu keranjang setiap hari.”
Orang kota itu sudah mulai heran, “Kok, jawabannya seperti itu.”
Pertanyaan kedua diajukan, “Kawan, kambing-kambing Anda ini kelihatan sangat-sangat sehat semuanya. Berapa sering Anda membawanya ke padang rumput di bawah matahari?”
Gembalanya bertanya lagi. “Yang mana? Yang putih atau yang hitam?”
“Yang putih!”
“Oh, yang putih itu saya bawa ke padang rumput 7 hari sekali.”
“Lah, yang hitam?”
“Yang hitam saya bawa ke padang rumput satu minggu sekali.”
Tambah heranlah dia, bertanya lagi, “Kawan, bulu domba-domba, bulu kambing Anda ini tebal-tebal, sangat bagus. Berapa sering Anda mencukur kambing Anda ini?”
Ditanya lagi, “Yang mana? Yang putih atau yang hitam?”
“Oh, yang putih?”
“Yang putih saya cukur setengah tahun sekali.”
“Yang hitam?”
“Yang hitam saya cukur 6 bulan sekali.”
Tambah bingung yang bertanya itu. Lalu, dia mengajukan pertanyaan terakhir. “Kawan, Anda selalu membeda-bedakan yang putih dan yang hitam. Jadi, sebetulnya kambing-kambing ini milik siapa?”
Gembalanya bertanya lagi, “Yang mana? Yang putih atau yang hitam?” Dijawab, “Yang putih?”
“Yang putih itu milik saya!”
“Yang hitam?
“Yang hitam itu kepunyaan saya!”
Yang menarik dalam dongeng itu, saya membacanya di dalam suatu buku, adalah tulisan di bawah dongeng itu yang bunyinya begini, “manusia memisah-misahkan, Tuhan mempersatukan”.
Pesannya sangat jelas. Kalaupun kita bercita-cita untuk membangun persatuan satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, harapan-harapan seperti itu tidak akan terjadi dengan mudah apalagi kalau cinta kita kepada Tuhan tidak berkembang. Karena sekali lagi Tuhan memang mempersatukan tetapi manusia-manusia seperti kita-kita ini mempunyai kecenderungan untuk memisah-misahkan dan untuk membeda-bedakan.
Marilah dengan pesan itu kita berharap, semoga Pesparani III ini menjadi kesempatan, dengan rahmat Tuhan bagi kita semua untuk mempersatukan kita, dengan rahmat Tuhan sebagai umat Tuhan, sebagai warga negara Indonesia. Dan semoga sebagai umat Tuhan yang selalu berusaha membangun persaudaraan sejati, persaudaraan dalam keberagaman, kita sunguh-sungguh dapat berperan di dalam mewujudkan cita-cita satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa berlandaskan cinta sejati kepada Tuhan.
Mengakhiri renungan ini, kalau boleh saya mengajak para hadirin sekalian, umat sekalian, untuk mengungkapkan syukur kita atas anugerah Tuhan, persaudaraan dalam keberagaman, untuk berdiri dan bersama-sama menyanyikan lagu “Satu Nusa, Satu Bangsa”.
Mohon bantuan koor.
Satu nusa
Satu bangsa
Satu bahasa kita
Tanah Air
Pasti jaya
Untuk selama-lamanya
Indonesia pusaka
Indonesia tercinta
Nusa bangsa
dan bahasa
Kita bela bersama
Semoga Tuhan meneguhkan niat-niat baik kita untuk terus berusaha tanpa lelah membangun persaudaraan dalam keberagaman di tengah-tengah berbagai macam tantangan. Tuhan memberkati!