Berikut ini adalah homili Bapak Ignatius Kardinal Suharyo dalam Misa Pembukaan Kongres XXI Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta, 27 Oktober 2023.
Para Ibu keluarga besar WKRI yang terkasih, para tamu undangan yang saya muliakan,
Kita mengawali perayaan, mengawali Kongres Nasional WKRI yang XXI ini dengan perayaan ekaristi. Kita semua tahu ekaristi adalah syukur atas karya agung
Tuhan. Kalau kita mengawali kongres ini dengan ekaristi, ini bukan sekedar salah satu acara kongres. Tetapi kita ingin mengungkapkan keyakinan iman kita bahwa kehadiran dan pelayanan WKRI di seluruh Nusantara ini adalah bagian dari karya agung Tuhan.
Kongres yang diadakan ini adalah salah satu bentuk dari karya agung Tuhan. Keyakinan iman seperti ini tentu akan mendorong kita semua, khususnya para Ibu peserta kongres untuk berusaha menjadikan kongres ini sungguh merupakan karya agung Tuhan dengan bersama-sama mencari kehendak-Nya lewat berbagai macam tanda-tanda zaman dibaca dalam terang iman. Tema yang diangkat adalah “Peran Perempuan Mewujudkan Kesejahteraan Bersama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Maaf, saya tadi mengubah kutipan dari Injil karena setelah saya pikir-pikir, ini kutipan Injil ini, coba kita lihat, kita baca ya, kalimat yang terakhir “Jangan sampai ia menyeret engkau kepada hakim. Hakim menyerahkan engkau kepada pembantunya dan pembantu itu melemparkan engkau ke dalam penjara.” Ini kan urusan KPK ini ya? Bukan urusan WKRI.
Oleh karena itu, saya sengaja memilih teks yang lain yaitu rencana perutusan Yesus menurut Injil Lukas. Tidak ada di dalam buku itu. Kalau mau baca di buku kecilnya Romo Koko, tadi ada di situ. Yang ingin saya garis bawahi adalah ketika Yesus tampil pertama kali menyampaikan “program kerja-Nya” itu persis sama dengan program kerja WKRI. Hanya bahasanya berbeda. Kalau Yesus menggunakan kata “memaklumkan tahun rahmat Tuhan”. Itu kalau kita terjemahkan dalam bahasa kita sehari-hari ya namanya kesejahteraan bersama itu. Bagaimana ceritanya tahun rahmat Tuhan kok sama dengan kesejahteraan bersama? Ceritanya bisa sangat panjang. Singkatnya begini.
Ketika Tuhan memberikan hukum kepada umat terpilih, cita-cita dari hukum yang semula hanya 10 perintah Allah dan kemudian dari zaman ke zaman bertumbuh menjadi Taurat, cita-citanya satu yaitu shalom, damai sejahtera. Dan damai sejahtera itu isinya adalah hubungan yang baik dengan Tuhan, hubungan yang baik dengan sesama, dan hubungan yang baik dengan alam. Lengkap. Kesejahteraan bersama. Tetapi dalam perjalanan waktu, dalam sejarah yang panjang itu, cita-cita shalom itu sering kali dilanggar.
Oleh karena itu setiap 50 tahun sekali diadakanlah yang namanya tahun rahmat Tuhan. Selama perjalanan waktu, orang yang tadinya sejahtera, karena alasan tertentu mulai berhutang. Misalnya kalau dia tidak bisa membayar hutangnya, dia akan dijadikan budak, menjadi tidak merdeka. Dia bisa menggadaikan tanah. Kalau tidak bisa menebus gadaian tanah itu, tanahnya akan dirampas oleh yang memberikan hutang. Supaya shalom itu muncul kembali, terbangun kembali, setiap 50 tahun, yang disebut tahun rahmat Tuhan itu, semua budak tidak boleh menjadi budak lagi, harus bebas. Tanah yang dirampas oleh pemilik uang, harus dikembalikan kepada pemiliknya yang semula. Dengan cara itu kita bisa mengatakan dengan sederhana, bahwa yang namanya tahun rahmat Tuhan itu sebetulnya adalah sama dengan kesejahteraan bersama, kesejahteraan umum. Hanya tahun rahmat itu adalah bahasa Kitab Suci. Sementara kesejahteraan umum itu adalah bahasa yang kita temukan di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Maksudnya sama.
Saudari-saudaraku yang terkasih,
Ketika renungan saya sampai di situ, saya kembali membaca Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Di dalam Pembukaan itu ditegaskan cita-cita dibentuknya, didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ada empat tujuan. Salah satunya yang ketiga adalah, yang kedua (Kardinal meralat, Red), adalah memastikan kesejahteraan umum. Pertanyaannya, apakah sesudah 78 tahun merdeka, cita-cita negara ini didirikan sudah tercapai? Silakan menjawab menurut pengamatan masing-masing.
Kita semua dengan mudah akan mengatakan, kita bersyukur bahwa negara kita begitu maju. Tetapi kita juga harus mengakui dengan jujur bahwa cita-cita kemerdekaan masih sangat jauh dari kenyataan. Saya ambil satu dua contoh.
Moga-moga nanti dapat memberikan peneguhan kepada tema yang dipilih untuk kongres ini. Akhir-akhir ini muncul kata baru yang banyak dipakai di koran, di televisi, di radio, tengkes. Kemarin saya tanya kepada anak-anak SMP, “Kamu tahu artinya tengkes?” Tidak ada satu pun yang tahu. Kita semua tahu, tengkes adalah, terbalik ya tengkes, artinya stunting. Kan mestinya stunting. Artinya tengkes gitu ya. Kalau kita orang Indonesia yang asli, kita semua tahu yang namanya tengkes adalah karena anak-anak tidak mendapatkan asupan makanan yang cukup, fisiknya tidak bertumbuh dengan baik. Dari satu pihak, angkanya sejauh dapat saya baca, tahun 2022, angka tengkes di Indonesia itu 21,9%, tinggi, dari satu pihak.
Dari lain pihak, berita yang lain, dari koran yang terpercaya melaporkan, berapa banyak makanan sampah. Artinya makanan yang dibuang sebagai sampah karena matanya lebih besar daripada perutnya. Kalau diuangkan, setiap tahun makanan yang dibuang di Indonesia ini, kalau dirupiahkan adalah 330 triliun rupiah makanan yang dibuang. Maka salah satu keterlibatan kita yang sangat sederhana adalah tidak membuang-buang makanan.
Ketika anak-anak kita kurang asupan, dengan sendirinya kemampuan kecerdasannya juga tidak bisa berkembang dengan baik. Angka yang menunjukkan, apa, menunjukkan angka kecerdasan untuk rata-rata bangsa Indonesia adalah 78,49. Angka kecerdasannya itu, di bawah rata-rata 82. Dan dengan jujur harus kita akui bahwa menurut statistik, angka kecerdasan masyarakat Indonesia itu nomor dua dari bawah di Asia Tenggara. Dan tentu saja akibatnya berantai. Ketika angka kecerdasannya rendah, mencari sekolah juga tidak bisa, tidak punya pendidikan, nanti mencari pekerjaan juga susah. Berantai .
Dan salah satu kata baru yang juga muncul tahun-tahun ini adalah TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang). Karena putus asa tidak bisa membangun kesejahteraan dengan cara yang biasa, karena kemampuan keterbatasan pertimbangannya, menyerah kepada mereka-mereka yang memperdagangkanorang. Dan dengan demikian, tiga tujuan dari berdirinya negara Indonesia ini masih jauh kalau dilihat hanya angka itu. Kecerdasan angkanya rendah. Kesejahteraan umum belum merata. Yang terjadi adalah kesenjangan. Cita-cita negara yang pertama melindungi seluruh rakyat negaranya, warga negaranya, dibandingkan dengan angka TPPO yang semakin besar itu juga masih jauh.
Di dalam keadaan seperti itu tema yang diangkat oleh Kongres XXI ini menjadi sangat relevan. Kita tidak boleh hanya meratapi kegelapan.Sering kali dikatakan “lebih baik menyalakan satu lilin kecil di tengah-tengah kegelapan” itu. Dan saya yakin seyakin-yakinnya bahwa ibu-ibu WKRI di berbagai tempat di Nusantara ini telah melakukan banyak hal agar kesejahteraan bersama itu semakin menjadi kenyataan. Dan untuk itu kita tidak hanya butuh motivasi. Saya biasa membedakan motivasi dan inspirasi.
Kalau motivasi itu yang memberikan adalah para motivator. Kalau inspirasi itu kita peroleh dari iman kita. Karena manusia itu terdiri dari tubuh, jiwa, dan roh, tubuh kita membutuhkan makanan yang sehat, jiwa kita membutuhkan motivasi yang kuat, motivasi kemanusiaan. Tetapi sebagai orang beriman, motivasi tidak cukup.Kita membutuhkan inspirasi iman. Dan inspirasi yang ditawarkan hari ini adalah agar kita menyamakan semakin meyakini bahwa perjuangan untuk membangun, mewujudkan kesejahteraan bersama adalah ikut di dalam perutusan Yesus, memaklumkan tahun rahmat Tuhan. Semoga Tuhan membimbing seluruh proses kongres ini sehingga pada waktunya nanti diambil keputusan-keputusan berdasarkan motivasi, berdasarkan inspirasi Kristiani. Tuhan memberkati.