
Isu perubahan iklim adalah isu yang sangat besar. Isunya global. Dan untuk bisa menahan laju perubahan iklim itu tidak mungkin kalau sendirian mesti perlu kerja bersama. Direktur EIN Institute, Ellen Nugroho menyampaikan hal tersebut dalam Diskusi Iklim Lintas Agama “Perubahan Iklim Makin Kritis: Umat Beragama Mesti Melakukan Apa?” Di Vihara Mahabudhi Buddhist Center, 11 September 2023. “Tidak bisa orang perorang saja yang berubah. Harus membutuhkan kerja skala dunia,” kata Ellen.
Karena begitu besarnya masalah ini, menurut Ellen, masalah ini terkesan menyeramkan. Namun dari situasi yang menyeramkan tersebut, sebenarnya banyak tindakan yang bisa dilakukan untuk menahan laju perubahan iklim. Menurut Ellen, berbicara teori rumah kaca memang agak sulit dipahami. “Untuk orang-orang sederhana, pesan-pesan ini perlu diperdengarkan sampai ke sesuatu yang sangat konkret bisa dikerjakan. Jadi ini yang akan membuat ada harapan bahwa saya bisa menyumbangkan sesuatu untuk dunia,” katanya.
Meskipun perubahannya global, menurut Ellen, kita bisa melakukan sesuatu untuk bersama-sama menahan laju perubahan iklim, bahkan melalui makanan yang kita makan sehari-hari.
“Nah, kita perlu tahu makanan macam apa yang banyak emisi karbonnya, yang akan membuat krisis iklim semakin parah dan makanan seperti apa yang akan membuat makin bisa menahan laju perubahan iklim,” ungkapnya.
Menurutnya, yang paling sederhana adalah mengurangi mengonsumsi daging hewan berkaki empat memamah biak seperti sapi dan kambing. Kenapa? “Karena sapi, kambing itu dari nafasnya itu keluar gas yang namaya metana. Dan metana itu efek rumah kacanya itu sekian kali karbo,” katanya.
Menurutnya, sebenarnya jumlah metana di bumi sedikit. Tetapi karena industri peternakan seperti hewan sapi dan kambing yang masif, gas metana menjadi sangat banyak. “Bernafas saja, dia sudah mengeluarkan metana. Belum lagi kalau kentu, metananya lebih besar lagi,” katanya. Itu baru bicara gas metana. Padahal peternakan membutuhkan air dan pakan yang sangat banyak.
Menurut Ellen, kita mungkin tidak serta merta menghilangkan makanan yang bersumber dari daging sapi atau kambing. “Maka, salah satu langkah sederhana adalah kita mengurangi. Mungkin tidak serta merta bisa menghilangkan. Tetapi kita bisa mengurangi atau mengganti. Jadi, kalau tidak meniadakan, kita bisa mengurangi, kita bisa mengganti makanan atau isi piring kita,” katanya.
Ellen menegaskan, isi piring kita bisa menyumbangkan sesuatu untuk menyelamatkan mengurangi laju perubahan iklim. Menurutnya, hal ini perlu disosialisasikan kepada umat. Selain mengurangi konsumsi daging sapi dan kambing, cara menahan laju perubahan iklim juga bisa dilakukan dengan mengonsumsi pangan lokal, bukan impor.
Masyarakat menganggap mengonsumsi pangan impor memiliki prestise yang tinggi. Padahal untuk sampai ke Indonesia, makanan itu harus diangkut pesawat atau kapal yang memakai bahan bakar fosil. “Berapa banyak bahan bakar fosil yang dikeluarkan di situ. Jadi, proses edukasi kepada umat supaya sebisa mungkin memakai hal-hal yang lokal, belanja di pasar lokal, dari petani-petani lokal,” katanya. Ada dua manfaat di situ, selain kita menahan laju perubahan iklim, kita juga menghidupkan perekonomian lokal.
Menahan laju perubahan iklim juga bisa dilakukan dengan memperlakukan pakaian kita. “Setiap pakaian yang kita beli, berarti kita menyumbangkan emisi karbon,” kata Ellen. Maka, dia mengusulkan jika pakaian tersebut telah habis masa pakainya karena kekecilan bisa diberikan pada adiknya. Bila di badan adik tidak cukup, pakaian tersebut bisa diberikan kepada saudaranya. Dari hal ini, kita diajak untuk merawat pakaian. “Maka, kita belajar untuk merawat pakaian. Kita belajar untuk meneruskan pakaian kepada anak-anak selanjutnya, sehingga tidak perlu beli baru. Nah, ini sesuatu yang perlu diedukasikan kepada umat, kepada publik,” katanya.
Demikian pula dalam penggunaan listrik di rumah. “Semakin kita sedikit menggunakan listrik, memakai bahan-bahan yang lebih minim listrik berarti kita akan menahan laju perubahan iklim karena listrik di Indonesia itu sebagian besar dari batubara. Jadi, kalau kita menghemat listrik, kita menghemat batubara,” ungkapnya.
Dalam menggunakan transportasi, kita pun bisa menahan laju perubahan iklim meski agak sulit karena membutuhkan jalan. Sebagai contoh kita bersepeda atau jalan kaki untuk menekan emisi karbon, namun keselamatan kita di jalan belum tentu terjamin karena di jalan bercampur dengan kendaraan-kendaraan besar. Maka, di sini kita perlu melakukan advokasi. “Jadi, memang di sini, pentingnya kawan-kawan melakukan advokasi. Jadi membuat ada fasilitas misalnya untuk jalan kaki, untuk sepeda,” kata Ellen.
Semua itu memerlukan peran pemuka-pemuka agama supaya bisa mendorong, menerapkan dan melakukan upaya merawat lingkungan dan menahan laju perubahan iklim dengan landasan tanggung jawab religius melalui tafsir-tafsir yang progresif tentang lingkungan. “Itu semua dilakukan untuk menggerakkan umat mau melakukan perubahan,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Ellen pun menjelaskan tentang penyebab perubahan iklim. Terjadinya perubahan iklim tersebut dipicu oleh kenaikan jumlah karbon. Karbon sudah sejak lama muncul. Menurutnya, karbon ini muncul melalui proses-proses alam seperti gunung meletus. “Tetapi, kemudian di era modern, karbon ini tidak lebih dari sesuatu yang alami dari kehidupan sehari-hari, tetapi sengaja dikeruk dari bawah permukaan bumi yang kita kenal dengan bahan bakar fosil (fosil fuel). Nah, semakin banyaknya yang dikeruk di dasar bumi, dan kemudian dibakar, entah sebagai batubara, entah sebagai bensin, bisa sebagai solar, bisa sebagai avtur, maka berarti, semakin banyak karbon yang dilepaskan,” katanya.
Dalam situasi alami, karbon yang dikeluarkan akan diserap kembali oleh bumi menjadi satu siklus. “Jadi, kita bernafas keluarkan CO2 di udara, nanti kemudian ada hujan, mengendap kembali ke bumi, diserap lagi oleh bumi. Tetapi ketika kita mengambil bahan bakar fosil banyak sekali dari bumi dan kemudian itu berubah menjadi karbon, maka tidak semudah itu untuk mengembalikannya ke bumi. Maka, yang terjadi adalah sebagian tetap ada di udara, dan sebagian masuk ke laut, yang di laut itu juga tidak kalah banyak, dan ketika masuk ke laut, maka mengubah laut itu menjadi asam, sehingga akan berdampak pada kehidupan yang ada di dalam laut. Begitu juga yang ada di atmosfer, maka, karbon itu akan berbentuk seperti cincin yang mengelilingi bumi yang tadinya sinar matahari itu turun ke bumi lalu bisa dipantulkan maka, sekarang panas matahari itu akan terhalang oleh cincin karbon, lapisan karbon yang mengelilingi bumi. Dan akhirnya dikembalikan lagi panasnya ke bumi. Maka bumi semakin panas. Ini disebut efek rumah kaca,” terangnya.