
Gereja Katolik tidak ambil bagian dalam politik praktis kekuasaan. Romo Armada Riyanto, CM menegaskan hal itu dalam seminar “Gereja Berpolitik?” di Surabaya, 10 Juni 2023. “Kalau yang kita maksud dengan berpolitik itu adalah pemilihan presiden, pemilihan legislatif, ya Gereja tidak melakukan itu. Jadi, artinya gini, Gereja sebagai suatu institusi, dia tidak bisa menjadi relawan dari satu partai politik sedemikian rupa sehingga seolah-olah Gereja itu menjadi relawannya,” kata Romo Armada.
Namun, kalau berpolitik dimaknai dari terminologinya yaitu polis, yang berarti, tatanan hidup bersama, Gereja Katolik turut ambil bagian. “Gereja Katolik ambil bagian secara konkret dan sejarah nyata bagaimana tata hidup bersama ini supaya bisa berlangsung dengan adil, ya sejahtera, dan makmur, dan damai,” katanya. Dalam konteks ini, menurut Romo Armada, Gereja tidak memandang berpolitik itu tabu.
Romo Armada pun memaparkan gambaran politik Gereja Katolik yang memberi warna dalam sejarah Indonesia. Hal itu terlihat dengan kehadiran Pemuda Katolik yang memberi kontribusi besar pada Sumpah Pemuda 1928. “Jadi, jangan mengira bahwa orang Katolik tidak ambil bagian dalam persiapan kemerdekaan Indonesia. Ambil bagian,” katanya.
Ia pun menambahkan, kehadiran Partai Katolik yang hand in hand dengan Soekarno. “Indonesia itu sesungguhnya sudah merdeka tahun 1945, tapi sesungguhnya Indonesia belum diakui kemandiriannya oleh dunia internasional. Baru merdeka, ka, itu kan tahun 1949 dalam Konferensi di Den Haag. Nah, partisipasi dari orang Katolik terhadap lobi pada waktu itu kuatnya bukan main,” kata Romo Armada.
Mgr Soegijapranata yang pernah studi di Limburg, Belanda, mengenal para tokoh partai Katolik Belanda. Kebanyakan anggota partai Katolik di Belanda berasal dari Limburg, dari Belanda Selatan. “Belanda Selatan itu kebetulan mayoritas Katolik dan Monsinyur Soegijapranata ini dia studi di bagian itu dan mengenal para tokoh-tokoh Katolik yang ambil bagian dalam partai politik Katolik waktu itu. Dan itu lobinya besar sekali untuk mengegolkan supaya Belanda menyetujui kedaulatan Indonesia,” kata Romo Armada.
Maka, ketika pada tahun 1963, Mgr Soegijapranata wafat, tak berapa lama Presiden Soekarno langsung mengangkatnya menjadi pahlawan nasional. “Jadi pahlawannya nasional dari Soegijapranata mungkin bukan angkat senjata, nembakin orang Belanda, tapi memungkinkan lobi-lobi yang luar biasa,” ungkap Romo Armada.
Rentang 1963-1964, tokoh Katolik Frans Seda menjadi Menteri Perkebunan dalam Kabinet Kerja IV Soekarno. “Menteri perkebunan itu di periode itu menjadi sangat penting karena Indonesia itu belum memiliki industri. Jadi devisa negara banyak dari produk perkebunan. Nah, di sini contoh. Dan Ibu Sri Mulyani sendiri juga mengakui pada waktu kami ada seminar untuk mengegolkan Frans Seda ini menjadi pahlawan nasional. Dia mengakui bahwa Frans Seda sebagai seorang Katolik betul-betul meletakkan dasar bagaimana suatu birokrasi kementerian keuangan itu akuntabel. Jadi, lihat dari poin ini saja kita sudah melihat bahwa ada suatu gerakan di mana orang-orang Katolik turut ambil bagian tak terpisahkan dari perjalanan bangsa Indonesia ini,” ungkap Romo Armada.
Jejak keterlibatan orang Katolik dalam hidup berbangsa, sambung Romo Armada, juga terekam dalam tulisan Mgr. Martinus Petrus Maria Muskens yang menulis tentang sejarah Gereja Katolik di Indonesia. “Kita tahu bahwa sejarah Gereja Katolik Indonesia itu betul-betul unik dibanding dengan sejarah Gereja dari negara-negara seperti umpamanya Malaysia, Thailand, Pakistan, India dan seterusnya. Di mana keunikannya? Orang Katolik seperti tidak pernah tinggal diam untuk ambil bagian di dalam perjalanan bangsanya,” katanya.
Terkait dengan memperjuangkan bahasa, menurut Romo Armada, Anton Mulieono dan Gorys Keraf berjuang dalam mengelola bahasa Indonesia. “Bahasa Indonesia kan praktis bahasa perjuangan itu, karena sebelum 45 ndak ada, tapi setelah 1945 juga banyak yang belum bisa berbahasa Indonesia,” tutur Romo Armada.
Selanjutnya, Romo Armada pun menyinggung Widya Mandala yang merupakan cetusan Gereja Katolik untuk ambil bagian dalam tata politik bangsa Indonesia. “Misionaris kita mendirikan sekolah-sekolah, sekolah rakyat itu, yang mahal harganya pada waktu itu. Itu juga ambil bagian dalam tata politik,” katanya.
Dari sudut historis, menurutnya, tak terbantahkan bahwa Gereja ambil bagian di dalam tatanan hidup bangsa kita. Romo Armada mengajak supaya umat Katolik mau terlibat dalam kehidupan berbangsa.
“Selain Anda adalah orang Katolik yang harus giat di dalam lingkungan, di dalam Gereja, Anda mewarisi tradisi partisipasi umat Katolik terhadap keberlangsungan dari bangsa kita,” tandasnya.
Aspek doktrinal
Romo Armada menegaskan,Gereja Katolik memiliki preferensi politis, memiliki pilihan utama dalam partisipasi politik.
Pertama, politik damai. “Gereja Katolik betul-betul meletakkan damai, tata damai itu nomor satu,” kata Romo Armada. Hal itu terlihat misalnya, ketika Paus Fransiskus meluncurkan dokumen Abu Dhabi dan Ensiklik Fratelli Tutti yang bersemangat perdamaian. Paus juga gencar menyerukan perdamaian di Sudan menyerukan berakhirnya perang Rusia-Ukraina.
Kedua, politik lingkungan. Terkait dengan lingkungan, tahun 2015 Paus Fransiskus meluncurkan Ensiklik Laudato Si’ tentang Merawat Bumi Rumah Kita Bersama. Sayangnya, menurut Romo Armada, politik lingkungan belum menjadi preferensi di Indonesia. “Para politik(us) itu sibuk terkait dengan politik identitas. Dan yang dimaksud dengan identitas adalah agama,” katanya.
Ketiga, politik Katolik membela minoritas yang terekskludir. “Membela minoritas itu bukan membela diri orang Katolik sebagai minoritas. Tapi, membela minoritas itu belalah itu saudara-saudara kita yang ada di Papua, di Sulawesi, Kalimantan dan sebagainya,” kata Romo Armada.
Tidak dengan memberi uang, menurut Romo Armada, cara membelanya adalah dengan memberi sarana prasarana untuk bisa memajukan diri.
Ajaran Sosial Gereja (ASG)
Gereja Katolik memiliki ASG yang menjadi sarana untuk melihat realita, refleksi iman dan bertindak dalam memandang realitas. Metodologi ASG ada tiga (to see, to judge, dan to act) yang diperkenalkan oleh Kardinal Joseph Cardijn dari Belgia. “Jadi kalau orang belajar Ajaran Sosial Gereja (ASG), gampangannya menyimak realitas apa yang terjadi, merefleksikannya, merenungkannya dalam terang iman dan yang ketiga merealisasikannya di dalam tindakan konkret, to act,” terang Romo Armada.
Meski sudah memiliki ASG yang bagus dan kalimat-kalimatnya canggih, menurut Romo Armada, kita tidak berboleh puas diri. Ia melihat, ASG tidak mendefinisikan standar operasional prosedur (SOP) dan dampak yang bisa di-monitoring dan evaluasi (monev).
Adalah tugas Gereja lokal untuk mendetilkannya supaya SOP, akuntabilitas dan dampaknya bisa terukur. “SOP to act, itu jangan diharapkan dari Paus Fransiskus. Tapi diharapkan dari Gereja lokal, dari tim keuskupan, tim paroki dan seterusnya atau bahkan tim Indonesia,” lanjutnya.
Cita-cita Gereja ke depan adalah menjadikan manusia semakin maju. “Tapi apakah Gereja Katolik siap?” tanya Romo Armada secara reflektif. Ia pun bercerita, dalam rangka 100 tahun Kongregasi CM, ia melakukan perjalanan keliling ke paroki-paroki. Namun, ia prihatin, Gereja Katolik banyak menghabiskan dananya untuk membangun sarana-sarana fisik seperti gua, taman, dan perayaan-perayaan, namun untuk pembinaan generasi mudanya kurang tersentuh.
“Saya memimpikan sepanjang perjalanan itu agar ada beasiswa yang membantu anak-anak kita,” katanya. Meskipun yang belajar di SD, SMP, SMA negeri sudah difasilitasi negara, namun yang di perguruan tinggi mesti diperhatikan. “Sebab anak-anak kita yang potensial tidak boleh DO, nggak boleh. Merekalah yang akan menjadi kehadiran Gereja,” katanya.
What next Gereja Katolik?
Ke depan, menurutnya, Gereja Katolik perlu melakukan beberapa hal. Pertama, memperbarui mentalitas para pemimpin Gereja dan para tokoh awam Katolik.
Kedua, memperbarui program pelayanan kategorial Gereja Katolik di tingkat keuskupan dan parokial
Ketiga, membuat budgeting yang pasti dan berkelanjutan untuk scholarship para pemuda-pemudi, hingga studi mereka mumpuni, dan mumpuni pula kehadiran mereka di level kerja dan pergaulan masyarakat.
Keempat, membuat kelompok-kelompok “Sekolah Demokrasi-Tata Damai-Hidup Bersama” Indonesia.
Kelima, membuat kolaborasi yang jelas di banyak level umat untuk membangkitkan kesadaran Katolik, keterlibatan dan komitmen.