(Tulisan ini pernah disampaikan dalam rangka Rekoleksi UNIO KAS bulan Maret 2023)
Oleh ROMO Y. GUNAWAN, PR
Rama Richardus Kardis Sandjaja Pr lahir di Sedan, Muntilan, 20 Mei 1914. Anak sulung dari empat bersaudara ini lahir dari pasutri Bapak Willem Kromosendjojo dan Ibu Richarda Kasijah. Dia dibaptis oleh Rama Frans van Lith SJ di Gereja Santo Antonius Muntilan pada tanggal 21 Juni 1914.
Kamus kecil yang berjalan
Rama Sandjaja dikenal sebagai orang yang cerdas, bahkan sejak SD ia disebut “kamus kecil yang berjalan” (Lopend zakwoordenboek). Pada akhir kelas VI ia hafal seluruh isi kamus Koenen kecil dari A sampai Z. Dia juga seorang yang rajin berdoa.
Pendidikan Seminari Menengah ditempuh mulai tahun 1933 – 1937. Lalu Pendidikan Seminari Tinggi tahun 1937 – 1943. Beliau ditahbiskan oleh Mgr. Alb. Soegijapranata SJ di Muntilan, 13 Januari 1943, dalam usia 29 tahun. Dia termasuk tahbisan Imam Diosesan Semarang angkatan kedua. Setahun sebelumnya, 26 Juni 1942, Rama Aloysius Purwadi Purwadiharja Pr ditahbiskan sebagai Imam Diosesan angkatan pertama.
Rama Richardus Sandjaja Pr ditahbiskan bersama dengan Rama Theodorus Soekarto Hardjowasito Pr, Rama Petrus Canisius Lasiran Dwidjasusanta Pr, dan Rama Ignatius Maria
Hariyadi Pr. Setelah tahbisan, beliau ditugaskan sebagai pastor di Paroki Muntilan, menjadi dosen Sejarah Gereja dan Moral di Seminari Tinggi, dan menjadi Prefek Seminari Menengah di Muntilan. Beliau juga pernah tugas di Paroki Ignatius Magelang.
Kemartiran Rama Sandjaja Pr
Selama pendudukan Jepang (1942-1945), situasi sangat genting. Pada tanggal 20 Desember 1948 Rama Sandjaja bersama Fr. Herman Bouwens SJ dan Br. Kismadi mewakili Pastor van der Putten SJ (rektor seminari) menghadiri undangan dari sekelompok orang warga setempat. Tetapi di tengah perjalanan Rama Sandjaja Pr dan Fr. Bouwens SJ dianiaya dan dibunuh. Yang membunuh mereka adalah “gerombolan fanatik” (Rama van Thiel, SJ., “Muntilan Tempat Bersemayamnya Mahkota Kemartiran?”, dalam J. Hadiwikarta, Pr., (ed.), Mengenal dan Mengenang Rama R. Sandjaja, Pr (Aneka Kenangan dan Kesaksian), 1984, 35. Bisa juga dilihat di Majalah Praba, 5 Agustus 1963.)
Sementara itu Br. Kismadi selamat karena disuruh pulang. Keesokan harinya jenazah Rama Sandjaja Pr dan Fr. Bouwens SJ ditemukan di daerah dusun Kembaran, Muntilan, lalu dimakamkan di makam Kembaran. Pada 5 Agustus 1950 jenazah mereka berdua dipindahkan ke makam Kerkof Muntilan dengan prosesi yang meriah.
Gereja Keuskupan Agung Semarang menganggap Rama Sandjaja sebagai “martir”, orang suci di hati umat (Majalah Hidup Katolik, 21 Januari 1962. 3). Dalam perjalanan waktu, ada usulan dari umat agar Rama Sandjaja dan Fr. Bouwens diusulkan ke Tahta Suci di Roma menjadi santo karena meninggal sebagai martir.
Upaya pengajuan proses beatifikasi
Terkait dengan pengajuan proses beatifikasi atau kanonisasi Rama Sandjaja Pr dan Fr. Bouwens SJ ke Tahta Suci Vatikan-Roma, Tim Keuskupan Agung Semarang sudah mengupayakannya sejak tahun 1960-an. Mgr Soegijapranata memberikan mandat kepada Rama R. van Thiel SJ, panitia pengumpul bahan kesaksian sekaligus dosen Moral dan Hukum Gereja. Beliau berjuang mengumpulkan data-data dan aneka kesaksian tentang Rama Sandjaja dan Fr. Bouwens pada tahun 1962 (Hasil penyelidikan sudah dikirim kepada para ahli di Roma dan sudah mendapat tanggapan. Rama R. van Thiel SJ menyampaikan hal ini di Majalah Hidup Katolik, 7 Juli 1963 dan Majalah Praba, 5 Agustus 1963).
Proses penyelidikan sudah dilakukan oleh Rama R. van Thiel SJ dan hasilnya sudah dikirim ke Vatikan, tetapi proses selanjutnya terhenti di tengah jalan sampai sekarang. Ada syarat yang belum bisa terpenuhi, yakni kesaksian dari si pembunuh atau saksi yang melihat langsung peristiwa pembunuhan itu. Rama R. van Thiel SJ telah menyampaikan proses penyelidikan dan tanggapan dari Tahta Suci atas pengajuan proses kanonisasi tersebut: “Menurut kabar yang saya terima dari Roma, maka mutlak perlu adanya kesaksian dan sekurang-kurangnya dua orang yang melihat pembunuhan itu (testes de visu: saksi mata kepala). Akan tetapi dalam hal ini kami tidak tahu siapa pembunuhnya. Kami tidak mengenal saksi-saksi yang memenuhi syarat di atas. Apalagi mendengarkan keterangan-keterangan mereka. Tambahan lagi suatu pembunuhan seperti peristiwa di Muntilan itu, tentulah tidak akan gampang menyebabkan para pelaku membuka suara mereka. Tangan yang berwajib dalam suatu negara hukum kelewat mereka takuti” (Rama van Thiel, SJ., “Akan Tibakah Saatnya Gereja Indonesia Memuliakan Martir-Martirnya?”, dalam J. Hadiwikarta, Pr., (ed.), Ibid., 33. Bisa juga dilihat di Majalah Hidup Katolik, 7 Juli 1963).
Lebih lanjut, diuraikan demikian, “Apakah yang harus diketengahkan oleh saksi? Dua perkara telah diberitahukan oleh Roma kepada kami: pertama, si saksi harus menyatakan di bawah sumpah bahwa kedua orang itu karena iman mereka (in odium fidei) telah terbunuh; kedua, bahwa sampai denyut jantung yang terakhir mereka tetap setia kepada iman mereka. Kalau sekiranya kita berhasil memperoleh dua orang yang dapat memberikan kesaksian di bawah sumpah seperti di atas, maka demikianlah berita yang saya terima – proses ini sudah beres untuk 90%” (Ibid., 33).
Lantas bagaimana? Apakah dengan tanggapan Vatikan itu Gereja KAS harus menyerah dan putus asa karena kesulitan memenuhi syarat dari Vatikan itu? Rama van Thiel tetap optimis dan menegaskan: “Saya tak bermaksud mengatakan di sini bahwa dalam waktu beberapa tahun proses tadi akan selesai. Sama sekali tidak. Mungkin masih membutuhkan waktu puluhan tahun sebelum Santo Bapa meresmikan mereka berdua menjadi orang suci. Selama ini kita harus tetap berusaha. Arsip di Keuskupan Agung Semarang harus semakin tebal, sampai akhirnya ada pengumuman resmi bahwa mereka berdua memang dibunuh sebagai martir” (Rama van Thiel, SJ., “Muntilan Tempat Bersemayamnya Mahkota Kemartiran?”, Ibid., 39).
Beliau juga mengajak umat untuk tetap berdoa dan terus berharap: “Sekali lagi saya mohon: Marilah kita semua berdoa pada Tuhan; Marilah kita berdoa pada kedua Rama tadi yang menjadi korban pembunuhan di Muntilan; Hendaknya para saudara melaporkan apa saja yang saudara ketahui sekitar peristiwa tadi; Hendaknya saudara melaporkan permohonan-permohonan yang terkabul berkat perantaraan mereka; dan hendaknya kita mengusahakan semua hal yang dapat membantu mempercepat proses penggelaran mereka sebagai orang suci” (Ibid., 39).
Orang suci popularis
Setelah meresmikan Seminari TOR pada 3 Juli 1981, Bapak Kardinal Darmojuwono menugaskan Rama Johanes Tarunasayoga Pr untuk menyusun sebuah buku untuk mengenal dan mengenang Rama Sandjaja. Setelah sekitar 20 tahun sejak tanggapan dari Roma itu diterima, Kardinal Darmojuwono memaparkan berbagai upaya yang ditempuh, tetapi usaha-usaha itu belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Bahkan ia mengakui proses kanonisasi berhenti di tengah jalan.
Setelah Kardinal Darmojuwono mengundurkan diri dari Uskup Agung Semarang, ia menyampaikan pernyataan yang menarik pada tahun 1984 sebagai berikut: “Mencari saksi mata untuk peristiwa semacam itu, siapa mau dan berani tampil ke muka. Pernah ada seorang pemuda melapor ke Keuskupan Agung Semarang, bahwa dia pernah bertemu dengan seorang anggota kelompok yang membunuh dua Rama tadi dan menyatakan bahwa mereka dibunuh karena agama. Sejauh mana kesaksian itu dapat dipakai sebagai bukti. Pemuda tersebut diberi tugas melacak orang tersebut, tetapi hasilnya nihil. Seandainya berhasil berjumpa dengannya, apakah mau memberi kesaksian secara tertulis di bawah sumpah? Ada lagi seorang bapak yang sewaktu Darul Islam berkecamuk di pedalaman berjumpa dengan orang yang mengaku bertanggung jawab atas peristiwa 20 Desember 1948. Tetapi juga hanya pernah berjumpa. Tanpa ada kelanjutannya” (Rama Kardinal J. Darmojuwono, “Proses yang Berhenti di Tengah Jalan”, dalam J. Hadiwikarta, Pr., (ed.), Ibid., 59).
Atas aneka usaha yang belum membuah hasil, Kardinal Darmojuwono mendapatkan pencerahan saat menghadiri upacara beatifikasi atau kanonisasi di Vatikan. Pada waktu itu ada rekannya yang berkomentar, “Biarlah orang yang sudah meninggal tidak diganggu dengan mencari-mencari bukti mukjizat segala. Kita hormati dan kita mintai doa restunya” (Ibid., 59).
Pernyataan rekannya itu memberinya inspirasi untuk mengajak para imam dan umat KAS untuk tetap berdoa dan berziarah ke makam Rama Sandjaja tanpa memberi gelar Beato atau Santo: “Secara pribadi saya cenderung kepada suasana Gereja Purba. Biarlah mereka menghormati, minta pertolongan Rama-rama yang meninggal pada 20 Desember 1948, tanpa memberi gelar Beato atau Santo. Mereka mendapat gelar dari umat: Rama Sandjaja. Mari ziarah ke makam Rama Sandjaja orang suci popularis. Vox populi vox Dei (Suara umat suara Tuhan)” (Ibid., 59).
Menggali spiritualitas Rama Sandjaja Pr
Nama Rama Sandjaja (= Sanjaya) kemudian diabadikan untuk nama Seminari Tahun Orientasi Rohani (TOR) Sanjaya, Jangli-Semarang. Beliau menjadi pelindung dan teladan para frater yang sedang dididik di Seminari TOR Sanjaya. Seminari TOR ini sebagai tempat pembinaan calon Imam Diosesan di tingkat awal dan dasar. Seminari TOR menjadi “tempat unjal ambegan” dari Seminari Menengah ke Seminari Tinggi.
Sebagaimana tertuang dalam visi Seminari Tahun Orientasi Rohani Sanjaya, Seminari TOR ini merupakan lembaga gerejawi di bidang pembinaan calon Imam Diosesan Semarang pada tahap awal dan dasar, yang bertujuan memperkuat dan memperkembangkan dasar-dasar hidup manusiawi dan rohani. Harapannya, para frater menjadi semakin dewasa dalam Kristus, mengantar dan mempersiapkan para calon Imam Diosesan dalam menghayati hidup panggilannya menjadi imam Kristus di Keuskupan Agung Semarang.
Selama formatio di Seminari TOR, para frater diajak untuk meneladan keutamaan Rama Sandjaja. Setiap Minggu malam pukul 21.30 ada devosi kepada Rama Sandjaja. Rama Sandjaja seorang pribadi yang bersemangat dalam berkarya, bersemangat belajar yang tinggi, suka membaca, sederhana, tidak aneh-aneh, mencintai Ekaristi, punya militansi dalam iman, wani nggetih, dan siap sedia menjalani perutusan dari pimpinan sampai akhir hayat. Inilah beberapa poin keutamaan dan spiritualitas hidup Rama Sandjaja yang perlu terus dihidupi dan diteladani.
Menjelang peringatan hari pelindung tanggal 20 Desember, para frater diajak untuk napak tilas spiritualitas dan menggali kembali semangat hidup Rama Sandjaja di Muntilan. Misalnya, pada tahun 2022, para frater angkatan 42 dengan didampingi Rama B. Irawan Pr dan Rama Y. Gunawan Pr mengadakan tri hari studi napak tilas spiritualitas dan menggali kembali semangat hidup Rama Sandjaja (16-18 Desember 2022) di Muntilan. Kemudian dilanjutkan malam tirakatan bersama umat lingkungan di Seminari TOR pada tanggal 19 Desember 2022, dan pada pagi harinya 20 Desember dirayakan misa pesta pelindung Rama Sandjaja, tepat tanggal kemartiran Rama Sandjaja.
Untuk menggali spiritualitas dan semangat Rama Sandjaja (1914-1948) itu, para frater mengikuti Hari Studi karya misi dan Napak Tilas Rama Sandjaja. Pada hari pertama para frater mendapat edukasi karya misi di tanah Jawa, khususnya di wilayah KAS. Edukasi misi ini diberikan oleh Rama Fransiskus Yunarvian Dwi Putra Pr selaku direktur Museum Misi Muntilan Pusat Animasi Panggilan.
Rama Yunarvian ditemani oleh Bapak Antonius Tri Usada Sena menjelaskan kisah perjuangan katekis Bapak Barnabas Sarikrama dan kisah Rama Van Lith SJ dalam mengembangkan karya misi lewat pendidikan. Para frater juga diajak melihat koleksi barang-barang peninggalan karya misi, dinamika Gereja KAS lewat kebijakan para uskup dari masa ke masa, dan tokoh-tokoh yang mewarnai Gereja KAS.
Pada hari kedua para frater napak tilas tempat-tempat yang berkaitan dengan kehidupan Rama Sandjaja. Napak tilas rumah kelahiran Rama Sandjaja di desa Sedan, kamar terakhir di kompleks Seminari (kini: Bruderan FIC), dan tempat pembunuhan “kemartiran” di areal persawahan di desa Kembaran.
Pada hari ketiga para frater merayakan misa di kompleks makam kerkof dan tabur bunga di makam Rama Sandjaja Pr, Rama Aloysius Purwadiharja Pr (imam praja Semarang pertama), Bapak Kardinal Darmojuwono, dan lain-lain. Kemudian para frater mengadakan peregrinasi (jalan kaki) dari Muntilan ke Sendangsono. Sesampai di sana mereka membersihkan makam Mbah Barnabas Sarikrama, berdoa dan tabur bunga. Para frater berdoa di depan Gua Maria Sendangsono untuk berterimakasih dan mohon doa restu kepada Ibu Maria, pelindung misi tanah Jawa, di Sendangsono. Trihari studi dan napak tilas ditutup dengan ziarah ke makam Rama Prenthaler SJ di Boro.
Teladan kegigihan dalam iman dan panggilan
Pada saat peringatan 70 tahun wafatnya Rama Sandjaja pada Desember 2018, Uskup Agung Semarang Mgr. Robertus Rubiyatmoko mengajak umat untuk mengenang kembali sosok pribadi Rama Sandjaja dan mencecap kembali spiritualitas yang diperjuangkannya. Mgr. Rubiyatmoko mengungkapkan, “Bagi kita umat Katolik, khususnya umat Keuskupan Agung Semarang (KAS), Pastor Sandjaja adalah seorang pastor panutan yang senantiasa dibanggakan dan diteladani. Ketekunan dan kegigihannya dalam menghidupi iman dan panggilannya sebagai seorang imam sangat luar biasa. Di mata umat Katolik KAS, Pastor Sandjaja adalah seorang martir sejati yang rela mati demi mempertahankan iman dan kebenaran. Maka tidak mengherankan begitu banyak umat yang berziarah ke makam Pastor Sandjaja di Kerkof Muntilan untuk berdoa dengan pengantaraannya” (HIDUP, No. 49, 9 Desember 2018; http://www.hidupkatolik.com/ 2019/01/11/30897/panutan-kas/).
Lebih lanjut, Mgr. Rubiyatmoko memaparkan bahwa nama Rama Sandjaja dikenang dan diabadikan untuk nama beberapa lembaga gerejani di KAS. “Nama beliau pun diabadikan dalam beberapa lembaga gerejani, seperti Seminari Tahun Orientasi Rohani Sanjaya Semarang, Pusat Pastoral Sanjaya Muntilan, Yayasan Sekolah Sanjaya, Rumah Sakit Sanjaya Semarang (sedang dirintis). Ini semua mengungkapkan kekaguman dan kebanggaan spiritual pada pribadi Pastor Sanjaya” (Ibid.). “Dengan mengabadikan namanya, umat beriman ingin menghadirkan dan menghidupkan semangat iman dan spiritualitasnya di masa sekarang ini; sekaligus menjadikan Rama Sandjaja pelindung yang diharapkan dan dipercayai akan selalu mendoakan dan melindungi umat beriman,” tegas Mgr. Rubiyatmoko.
Kalau berbicara tentang spiritualitas Rama Sandjaja, tidak lepas dari ketaatan dan kesiapsediaannya pada perutusan dari Allah melalui pimpinan, sikapnya yang wani nggetih, rendah hati mengakui kerapuhan diri, dan mengandalkan Tuhan dalam segala situasi. Semoga para Imam Diosesan bisa MISA (Menjadi Imam Sampai Akhir) seperti Rama Sandjaja, orang suci di hati umat.