Oleh BAPAK JULIUS KARDINAL DARMAATMADJA, SJ
Pengantar
Judul ‘Bicara Dengan Hati’ “tentang kebenaran dalam kasih” (Ef 4:15) tersebut adalah judul dari pesan Paus Fransiskus untuk Hari Komunikasi Sedunia yang diperingati nanti tanggal 21 Mei, Minggu Paskah ke-7, atau Minggu sebelum Hari Raya Pentakosta. Komunikasi adalah salah satu ciri dari hidup kita sebagai manusia. Kita adalah makhluk sosial. Kita hidup dalam keluarga, atau dalam satu RT/RW. Lebih luas lagi kita warga bangsa Indonesia dan warga dunia. Sebagai orang Katolik kita adalah warga lingkungan, warga paroki dan warga Gereja Katolik se-Keuskupan dan anggota Gereja semesta yang dipimpin oleh Paus. Kita hidup tidak sendirian, dan kita menjalin relasi dan berkomunikasi satu dengan yang lain. Sebagai umat beriman Katolik, kita tahu bahwa relasi kita perlu bernafaskan kasih kepada Allah dan sesama. Sehingga komunikasi kita juga bernafaskan kasih satu sama lain. Inilah kualitas standar dari komunikasi kita dengan sesama.
Konsili Vatikan II telah melihat bagaimana relasi kita antar manusia sudah mengalami perkembangan dengan adanya media massa. Sehingga Gereja sudah menerbitkan dokumen yang berjudul “Inter Mirifica.” (lihat https://www.vatican.va/archive/hist_councils/ii_vatican_council/documents/vat-ii_decree_19631204_inter-mirifica_en.html). Untuk meningkatkan kualitas komunikasi kita inilah maka Gereja (Paus Paulus VI) mulai mengadakan gerakan Hari Komunikkasi Sedunia pada tanggal 7 Mei 1967. (lihat https://www.vatican.va/content/paul-vi/en/messages/communications/documents/hf_p-vi_mes_19670507_i-com-day.html). Awalnya menyoroti bagaimana media massa berperan meluaskan komunikasi kita, dan bagaimana dapat menjadi sarana pewartaan. Setelah perjalanannya mengarungi zaman, tahun yang lalu Paus Fransiskus ingin mengajak kita menyempurnakan kualitas diri kita dalam berkomunikasi. Ia menunjukkan bahwa kualitas komunikasi, dan dengan demikian relasi kita satu sama lain, terletak dalam peran dari hati, yang merupakan pusat terdalam dari diri kita manusia. Maka tema tahun lalu adalah “Mendengarkan dengan telinga hati”. Majalah INSPIRASI, Mei tahun 2022 telah menyajikan sebagai tema pokok. (lihat Inspirasi no 213, Mei 2022). Orang mendengarkan, karena ada yang didengarkan, yaitu kata-kata dari orang yang berbicara. Maka Paus Fransiskus dalam pesannya bagi Hari Komunikasi sedunia Mei tahun 2023 sekarang ini (lihat https://www.google.com/search?q=Message+of+Pope+Francis+for+World+Communication+Day+2023&oq=Message+of+Pope+Francis+for+World+Communication+Day+2023&aqs=chrome..69i57j0i546l2.58223j0j7&sourceid=chrome&ie=UTF-8), memberi judul “Bicara dengan hati”, melengkapi saran dan uraiannya tahun yang lalu. Yang berbicara diharapkan dengan hati, demikian pula yang mendengarkan, ia mendengarkan dengan hati pula, sehingga terjadilah sungguh-sungguh apa yang disebut sebagai bicara dari hati ke hati. Ini biasanya terjadi antara mereka yang saling mencintai, antara anak dan ibunya, atau antara sahabat, yang saling membuka diri. Bahkan di lingkungan biarawan-biarawati, relasi Pimpinan Provinsi dengan anggotanya diharapkan begitu erat secara rohani, sehingga anggotanya dapat berbicara dengan hati seluas-luasnya dan sedalam dalamnya, sedangkan Pimpinan Provinsi mendengarkan dengan hati. Sehingga tidak salah atau keliru bimbingannya kepada anggotanya.
Berbicara dengan hati adalah panggilan hidup
Dengan mengambil teks Ef 4:15, jelas bahwa konteksnya adalah: membangun kesatuan Jemaat, atau membangun Tubuh Kristus, yaitu Gereja-Nya. Maka soal mendengarkan dengan telinga hati dan berbicara dengan hati, juga dibahas oleh Paus Fransiskus dalam rangka kesatuan jemaat atau dalam rangka membangun Tubuh Kristus, yaitu Gereja-Nya. Ini merupakan panggilan selama hidup kita, di dunia sebagai umat beriman. Maka ada kaitannya dengan kebenaran iman, dan ada kaitannya dengan kasih.
Dalam menggambarkan kesatuan umat dalam Gereja Katolik, ada tiga gambaran tentang Gereja. Yang satu Gereja bagaikan pokok anggur. Kristus adalah pokok anggur dan kita adalah ranting-rantingnya yang mendapat kehidupan dari pokoknya. (bdk Yo 15:1-6). Gereja juga digambarkan dengan Tubuh Manusia. Kristus adalah Kepala-Nya dan kita semua adalah anggota Tubuh-Nya. (bdk 1Kor 12:12-31. Di situ ada kesatuan hidup dalam kasih, ada harmoni dalam gerak laku. Ada pula solidaritas: kalau satu anggota menderita, anggota lainnya turut merasakannya. Kegembiraan satu anggota menjadi kegembiraan bersama. Kita saling mengasihi sesama anggota dengan kasih seperti Kristus telah mengasihi kita semua. (Bdk Yoh 13:34). Kecuali itu Geraja juga digambarkan sebagai bangunan gedung. Kalau demikian Kristus digambarkan sebagai batu penjuru atau batu sendi. Kita para anggota Gereja adalah batu-batu hidup yang dipakai untuk membangun. Ketiga gambaran tadi memuat soal komunikasi dan relasi antar anggota. Paus Frnsiskus dalam pesan Hari Komunikasi Sosial 7 Mei 2023, memakai gambaran terakhir ini. Maka judulnya: berbicara dengan hati “dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih, sehingga kita tumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala.” Ef 4:15). (Ibid.)
Membersihkan dan menyucikan diri
Karena yang dibangun bukan bangunan gedung, melainkan membangun Tubuh Kristus, yang merupakan panggilan hidup beriman dalam rangka saling mendukung menyucikan diri menuju kesempurnaan, maka kita perlu menyucikan diri, membersihkan hati. Kalau hati bersih, orang dapat menyampaikan kebenaran dengan kasih. Hanya dengan mendengarkan dan berbicara dengan hati murni, orang dapat melihat di balik apa yang tampak di luar, dan mengatasi hiruk-pikuk yang juga terdapat di bidang informasi. Hiruk pikuk di bidang informasi mempersulit kita untuk melihat apa yang sesungguhnya terjadi di dunia kita yang kompleks ini. Maka panggilan untuk berbicara dengan hati secara radikal menantang zaman di mana kita hidup. Karena zaman kita cenderung menjadi tak peduli, dan marah-marah dan terkadang bahkan memalsu atau mengeksploitasi kebenaran. (ibid)
Perlunya menyucikan diri sebagai bangunan rohani, ini juga terdapat dalam surat pertama Petrus. “Karena itu buanglah segala kejahatan, segala tipu muslihat dan segala macam kemunafikan, kedengkian dan fitnah. Dan jadilah sama seperti bayi yang baru lahir, yang selalu ingin akan air susu yang murni dan yang rohani, supaya olehnya kamu bertumbuh dan beroleh keselamatan, jika kamu benar-benar telah mengecap kebaikan Tuhan. Dan datanglah kepada-Nya, batu yang hidup itu (Kristus), yang memang dibuang oleh manusia, tetapi yang dipilih dan dihormati di hadirat Allah. Dan biarlah kamu juga dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani, bagi suatu imamat kudus, untuk mempersembahkan persembahan rohani yang karena Yesus Kristus berkenan kepada Allah. Sebab ada tertulis dalam Kitab Suci: “Sesungguhnya, Aku meletakkan di Sion sebuah batu yang terpilih, sebuah batu penjuru yang mahal, dan siapa yang percaya kepada-Nya, tidak akan dipermalukan.” (1 Petr 2:1-6). Paus sendiri juga secara langsung menegaskan pentingnya menyucikan diri, supaya hatinya bersih. Dari hati yang bersih itu akan muncul tingkah laku yang serba baik. Paus Fransiskus mengambil contoh ajaran Yesus tentang pohon dikenal dari buahnya. (bdk Luk 6:44). Dan mengutip ayat berikutnya: “Orang yang baik mengeluarkan barang yang baik dari perbendaharaan hatinya yang baik dan orang yang jahat mengeluarkan barang yang jahat dari perbendaharaannya yang jahat. Karena yang diucapkan mulutnya, meluap dari hatinya.” (Luk 6:45) (Lihat ibid.).
Berkomunikasi dengan hati
Berkomunikasi dengan hati berarti bahwa mereka yang membaca tulisan kita atau mendengarkan pembicaraan kita, terdorong untuk mengamini partisipasi kita dalam kegembiraan, kecemasan, harapan dan penderitaan sesama pada zaman kita. Mereka yang berbicara dengan cara demikian mengasihi orang lain, karena mereka peduli dan melindungi kebebasan mereka. Cara yang demikian dapat kita lihat dalam kisah murid-murid yang berjalan menuju Emmaus, yang ditemani oleh Yesus yang bangkit. Yesus masih menyamar berbicara kepada mereka dengan hati. Yesus menemani perjalanan penderitaan mereka dengan hormat, lalu mulai menanggapi secara halus, dengan kasih membuka hati dan budinya agar mengerti makna yang mendalam dari peristiwa yang terjadi siang sebelumnya di Golgota. Memang mereka dapat mengutarakan dengan gembira bahwa hati mereka berkobar-kobar ketika Yesus di tengah jalan menjelaskan Kitab Suci kepada mereka.(bdk Lk 24:32) (ibid).
Pada zaman yang ditandai dengan polarisasi dan perbedaan-perbedaan, berketetapan untuk berbicara dan berkomunikasi dengan hati bukan hanya dituntut bagi mereka yang berkarya di bidang media sosial, melainkan harus menjadi tanggung-jawab semua orang. Kita semua terpanggil untuk mencari dan berbicara mengenai kebenaran dan melakukannya dengan kasih. Terlebih kita umat kristiani secara terus menerus dituntut untuk menjaga lidah kita dari yang jahat (bdk Mz 34:13), karena seperti diajarkan oleh Kitab Suci: “Janganlah ada perkataan kotor yang keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia.” Ef 4:29.(ibid.)
Terkadang pembicaran yang bersahabat dapat mencairkan hati yang keras membatu. Hati yang keras dapat dikalahkan oleh kekuatan kasih yang lembut. Kita mengalami hal ini dalam masyarakat yang kasihnya bukan hanya sopan-santun, melainkan tulus sampai ke dalam hati. Ini yang dibutuhkan juga dalam bidang film dan lain-lain. Jangan hanya disuguhkan adegan-adengan kebencian dan kebengisan, balas dendam dan kekerasan. Seyogyanya film dapat mengajak pemirsa untuk berefleksi dalam damai secara kritis, memaknai realitas yang kita hidupi. (ibid.)
Tokoh dan contoh paling ideal
Tokoh yang paling ideal menurut Paus Fransiskus adalah Santo Fransiskus dari Sales, seorang Uskup yang mendapat gelar Pujangga Gereja, dan diresmikan sebagai pelindung para jurnalis. Ia menyampaikan ajaran iman lewat pamflet yang ditempelkan di pohon-pohon dan tembok-tembok kota. Bahasanya lembut dan menarik. Beliau sangat ramah dan berkenan diajak dialog oleh lawan-lawannya. Kebaikan hatinya mempertobatkan banyak orang. Seperti terungkap dalam Kitab Suci: “Suara yang manis mendapat banyak sahabat, dan lidah yang lembut, melipatgandakan teman berkunjung.” (Sir 6:5 terjemahan bebas). Dari 30.000 penduduk kota Chablais ada 25.000 yang kembali ke Gereja Katolik dari mereka yang dulunya mengikuti ajaran Calvinis. Karena prestasinya itu, ia diangkat menjadi Uskup di Geneva (bdk. Mgr. N. M. Schmeiders CICM, Orang Kudus Sepanjang Tahun hal.43-44). Dia menggembalakan Keuskupan Geneva melanjutkan cara jurnalistiknya, yaitu membagikan copy dari tulisan-tulisannya kepada umat. Salah satu pernyataannya yang penting yaitu: berbicara dari hati ke hati. Hal ini telah mempengaruhi generasi berikutnya antara lain dalam diri Santo John Henry Newman, yang punya motto yang sama dalam bahasa latin: cor ad cor loquitur. Salah satu keyakinannya ialah: agar dapat berbicara dengan baik, cukuplah kalau mencintai dengan sungguh-sungguh. Ini menunjukkan bahwa komunikasi tidak boleh dibuat-buat, tidak tulus dan asli, atau untuk mengikuti selera pasar dan lain-lain. Melainkan suatu refleksi jiwa, permukaan yang kelihatan dari inti dari kasih yang tidak kelihatan. Dengan mencintai sungguh-sungguh Santo Fransiskus dari Sales berhasil berkomunikasi dengan Martin, seorang bisu-tuli. Maka Santo Frnsiskus dari Sales juga dikenal sebagai pelindung mereka yang memiliki gangguan untuk komunikasi. Dari sudut pandang kasih inilah, lewat tulisan-tulisannya, lewat kesaksian hidupnya Uskup dari Geneva mengingatkan kita bahwa “kita adalah kita yang tampak dalam berkomunikasi”. Ini berlawanan dengan zamannya, lebih-lebih lewat media sosial, di mana media sosial disalahgunakan, agar dunia dapat melihat kita bukan seperti apa adanya, melainkan seperti yang saya citrakan. Semoga semua orang yang berkarya di bidang komunikasi sosial mendapat inspirasi dari kelemahlembutan, mencari dan mewartakan kebenaran dengan berani dan bebas serta menolak godaan untuk membuat menjadi ungkapan untuk sensasi dan untuk perlawanan.
Penting untuk Gereja sinodal
Mendengarkan dengan hati, dan saling mendengarkan, sangat penting dan sangat dibutuhkan dalam Gereja. Itu merupakan hadiah penyerahan hidup yang amat berharga yang dapat kita berikan satu sama lain. Mendengarkan tanpa prasangka, dengan penuh perhatian dan terbuka, membawa ke arah berbicara sesuai dengan cara Tuhan yang bernafaskan kedekatan, kasih sayang dan kelemahlembutan. Dalam Gereja, kita memiliki kebutuhan yang mendesak untuk komunikasi yang menyalakan hati, yang menjadi obat luka-luka dan menyinarkan cahaya pada perjalanan saudara dan saudari kita. Paus Fransiskus mendambakan adanya komunikasi gerejani yang memahami bagaimana komunikasi itu terbuka menyerahkan diri untuk dibimbing oleh Roh Kudus. Bimbingan-Nya yang lembut dan sekaligus kenabian, yang mampu menemukan jalan dan sarana baru bagi pewartaan yang indah, yang diharapkan disampaikan pada milenium ketiga. Suatu komunikasi yang menaruh hubungan Tuhan dan sesamanya, terlebih yang paling miskin sebagai pusatnya dan yang mengerti bagaimana menyalakan api iman, daripada melestarikan abu referensi-dirinya sebagai identitasnya. Suatu bentuk komunikasi yang dibangun atas kerendahan hati dalam mendengarkan dan mencari kebenaran dan dalam berbicara, yang tak pernah memisahkan antara kebenaran dan kasih. (Ibid.)
Mempromosikan bahasa damai
“Lidah yang lembut mematahkkan tulang” (Amsal 25:16). Berbicara dengan hati sangat pokok untuk memperkuat budaya damai di tempat-tempat di mana ada perang; untuk membukakan jalan untuk dialog dan rekonsiliasi di tempat di mana ada kebencian dan permusuhan. Dalam konteks konflik global kita mengalami bahwa mendesak untuk dipertahankan suatu bentuk komunikasi yang tak bermusuhan. Penting untuk mengatasi kecenderungan untuk mendiskreditkan dan menuduh lawan sejak dari awal. Lebih baik membuka suatu dialog saling hormat. Kita membutuhkan komunikator-komunikator yang terbuka untuk dialog, yang terlibat dalam mempromosikan perlucutan senjata secara integral, berkomitmen untuk membatalkan psikosis berperang yang bersarang dalam hati kita, seperti ungkapan kenabian Paus Yohanes XXIII: “Damai sejati hanya dapat dibangun dari kepercayaan timbal balik (Pacem in Terris no 113). Suatu kepercayaan yang tidak membutuhkan perlindungan atau komunikator tertutup, melainkan komunikator yang berani dan kreatif, yang siap mengambil risiko untuk menemukan pijakan bersama untuk bertemu. Seperti 60 tahun yang lalu, sekarang ini kita hidup dalam saat gelap dimana umat manusia sedang takut akan eskalasi perang yang harus dihentikan secepatnya, termasuk pada bidang komunikasinya. Adalah sangat menakutkan mendengar bagaimana mudahnya kata-kata dilemparkan untuk menghancurkan rakyat atau daerah-daerah. Celakanya kata-kata berubah menjadi tindakan kekerasan yang keji menyerupai perang. Inillah sebabnya semua retorika pihak yang bertikai harus ditolak, demikian pula setiap bentuk propaganda yang memanipulasi kebenaran, membingkainya demi tujuan ideologi. Sebaliknya komunikasi yang harus didukung adalah suatu bentuk komunikasi yang membantu menciptakan situasi untuk menyelesaikan pertentangan pendapat di antara rakyat.
Sebagai umat Kristiani, kita tahu bahwa nasib perdamaian ditentukan oleh pertobatan hati, sebab virus perang datang dari dalam hati manusia. Dari hati datang kata-kata benar untuk menangkal kabut dunia yang tertutup dan terpecah belah, dan membangun suatu budaya yang lebih baik dari apa yang telah kita terima dan miliki. Masing-masing dari kita dimohon untuk ikut mengusahakannya. Tetapi ini secara khusus menggugah rasa tanggung-jawab bagi mereka yang berkarya di bidang komunkasi, sehingga mereka dapat menunaikan profesi mereka sebagai misi. (ibid.)
Penutup
Kalau kedua saran Paus Fransiskus kita usahakan betul-betul, yaitu mendengarkan dengan telinga hati dan berbicara dengan hati, maka kualitas relasi kita sungguh semakin sempurna, sehingga persaudaraan berdasar kasih dalam keluarga, lingkungan atau paroki juga meningkat. Ini semua dapat terjadi kalau hidup sebagai orang beriman dihayati secara mendalam, sampai ke lubuk hatinya. Dalam relasi yang demikian tadi, orang sudah saling menyesuaikan gelombang ‘radar’ hatinya, sampai ke titik di mana mereka akhirnya dapat mendengarkan dalam hatinya, detak jantung partner-nya. Maka terjadilah keajaiban dari perjumpaan tersebut: yaitu, dimampukan memandang satu sama lain dengan kasih sayang dan kepedulian sedemikian rupa, sehingga saling memandang kerapuhan mereka dengan hormat, bukannya dengan mengadili sesuai dengan kata orang. (bdk. ibid.)