Kesadaran mengenai Rumah Indonesia sangat penting dan tidak ada kesulitan bagi umat Katolik untuk memiliki kesadaran itu. Demikian tandas Romo F.X. Eko Armada Riyanto, CM dalam Pra Temu Pastoral (Tepas) Keuskupan Agung Semarang (KAS), 1 November 2022 lalu.
Terlebih jelang tahun politik, Romo Armada menekankan perlunya Umat Katolik mengelola tahun politik. “Artinya, paling sedikit, sebagai umat Katolik ambil bagian untuk memberi kontribusi. Dan salah satu kontribusi kita itu mengingatkan ya, karena kita itu seringkali lupa akan apa yang menjadi pengalaman sejarah tahun politik,” kata Ketua STFT Widya Sasana Malang itu, mengenang peristiwa-peristiwa politik yang kerap menjadi perpecahan seperti jelang pemilihan presiden beberapa waktu lalu.
Menurutnya, kita, manusia Indonesia ramah tetapi kalau sudah mengenai politik atau ideologi, kita berubah sama sekali. “Ada satu buku kecil yang ditulis oleh seorang akademisi di Amerika kalau saya nggak salah menyebut, dia mengatakan begini, mengapa politik dan ideologi itu membuat orang pandai menjadi bodoh? Orang bijaksana menjadi idiot? Sepertinya kok kita semua itu berada dalam disposisi seolah-olah kita kehilangan, katakanlah begitu, rasionalitas dan relasionalitas. Adalah tugas kita untuk mengingatkan pentingnya tata politik yang damai,” kata romo yang mengajar di Universitas Airlangga, Unika Widya Mandala dan Universitas Muhammadiyah di Jawa Timur itu.
Menurutnya, Umat Katolik seperti dalam sejarah Gereja, selalu mengambil sikap yang proaktif, tidak acuh tak acuh, melainkan proaktif. Namun harus diakui seringkali juga tidak sistematis, misalnya dalam memenangkan calon legislatif seringkali kurang terarah.
Pastoral tata damai
Dalam kesempatan itu, Romo Armada juga menyampaikan beberapa fondasi teologis pastoral tata damai. Yang pertama, perikop “Orang Samaria yang Baik Hati” (Luk 10:25-37) yang peduli kepada orang yang terluka, lemah, menderita, termasuk menderita ketidakadilan. “Itu menjadi fondasi yang kokoh di dalam pelayanan dan juga semangat partisipasi kita terhadap tata damai,” katanya.
Kedua, perikop Delapan Sabda Bahagia (Mat 5:1-10). “Inti dari Delapan Sabda Bahagia yang sesungguhnya bukan sabda bahagia tapi ini sabda yang membawa kita kepada kesaksian. Kita menjadi saksi,” katanya. Romo Armada memberi istilah pastoral martyria. “Istilah saya saja untuk mau menguraikan bahwa di dalam situasi yang membutuhkan, orang Katolik memang sungguh-sungguh tidak boleh berpangku tangan. Dan berbahagialah orang yang berpartisipasi ini. Justru kebalikannya, mereka yang mengambil sikap bersembunyi di bilik kamar atau rumah sendiri, itu malahan kurang menunjukkan kesaksiannya sebagai orang Kristen,” ungkap Romo Armada.
Ketiga, dokumen Evangelii Gaudium (Sukacita Injil) yang ditujukan kepada para uskup, imam, biarawan-biarawati, dan awam. Dengan kata lain tidak ada yang terlewat dari ekshortasi apostolik itu. “Inti dari ekshortasi apostolik itu ialah Paus Fransiskus menggarisbawahi atau mendeklarasikan apa yang disebut spiritualitas keterlibatan. Dan kata kunci dari Evangelii Gaudium itu adalah cinta,” katanya. Menurutnya, Paus berharap supaya kita tidak hidup terus menerus pada” masa puasa”. “Kita harus memasuki juga “masa Paskah”, “masa kebangkitan”. Intinya, kita harus mengungkapkan sukacita Injili dalam hidup kita,” kata Romo Armada.
Keempat, Ensiklik Fratelli Tutti. Dokumen tersebut, menurutnya, betul-betul dipelajari oleh banyak orang termasuk di lingkungan Katolik dan non Katolik yang menggarisbawahi spiritualitas perjumpaan dan spiritualitas persahabatan. Menurutnya, keterlibatan di tingkat RT, RW atau di level grass root, sesungguhnya sangat segaris dengan spiritualitas perjumpaan tersebut.
Kelima, dokumen Praedicate Evangelium. Ini adalah dokumen terbaru yang dirilis pada 19 Maret 2022. Ini sebenarnya dokumen yang ditujukan untuk Kuria Romana. “Tapi the bottom line dari dokumen ini ialah supaya entah itu yang namanya paroki, kring, lingkungan, atau lingkup institusional yang lebih tinggi itu kembali kepada semangat Injili, yaitu menghadirkan Kristus di dalam pelayanan di dunia. Di dalamnya tentu juga pada keterlibatan dari kita pada tahun politik ini,” katanya.
Dalam Evangelii Gaudium, menurutnya, orang Katolik didorong untuk mensharingkan sukacita injil. “Jadi, kalau, misalnya, Anda adalah seorang dosen misalnya, tidak hanya mengajar bahan tetapi juga menghadirkan sukacita injil di dalam pengajaran. Nah, itu kan sangat bagus dari sudut kesaksian. Dan juga di antaranya sukacita Injil ini maksudnya adalah untuk semua orang yang tidak mengenal Injil. Jadi, dengan kata lain, lagi-lagi umat Katolik ya seperti juga sudah banyak diwariskan oleh para pendahulu kita, Kasimo, Frans Seda dan sebagainya, yang betul-betul keterlibatan itu tidak mengenal batas,” katanya.
Dalam Fratelli Tutti no 8, lanjutnya, Umat Katolik diminta untuk membangun komunitas yang saling membantu dan membangun mimpi bersama. Hal itu juga bisa diwujudkan dalam lingkup tetangga atau RT. “Hendaknya Anda mengajak tetangga atau sesama untuk bermimpi bersama. Nah ini kalau tahun politik kayaknya menjadi tantangan tersendiri bagi kita untuk bagaimana mimpi kita itu mimpi yang merealisasikan kebaikan bagi semua,” katanya.
Dalam Fratelli Tutti no. 17, lanjutnya, kita diajak untuk peduli terhadap dunia bahkan dalam konteks hidup sehari-hari. Dalam menghadapi kampanye pemilu di mana politik identitas tidak terelakkan, menurutnya, kita harus terlibat dalam tata politik damai.
“Kita sebagai orang Katolik tidak boleh hanya sekadar mengatakan itu buruk, itu jelek, atau apa, tapi masuk di dalam percakapan dan perjumpaan untuk mengelola politik identitas itu secara damai. Itu tidak mudah. Saya sadar betul mengenai politik. Tapi ini juga menjadi komponen dari yang disebut fondasi pastoral tata damai kita. Menghidupkan perjumpaan interpersonal penyambutan yang ramah dan seterusnya,” katanya.
Dalam Fratelli Tutti no. 50 disampaikan tentang dialog. “Dialog itu tidak sekadar ngobrol, ngomong, tapi mencari kebenaran. Mencari kebenaran itu dalam konteks kita, misalnya, ngomongin tentang hal-hal yang pada gilirannya misalnya melawan diskriminasi. Mencegah supaya jangan sampai ada anarkisme dan seterusnya, kerusuhan dan sejenisnya,” ungkap Romo Armada.
Romo Armada juga menekankan salah satu poin dalam Predicate Evangelium yang mengajak kita mempersembahkan pelayanan untuk dunia modern dengan membangun “jembatan-jembatan”. “Nah ini penting. Dan agar kita betul-betul juga bersentuhan juga dengan penderitaan Kristus dalam diri sesama kita. Jadi, pendek kata, mata kita kaya dibuka oleh dokumen ini untuk dikembalikan kepada semangat Yesus sendiri. Semangat Yesus. Yesus kan pada gilirannya harus kita akui redemption atau penyelamatan itu sebenarnya adalah sebuah jembatan. Yaitu jembatan antara manusia dan Allah,” katanya.
Menghidupi Pancasila
Dalam kesempatan itu, Romo Armada juga menyampaikan perlunya menghidupi Pancasila. Pancasila sebagai philosopische grondslag, filsafat fondasi hukum-hukum mesti dijaga. “Kita tahu bahwa ada banyak hukum atau beberapa hukum yang seringkali tidak difondasikan pada Pancasila,” katanya. Dalam situasi itu, menurutnya, orang Katolik layak atau wajib untuk mengkritik atau mengingatkan hal ini. Romo Armada juga mengingatkan perlunya umat Katolik menghidupi Pancasila sebagai pandangan hidup dalam keseharian. Pancasila, menurutnya, sangat dialogal.
Maka, umat Katolik diajak untuk memaknai Pancasila dalam perspektif pengalaman hidup sehari-hari. “Jadi, ini logikanya begini. Kita tidak boleh mengandaikan bahwa seolah-olah masyarakat kita itu tidak mengerti Pancasila, ndak boleh gitu. Kenapa tidak boleh? Karena mereka memiliki kearifan yang membuat mereka bisa mengelola hidup mereka sedemikian rupa. Dan pengelolaan hidup itu menunjukkan prinsip-prinsip keadilan, persatuan, rekonsiliasi, dan seterusnya, yang itu adalah komponen dari makna Pancasila. Saya menyebutnya itu sebagai sebuah kearifan lokal masyarakat yang membangun Pancasila,” jelasnya.
Pancasila di era disrupsi
Tentang era disrupsi ini, Romo Armada menyebutnya, kita sedang memasuki keteraturan baru, ketika hidup manusia terhubung satu sama lain dalam cara yang sangat mendalam dan personal. Pada era ini, menurut Romo Armada, kita juga sedang memasuki era politik otentik. “Era politik otentik itu mudahnya begini. Lihat ada ketidaknyaman atau kesemrawutan yang nyata di suatu tempat, apabila ini di-upload di dalam social media, selanjutnya suara dari social media itu jadi kekuatan baru,” katanya. Dalam hal ini, menurutnya, perkara-perkara tentang otentisitas berada dalam suatu pertarungan. Ada suatu “mesin” yang bisa menggoyang otentisitas dari masyarakat.
“Logikanya apa yang kita pikirkan sebagai benar menjadi keliru. Apa yang kita pikirkan keliru menjadi benar, gitu,” ungkapnya.
Menurut Romo Armada, untuk konteks Indonesia era societas dialogal dari masyarakat yang berdialog itu masih menjadi komponen penting baik di desa-desa maupun di perkotaan. “Dialogalitas menjadi rasionalitas. Artinya dalam maksud bahwa kita kalau mau mencari yang disebut kebenaran itu musti harus juga masuk di dalam apa yang disebut dialogal,” imbuhnya.
Implikasi pastoral damai
Tentang pastoral damai, Romo Armada mengusulkan supaya hal itu dilakukan mulai dalam lingkup terkecil seperti keluarga, lalu merambat ke paroki, keuskupan, bahkan organisasi. Romo Armada juga menekankan pentingnya dialog dalam misalnya, rembug guyub. “Rembug guyub bersama tetangga, misalnya. Rembug guyub rukun tetangga, misalnya. Rembug guyub rukun warga. Yang intinya, pendek kata, di tahun politik atau menyongsong tahun politik kita mesti banyak berkumpul. Kita mesti banyak berjumpa,” katanya.