
“Apa agamamu?
Agamaku adalah air yang membersihkan pertanyaanmu.”
Petikan puisi karya Philipus Joko Pinurbo ini sangat populer di kalangan warganet terlebih ketika mulai jengah dengan menguatnya politik identitas beberapa waktu terakhir ini.
Joko Pinurbo mulai menulis puisi sejak usia 15 atau kelas 1 SMA. Penulis puisi mbeling itu berbagi tentang saat-saat pertama ia menulis puisi dalam Webinar Pendidikan Agama “Apa Agamamu? Agamaku adalah air yang membersihkan pertanyaanmu”, 10 Desember 2022.
“Puisi pertamanya saya lupa-lupa ingat tapi judulnya itu “Kamboja”. Tampaknya karena waktu itu di asrama di samping kapel memang ada pohon Kamboja. Saya menulis puisi tentang bunga Kamboja yang gugur bersamaan dengan dentang lonceng gereja. Lonceng kapel,” kata lelaki yang kerap disapa Jokpin itu. Puisi itu kemudian dimuat di majalah sekolah. “Kamboja itu berduka diterpa dentang lonceng gereja, kira-kira bunyinya hanya itu saja,” kisahnya.
Meski sudah menulis puisi sejak usia 15 tahun, Jokpin baru menerbitkan buku pertamanya pada usia 37 tahun. “Jadi memang perjalanannya panjang. Masa belajar saya panjang. Karena memang tidak mudah menemukan gaya berpuisi yang khas yang akhirnya Anda kenal sekarang ini,” ungkap lelaki kelahiran Sukabumi, 11 Mei 1962 itu.
Jokpin sebenarnya menulis puisi dengan tema yang beragam. Namun, ia mengaku tema nilai-nilai religiusitas adalah yang paling dominan ditulis dalam puisi-puisinya. Ia pun berkisah tentang beberapa puisi yang ditulisnya.
Puisi dengan lirik “Apa agamamu? Agamaku adalah air yang membersihkan pertanyaanmu” pernah diunggah di akun twitternya. “Nah, puisi itu sebetulnya terinspirasi oleh ucapan Gus Dur. Gus Dur pernah mengatakan, kalau kamu berbuat baik kepada orang lain, orang tidak perlu tahu apa agamamu. Tidak perlu tanya apa agamamu. Kalau Anda mendapatkan seseorang di jalan mengalami kecelakaan atau Anda mengalami kecelakaaan ya, lalu ada orang menolong kan Anda tidak perlu tahu agamamu apa kok menolong saya?” ungkap anak sulung dari pasangan Sumardi dan Ngasilah itu.
Menurutnya, kata-kata Gus Dur hendak menegaskan, perbuatan baik adalah perbuatan baik. Kebaikan adalah kebaikan. Tidak perlu dikait-kaitkan dengan agamanya. “Nah, terinspirasi oleh kata-kata Gus Dur itu, lalu saya menuliskan kutipan puisi itu tadi. Baris puisi itu tadi. Apa agamamu?” kata Jokpin.
Pertanyaan tentang agama, bagi Jokpin, adalah pertanyaan wajar sebagaimana orang bertanya asal seseorang. “Rumahmu di mana? Kampungmu di mana? Asalmu dari mana? Agamamu apa? Sebetulnya wajar,” katanya. Namun, itu menjadi bermasalah kalau di baliknya ada motif politik.
“Lalu ini menjadi pertanyaan paling sensitif untuk kita, lebih-lebih di tengah situasi sosial politik yang memanas karena bisa menjurus ke politik identitas. Maka, pertanyaan “apa agamamu?” itu menjadi persoalan besar karena pertanyaan itu saja, itu sudah memposisikan si penanya itu berbeda dengan yang ditanya. Jadi, itu sudah menciptakan jarak dengan pertanyaan itu saja. Nah, orang yang berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan yang universal sebetulnya tidak ingin tercipta jarak hanya karena perbedaan agama,” katanya.
Menurut Jokpin, kita harus jujur bahwa agama masih menjadi persoalan yang sensitif dan kita harus mengakui serta berusaha untuk lebih bersikap bijak mengenai tema agama.
“Tema agama bagi seorang penyair sebetulnya tema yang sangat sensitif, angker, kalau seorang penulis tidak punya siasat berbahasa itu. Tema itu bisa berbahaya. Artinya berbahaya bagi si penulisnya sendiri,” kata Jokpin.
Maka, menurutnya, seorang penulis puisi mesti berusaha menjaga batas aman dalam berkarya terutama ketika menulis refleksi-refleksi kritis.
“Saya itu banyak menulis puisi yang isinya refleksi kritis terhadap praktek kehidupan beragama, tetapi saya berusaha keras menjaga batas aman. Sehingga puisi saya aman-aman saja. Kalau di zaman Orde Baru, saya bisa diperkarakan itu. Nah, tetapi saya menjaga batas aman,” katanya.
Ia pun berpesan kepada para calon penulis supaya memikirkan sungguh-sungguh ketika hendak menulis. “Ini sangat penting, saya katakan kepada para calon penulis atau para penulis muda supaya kalau ingin mengungkapkan suatu tema yang kira-kira sensitif harus dipikir betul tema itu, disampaikan dengan cara bagaimana. Jangan emosionallah karena kalau orang emosional, katanya tidak bisa menulis puisi dengan baik itu. Orang yang marah, yang emosional itu tidak bisa menulis puisi yang baik,” katanya.
Religiusitas
Jokpin pun mengatakan, dalam beberapa tahun belakangan ini salah satu tema yang menonjol dalam puisi-puisi di buku-bukunya adalah ajakan untuk menghayati nilai-nilai religiusitas secara bijak di tengah masyarakat yang majemuk.
Pertanyaan “Apa Agamamu?” dalam puisinya adalah pertanyaan sensitif dalam konteks sekarang apalagi ketika menjelang pemilu. “Pertanyaan itu bisa sangat mengganggu dan bisa menimbulkan perpecahan,” katanya. Bahkan sebelum pemilu pun masyarakat sudah terkotak-kotak karena agama. Hal itu juga terlihat dalam kasus ketika orang mencari kos masih ditanya agama yang dipeluknya oleh pemilik kos. “Itu sebetulnya juga berarti nilai-nilai religiusitasnya belum, belum mengendap,” katanya.
Jokpin, pada tahun 2020, persis sebelum pandemi, menerbitkan buku berjudul “Perjamuan Khong Guan”. Di dalamnya, ada satu bagian khusus berkenaan dengan kaleng Khong Guan yang dikaitkannya dengan situasi aktual. “Agama Khong Guan/Rengginang bersorak/ketika agama-agama menyatu/dalam kaleng Khong Guan//” “Saya kaitkan dengan tema yang aktual pada waktu itu di tengah masyarakat yaitu masalah toleransi. Anda mungkin juga mendengarlah soal itu, masalah toleransi. Beberapa tahun belakangan ini, entah mengapa justru di masa reformasi itu sering terjadi konflik sosial yang sifatnya horizontal, konflik antar kelompok,” katanya. Yang memprihatinkan, menurutnya, konflik itu kadang membawa-bawa label agama.
Inspirasi puisi tentang kaleng Khong Guan ia dapatkan dari K.H. Mustofa Bisri atau yang kerap disapa Gus Mus. “Saya pernah membaca di akun beliau, akun media sosial beliau. Jadi, beliau kedatangan tamu, lalu tamu itu disuguh, disuguh makanan. Kalengnya Khong Guan, isinya rengginang. Dan cerita itu kan menjadi popular. Betulkan? Anda sendiri mungkin juga sering menggunakan kaleng Khong Guan untuk mewadahi makanan apapun. Belum tentu isinya biskuit. Nah, dari cerita Gus Mus yang diposting di akunnya itu, lalu saya terinspirasi, wah, ternyata kita ini kalah bijaksana dengan kaleng Khong Guan,” ungkapnya.
Jokpin menambahkan, Khong Guan adalah penganan yang sangat popular di kalangan masyarakat Indonesia. “Hadir pada hari raya apapun, lebaran, Natal. Hari raya apapun, pokoknya ada kaleng Khong Guan. Dan orang tidak pernah mempertanyakan Khong Guan ini agamanya apa. Asal usulnya apa?” kata Jokpin.
Menurutnya, orang-orang tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. “Jadi, Khong Guan ini punya sifat akomodatif. Dia tidak marah itu ketika biskuit habis lalu diisi dengan rengginang, dengan rempeyek, dengan keripik, dan sebagainya. Nah, oleh karena itu, saya mengambil kaleng Khong Guan ini sebagai ikon mengenai sikap toleran, akomodatif terhadap berbagai perbedaan,” katanya.
Ketika menulis lirik puisi “rengginang bersorak ketika agama-agama menyatu dalam kaleng Khong Guan”, ia merasakan bahwa kaleng Khong Guan mempersatukan masyarakat Indonesia, apapun latar belakang agama dan sukunya. “Semua bisa menikmati Khong Guan dan Khong Guan hadir di dalam hari raya kita masing-masing. Kita tidak pernah mempersoalkannya. Maka, pertanyaannya, bisakah kita sebijaksana dan setoleran, seakomodatif kaleng Khong Guan? Maka, saya membuat serial puisi Khong Guan itu ada 20 dengan berbagai tema,” ungkap Jokpin.
Inspirasi Kitab Suci
Banyak tema besar dan sensitif yang ditulisnya diambil dari benda-benda atau objek-objek kecil sehari-hari yang popular dikenal masyarakat. Celana, misalnya, yang dia jadikan judul dalam salah satu bukunya. “Buku pertama saya kan judulnya “Celana” ya. Judulnya “Celana”. Kebetulan saya menulis serial puisi tentang celana. Pada waktu itu, ya, orang merasa aneh itu ada puisi kok tentang celana. Nah, celana ini juga sebetulnya merupakan refleksi kritis mengenai nilai-nilai religiusitas. Celana. Dari mana inspirasinya? Sebetulnya banyak puisi saya inspirasinya itu dari Kitab Suci. Hanya ketika menjadi puisi itu menjadi tersamar. Pembaca tidak bisa, tidak bisa meraba bahwa itu sumbernya Kitab Suci. Tapi sebetulnya bisa, bisa dirunut,” katanya.
Puisi “Celana” yang ditulisnya terinspirasi dari Injil. “Kalau tidak salah Matius. Ada ayat yang mempertanyakan mana yang lebih penting, tubuh atau pakaian? Pertanyaan lebih jauh, tubuh atau roh? Nah, puisi-puisi tentang celana itu sebetulnya semacam terjemahan dari ayat Kitab Suci dalam bahasa yang lebih simpel dan mungkin lebih mbeling karena saya kan berbicara dengan sekian banyak pembaca yang latar belakangnya berbeda-beda. Celana ini kan pertanyaan mana yang lebih penting, bungkus atau isi? Itu kan bukan tema baru. Di dalam Kitab Suci ada. Saya menerjemahkan ayat itu menjadi serangkaian puisi “Celana” yang sebetulnya pertanyaan mengenai mana yang lebih hakiki dalam hidup ini? Hal-hal yang artifisial atau yang lebih substansial? Mana yang lebih substansial kira-kira itu,” ungkapnya.
Menurutnya, hidup kita saat ini dikacaukan oleh pilihan-pilihan nilai yang kadang terbawa ke yang tidak substansial. “Nah, cuma kan kalau orang membaca Kitab Suci, kesannya dia menerima sabda yang mungkin membuat kita tunduk. Tapi kalau diungkapkan lewat puisi kan Anda masih bisa punya imajinasi, masih ada suasana relaks apalagi kalau itu dibumbui dengan humor, misalnya itu. Jadi, “celana” itu sebetulnya dari Kitab Suci. Kalau saya jelaskan sebetulnya hampir semua puisi saya akarnya ada dari Kitab Suci,” katanya.
Puisi tentang kopi, misalnya, yang sering dikutip, “Kurang atau lebih setiap rejeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi.” Menurutnya, puisi itu merupakan terjemahan dari ayat dalam Injil tentang burung. “Lihatlah burung-burung di udara yang tidak menanam dan tidak menuai tapi dipelihara oleh Bapamu yang di surga.”
“Burung ini rejekinya tidak jelas. Tapi, tetap terbang melompat ke sana kemari bernyanyi riang, menari. Mestinya manusia bisa lebih dari burung. Oleh karena itu kan adanya jangan gelisah karena hari-harimu. Setiap hari punya kesusahannya sendiri. Nah, manusia ini sering stres, sering bunuh diri secara mental karena terlalu dihantui oleh kecemasan-kecemasan mengenai hari esok. Kita sering tidak puas atas apa yang kita miliki, selalu merasa kurang,” katanya.
Dalam puisi “Doa Malam”, Jokpin masih menyinggung tentang burung. “Doa malam//Tuhan yang merdu/terimalah kicau burung dalam kepalaku//” “Jadi, sebetulnya burung dalam posisi saya itu burung dari Injil itu. Nah, maka, saya renungkan bahwa ternyata memang banyak puisi saya yang melukiskan perjuangan manusia menghadapi kesulitan dan lebih dari itu banyak puisi saya yang menarasikan bagaimana manusia tetap harus punya rasa syukur di tengah kondisi apapun. Sebetulnya, inti puisi-puisi saya itu,” ungkap Jokpin.
Jokpin menyampaikan alasannya dalam berpuisi yang kerap menggunakan satire dan humor supaya ada suasana relaks bagi pembacanya. “Ada suasana relaks supaya orang tidak stres menghadapi hidup yang memang penuh dengan kegetiran, sehingga lewat puisi bisa menjadi semacam penghiburan rohani sedikit-sedikitlah begitu,” tuturnya.
Jokpin juga menyampaikan satu puisinya yang “bermain-main” dengan Doa Bapa Kami. Doa Bapa Kami, jelasnya, adalah doa pokok yang tiap hari pasti didoakan oleh orang Kristen. Mudah sekali diucapkan. “Nah, ada satu kalimat yang sangat menggoda saya, yang ternyata itu menjadi problem iman kita. “Dan ampunilah kesalahan kami seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami”. Itu kan satu paket. Satu paket. Tapi sering-sering yang kita ambil hanya “Ampunilah kesalahan kami.” Yang “Kami mengampuni yang bersalah kepada kami” yang sering kita lupa dalam praktek. Padahal mungkinkah kita minta pengampunan dari Tuhan kalau kita tidak bisa memaafkan yang bersalah kepada kita?” katanya. Dari hal itu, Jokpin melihat ada problem penghayatan iman yang sering luput sehingga doa itu kadang menjadi rutinitas saja.
Pada masa pandemi Jokpin menulis buku berjudul “Salah Piknik”. Di dalamnya ada puisi yang menarasikan kisah dalam Kitab Suci berjudul “Yesus Naik Ojek”. “Saya sendiri suka puisi ini. Tapi karena buku ini baru, baru terbit tahun 2021, mungkin belum banyak dikenal. Nah, sebetulnya, puisi “Yesus Naik Ojek” ini ingin menghadirkan kembali sosok Yesus yang merakyat, yang suka bertandang ke rumah orang yang menderita, karena saya melihat bahwa selama masa pandemi ini, banyak orang bisa terselamatkan karena sikap solidaritas. Jadi, Yesus ini sebetulnya semacam personifikasi dari semangat solidaritas yang mengagumkan di antara masyarakat Indonesia ketika masa pandemi. Gotong royongnya, saling membantunya itu luar biasa. Dan itulah yang sebetulnya warta kasih yang memang diajarkan dan diteladankan oleh Yesus,” katanya.
Jokpin mengambil sosok Yesus karena, menurutnya, banyak alter Yesus yang hadir di tengah-tengah kehidupan kita, apapun agamanya, terutama ketika masa pandemi. “Kita merasakan betul. Tidak ada seorang pun yang bisa hidup atau selamat sendirian. Dia memerlukan pertolongan, memerlukan uluran kasih dari sesamanya, apapun agamanya. Nah, saya suka puisi ini karena semula saya mengira ini jangan-jangan orang hanya menangkap puisi ini sekadar ya, puisi yang sifatnya ekslusif untuk kalangan tertentu. Ternyata tidak. Karena teman-teman saya dari berbagai kalangan juga sering membaca puisi ini,” ungkap Jokpin. Demikian juga puisi “Celana Ibu” yang malah favorit dan kerap dikutip kalangan lintas agama.
Menurutnya, puisi “Celana Ibu”, selain dikutip kalangan lintas agama, juga menjadi bahan homili beberapa imam di beberapa tempat. Namun, ia juga pernah mendapat aduan dari pembaca yang menganggap puisi tersebut mengandung unsur SARA, karena menyinggung agama tertentu, peristiwa Yesus di salib seolah dijadikan main-main.
Jokpin pun menjelaskan, sebetulnya puisi tersebut tidak mengandung sesuatu yang baru. “Puisi ini hanya ingin menonjolkan perspektif terhadap peranan Maria sebagai seorang ibu. Itu aja sebetulnya. Saya ingin menonjolkan sosok Maria sebagai seorang ibu sehingga kalau kita ingin menghayati atau mengamalkan nilai-nilai keagamaan ya, kita juga perlu meneladan perbuatan dari Maria. Nah, menurut saya, salah satu sikap religius yang penting itu ya sikap keibuan, menurut saya. Religiusitas itu di dalamnya pasti ada semangat keibuan. Keibuan itu, ya, saya melihatnya dalam diri Maria. Setia menunggui Yesus sampai wafat, sampai mati di salib. Sebetulnya puisi itu ingin menonjolkan itu. Bukan ingin mempermainkan peristiwa penyaliban Yesus. Tapi mungkin ada kontroversial dalam hal cara saya menuliskannya secara mbeling karena tiap Paskah ini dikutip. Pasti. Ribuan. Dan saya sering di-tag, dan nggak saya jawab, karena banyak sekali itu. Dan puisi ini menjadi popular bukan hanya di kalangan orang-orang Katolik tetapi malah di luar Katolik sering-sering dikutip,” katanya.
Puisi tersebut, menurut Jokpin, tidak bisa diterjemahkan karena ada permainan bunyi misalnya, “paskah”, “pas”. “Nah ini, Bahasa Indonesia ini unik. Saya memadukan kadang-kadang penghayatan mengenai agama ini melalui permainan bunyi Bahasa Indonesia. Begitu. Jadi bahasa Indonesia ini unik,” katanya. Puisinya berjudul “Kamus Kecil” juga memadukan permainan bunyi. “Isinya mengenai berbagai filosofi hidup yang saya temukan dalam rangkaian bunyi kata Bahasa Indonesia begitu,” tandasnya.
Puisi tentang religiusitas pun ia tulis dalam buku kumpulan puisi “Latihan Tidur”. “Kita punya istilah yang sangat indah untuk penganut agama, yaitu pemeluk agama. Ini indah sekali loh Bahasa Indonesia itu. Pemeluk agama. Memeluk itu kan menunjukkan adanya kemesraan, kehangatan, tetapi yang sering-sering kita lakukan bukan memeluk agama, tetapi malah membakar agama, memanaskan agama. Padahal Bahasa Indonesia sudah menyediakan sebutan yang sangat indah, memeluk agama. Pemeluk agama itu bagus sekali. Kita berterima kasihlah kepada Bahasa Indonesia karena mendapatkan kosakata yang begitu indah dan dalam maknanya,” katanya.
Meski banyak mengangkat tema religiusitas dalam puisi-puisinya, Jokpin mengatakan kalau itu bukan kekhasannya mengingat dalam sejarah puisi Indonesia juga banyak penyair yang mengerjakan tema-tema keagamaan seperti Chairil Anwar, Sitor Situmorang, W.S. Rendra, dan A.A. Navis. “Dan hebatnya, di dalam sejarah puisi Indonesia, tema keagamaan itu bisa ditulis oleh penyair yang agamanya berbeda. Contoh, Chairil Anwar itu menulis puisi judulnya “Isa”. Itu tentang peristiwa kematian Yesus di salib. Dan puisinya itu dahsyat sekali. Bahkan, bahkan, digubah menjadi lagu gereja kan? Saya pernah ikut menyanyikan dengan koor itu lagu, lagu “Isa” Chairil Anwar untuk mengiringi ini, passio pada Jumat Agung. Itu yang bikin syairnya Chairil Anwar, seorang Muslim,” katanya.
Demikian juga Sitor Situmorang, seorang Kristen Protestan yang menulis puisi “Malam Lebaran”. “Nah, ini saya ingin mengajak Anda untuk belajar bahwa di kalangan para penulis itu sikap terbuka, toleran itu sudah biasa. Dan, mungkin puisi tentang Lebaran yang terbagus ya yang ditulis Sitor. “Malam lebaran”. Hanya satu baris. “Bulan di atas kuburan”. Hanya itu saja,” katanya.
Ia juga memberi contoh Subagio Sastrowardoyo yang menulis puisi “Afrika Selatan”. Puisi itu berisi tentang satire dan sindiran situasi Afrika Selatan yang dilanda politik Apartheid yang mempersoalkan warna kulit. “Semacam gugatan. Sebetulnya gugatannya bukan kepada Yesus, tetapi kepada orang-orang kulit putih Kristen di Afrika Selatan itu. Itu puisi kritis, tajam sekali,” katanya.
Subagio, menurut Jokpin, juga pernah menulis puisi tentang Paskah yang berisi tentang kisah pada hari Paskah, namun orang-orang sibuk berpesta di restoran, sementara banyak orang kelaparan. Puisi tentang religiusitas juga ditulis W.S. Rendra dalam “Nyanyian Angsa”.
Jokpin mengingatkan perlunya kehati-hatian dalam membaca puisi. “Saya ingin mengingatkan kalau membaca puisi itu harus hati-hati. Karena makna yang terdalamnya itu kadang-kadang perlu dipikirkan berkali-kali,” katanya. Jokpin memberi contoh puisi “Nyanyian Angsa” karya W.S. Rendra yang sarat nilai religiusitas yang sudah dipentaskan di banyak tempat dan dalam berbagai kesempatan.
“Jangan salah, puisi “Nyanyian Angsa” itu sebetulnya ajakan supaya agama, supaya Gereja, itu banyak berpihak kepada kalangan yang miskin, lemah, tersingkir, difabel dan sebagainya yang dipersonifikasikan oleh sosok Maria Zaitun atau Maria Magdalena. Jadi, itu bukan puisi pemberontakan kerajaan terhadap birokrasi Gereja, bukan. Spirit utamanya itu sebetulnya ajakan, kemanusiaan supaya para kaum beriman ini punya perhatian yang lebih terhadap mereka yang tersingkir, lemah, menderita, teraniaya dan sebagainya. Itulah spirit puisi Rendra. Kalau kita baca mentah-mentah memang kita bisa salah tafsir, gitu ya. Nah, maka membaca puisi ini ya seperti membaca Kitab Suci juga, Kitab Suci kan isinya perumpamaan-perumpamaan, puisi juga,” katanya.
Menurut Jokpin, salah satu tugas penulis adalah memberikan testimoni refleksi kritis terhadap nilai-nilai kemanusiaan, termasuk refleksi yang ditimba dari penghayatan agamanya.
“Saya juga banyak menimba, tema-tema puisi saya sebetulnya dari tafsir Kitab Suci yang saya baca. Jadi, saya itu tidak pernah kebingungan mencari tema. Tidak perlu berpuasa atau pergi ke gunung, ke pantai. Apalagi sekarang, tiap hari kita bisa mendapatkan renungan harian di berbagai media. Itu, bagi saya, sudah tidak perlu mencari tema. Saya tinggal menjabarkan itu saja menjadi puisi. Itu sudah bisa menulis setiap hari sekarang ini,” tutur Jokpin.
Bagi Jokpin, puisinya bisa disebut sebagai pewartaan iman dalam versi penyair. “Dan iman yang terwartakan dalam puisi-puisi saya adalah iman yang menjangkau semua kalangan meskipun berangkat dari inspirasi yang sifatnya spesifik,” kata Jokpin yang kerap diundang dalam pembacaan puisinya dalam forum lintas agama.