Oleh YOHANNA MARIA, OSF*
Ketika melodi harmoni memunculkan inner power dari aspek spiritual, maka jiwa menjadi optimis. Jiwa optimis memiliki potensi kreatif untuk mengembangkan gagasan menjadi sebuah kontribusi hidup yang bermakna, meningkatkan daya juang dan daya hidup serta menciptakan ruang hening damai dalam batin seseorang. Damai itu bagaikan musik yang mendorong jiwa untuk menari mengikuti irama kehidupan. Dunia baru saja dilanda Covid-19 yang menjadi pandemi kemanusiaan terbesar dalam sejarah di muka bumi. Fatalisme Covid-19 ini membawa dampak ketidakpastian, keputusasaan, bahkan merenggut nyawa berjuta-juta manusia. Bangsa Indonesia tidak luput dari kenyataan ini. Varian Covid-19 masih terus berlanjut. Demikian juga bencana alam masih terjadi seperti gempa bumi, erupsi gunung berapi dan banjir melanda sebagian wilayah negeri ini. Peristiwa sadis pembunuhan yang dilakukan oleh oknum penegak hukum telah menggoncangkan ketentraman jiwa bangsa Indonesia. Realitas ini menjadi warna yang terlukis di hati rakyat menyongsong Pemilu 2024 yang ajang pertarungan politiknya dimulai tahun 2023. Politik dipandang memiliki kemungkinan dan kewajiban untuk mendorong setiap individu memikul tanggung jawab sebagai anggota masyarakat. Semua orang merindukan damai, aman dan nyaman.
Pastoral damai merupakan suatu tawaran jitu di tengah keresahan dan porak poranda jiwa bangsa ini. Di saat mata fisik melihat, mengalami peristiwa realita, langkah berikutnya adalah proses menimbang rasional oleh mata budi, kemudian pertimbangan itu diolah dalam mata hati, sebuah ruang yang berdialog batin dan mengolah hening dalam berkanjang dengan sumber keheningan yaitu Tuhan sendiri, sehingga bisik suara untuk tidak hanya memikirkan diri sendiri dan kebutuhan sendiri diambil tindakannya (Mudji Sutrisno, SJ, 2015).
Damai itu datang dari dalam, dari persatuan mesra dengan Sang Pencipta yang telah mengutus Yesus Kristus menjelma menjadi manusia (Natal). Seorang pewarta harus berani tinggal dalam Kristus Sang Sumber Damai. Tinggal dalam Dia membutuhkan sikap penyangkalan diri (Luk 9:23), membangun kesatuan yang intim dengan-Nya untuk memampukan kita memberikan kontribusi dalam semua bidang kehidupan. Kurangnya kesatuan dan keintiman dengan-Nya membuat hidup ini berat, frustrasi, tidak berbuah, posisi kaku dan berlawanan dengan Injil, konstitusi serta ajaran Gereja. Dengan demikian kita tidak mampu mengenal dan memahami orang lain dengan seluruh latar belakangnya sehingga terjadi perpecahan dan ketegangan antar sesama serta semesta alam. Tinggal dalam Dia yang lahir ke dunia mengembalikan persatuan yang sudah retak bahkan hancur karena Dia adalah Manusia sempurna yang mewujudkan Kerajaan Allah, Sang Sabda yang menjelma menjadi Manusia.
Persatuan dan kesatuan yang intim dengan-Nya akan diperkuat oleh pemahaman yang semakin mendalam tentang prinsip-prinsip hidup beriman kristiani dalam seluruh gerak langkah bermasyarakat dan bernegara karena tanggungjawab politik adalah mengejar kebaikan bersama warga Negara menuju pembangunan masyarakat yang terbuka untuk tujuan yang lebih mulia (Chiara Lubich, Essential Writings, 2007).
Politik juga melayani kesejahteraan bersama dan mengakui pentingnya orang lain, memberi ruang untuk diskusi dan dialog, melindungi pekerjaan sebagai dimensi hakiki hidup sosial, serta menemukan solusi bagi semua yang menyerang hak asasi manusia (Paus Fransiskus, Frateli Tutti Bab V, 2020). Bersatu dengan Kristus melahirkan damai dan keselamatan sesama daripada rasa aman diri, ada relasi keharmonisan persaudaraan, berani berkonfrontasi dengan orang lain sebagaimana dilakukan oleh Yesus (Luk 13: 15-17), tidak berdalih alias mencari-cari alasan, merekayasa alasan, membela diri, mencari pembenaran diri tetapi memiliki keprihatinan seperti Yesus yang prihatin terhadap orang-orang yang berdalih (Luk 14:15-24).
Kesatuan dengan Kristus membuahkan damai dalam jiwa dan seluruh gerak langkah hidup. Ketika hati damai berada dalam Kristus maka pribadi kita menjadi mosaik yang indah lahir dan batin serta memampukan kita terbuka untuk melayani siapa pun tanpa memilih-milih like atau dislike, menebar pesona damai kepada siapa saja. Kita terbuka melayani semua aktivitas karya apa pun, kapan pun dengan menggunakan fasilitas dan sarana apa pun sejauh tidak bertentangan dengan ajaran Injil.
Pastoral damai mendorong jiwa keluar dari diri sendiri untuk menemukan keberadaan yang lebih penuh dalam diri orang lain, berdialog dengan sesama dalam ragam keberbedaan. Santo Fransiskus Assisi menjadi contoh nyata duta damai yang rindu berjumpa dengan Sultan Malik Al Kamil untuk membagi damai yang telah ditemukannya dalam Kristus. Fransiskus berlutut. Pandangannya terarah melampaui mimbar menuju suatu celah kecil yang terbuka dari tenda itu, sehingga terang matahari dapat masuk kemudian dia berdoa:
Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai.
Bila terjadi kebencian, jadikanlah aku pembawa cintakasih
Bila terjadi penghinaan, jadikanlah aku pembawa pengampunan
Bila terjadi perselisihan, jadikanlah aku pembawa kerukunan
Bila terjadi kebimbangan, jadikanlah aku pembawa kepastian
Bila terjadi kesesatan, jadikanlah aku pembawa kebenaran
Bila terjadi kecemasan , jadikanlah aku pembawa harapan
Bila terjadi kesedihan, jadikanlah aku pembawa kegembiraan
Bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku pembawa terang
Ya Tuhan,
Semoga aku lebih ingin menghibur daripada dihibur, memahami daripada dipahami, mencintai daripada dicintai. Sebab dengan memberi aku menerima, dengan mengampuni aku diampuni, dengan mati suci aku bangkit lagi untuk hidup selama-lamanya (Murray Bodo, OFM, 2006).
Sebagai manusia kristiani, kita setia dan tidak lupa bersama dengan yang lain membangun kota duniawi ini sebagai jalan meneruskan karya penciptaan Allah. Pada saat yang sama pekerjaan ini mendekatkan diri kita pada surga baru dan bumi baru (2 Pet 3 :13).
*Penulis adalah biarawati OSF