Oleh BAPAK JULIUS KARDINAL DARMAATMADJA, SJ
Pembukaan
Pengalaman masa lalu, membuat kita semua waspada saat kita memasuki Tahun Politik, menyongsong hajatan Nasional yang sangat penting yaitu Pemilu Serentak, saat kita memilih Presiden dan Wakil Presiden, serta memilih Wakil-wakil Rakyat dan Kepala Daerah. Karena saat itu muncul ungkapan-ungkapan persaingan hebat, sepertinya anak bangsa ini terbelah, dan sulit didamaikan. Terjadi pula pengerahan massa besar-besaran dengan didukung oleh politik identitas. Untunglah bahwa akhirnya ada damai, meski masih terasa adanya polarisasi. Memang umat Katolik terpanggil untuk mendukung dan aktif mengusahakan agar Pemilu nanti tetap terjaga adanya damai, rukun, dan suasana persaudaraan yang kuat. Ada beberapa pihak yang terlibat dalam Pemilu. Pertama, Penyelenggara Pemilu yaitu Komite Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Panitia Pemilih Kecamatan (PPK). Kedua, partai-partai yang menentukan siapa yang akan dipilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden, menjadi Kepada Daerah atau menjadi anggota DPR/DPRD, dan DPD. Ketiga, para pemilih.
Penyelenggara Pemilu
Umat Katolik yang menjadi anggota KPU, Bawaslu, PPK atau relawan pengamat, perlu ikut menjaga agar semua proses pemilihan, menjunjung tinggi kebenaran data. Kebenaran data itu sangat penting. Kalau dibuat dan dikumpulkan secara transparan dan akuntabel, Pemilu akan damai. Perlu dijaga jangan sampai ada tangan-tangan usil yang mencoba mengubah data. Data yang kokoh sejak awal dilaporkan dari instansi paling bawah ke atas sampai akhir, tidak akan menimbulkan percekcokan, syak wasangka yang dapat mencoreng Pemilu yang damai, bersih, adil dan jujur. Lewat kebenaran datalah seseorang dinyatakan menang dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, atau sebuah partai mendapat jumlah kursi di parlemen.
Sangat menggembirakan partisipasi masyarakat sipil terhadap Pemilu yang terungkap dalam konferensi pers hari Minggu (11/12/2022), yang dilaporkan oleh KOMPAS hari Senin (12/12/2022), dalam halaman 1, 15 dan 2. Menggembirakan bahwa mereka sungguh-sungguh mengikuti data verifikasi partai calon peserta Pemilu. Hasilnya bahwa mereka menemukan di beberapa daerah ada perbedaan antara data di kabupaten/kota dengan di provinsi dan tingkat nasional. Hal ini tentu tidak menggembirakan. Tetapi pihak KPU menyatakan bahwa mereka memakai prinsip terbuka dan akuntabel. Kalau benar ada rekayasa data verifikasi calon partai peserta Pemilu dalam tubuh KPU, ini sangat memprihatinkan, karena integritasnya dipertanyakan. Padahal ini baru langkah awal KPU menjalankan tugasnya, dan jalan panjang masih harus dilalui. Bukan tujuan tulisan ini untuk mencari kebenarannya. Tulisan ini hanya ingin mengajak Umat Katolik mengikuti teladan gerak Koalisi Masyarakat Sipil tersebut. Pantas diikuti oleh umat Katolik bagaimana terlibat, dan bagaimana mereka membentuk koalisi, sehingga suaranya cukup kuat dan didengar. Perjuangan Anda semua adalah demi Pemilu yang damai, karena dilaksanakan dengan jujur, adil dan bersih dari manipulasi, menjunjung tinggi kebenaran data.
Partai politik
Sudah waktunya bahwa kampanye yang dibuat partai politik semakin berkualitas, sehingga suasana kampanye tetap damai. Kampanye bukan menjelekkan pribadi pesaing, dan mengunggulkan calonnya sendiri. Ini tidak akan membawa damai, melainkan menyuburkan sikap saling bermusuhan, memecah belah bangsa.
Kampanye yang berkualitas dan membangun adalah menyampaikan gagasan mulia dan cita-cita luhur melayani bangsa dan negara. Dalam rekaman video untuk Seminar Program Pendidikan Reguler Angkatan 63 di Lemhannas RI tanggal 9 Agustus 2022 (bdk https://www.google.com/search?q=menjelang+tahun+politik+di+indonesia&oq=Menjelang+Tahun+Politik&aqs=chrome.2.69i57j33i160l2.21933j0j7&sourceid=chrome&ie=UTF-8), Presiden Joko Widodo mengatakan, “Kita harus mengingatkan para kontestan pemilu agar menjalankan kampanye yang semakin berkualitas dan menyehatkan demokrasi, bukan kampanye gontok-gontokan, bukan kampanye yang merusak tatanan bangsa.”
Kecuali itu tidak usah mengerahkan massa, perlu memakai media sosial yang ada. Presiden Joko Widodo melanjutkan, katanya: “Penggunaan teknologi informasi ini diharapkan dapat melahirkan kampanye yang berintegritas yang menolak penggunaan politik SARA dan politik identitas, yang lebih mengedepankan politik ide dan gagasan, karena yang ingin kita bangun bukan demokrasi pengkultusan, bukan demokrasi idola, tetapi demokrasi gagasan.”
Sangat penting anjuran Presiden, bahwa kita harus melawan adanya politik SARA dan politik identitas. Begitu pentingnya, sehingga beliau bahkan meminta dukungan seluruh bangsa. “Kita memerlukan seluruh dukungan dari elemen bangsa untuk ikut berpartisipasi melakukan pengawasan, agar politik identitas tidak terjadi.” (Ibid). Karena “….. dampak politik identitas tidak hanya berpengaruh pada miskinnya ide dan gagasan yang semestinya menjadi ide dan gagasan, kampanye kontestasi pemilu. Dampak politik identitas, dapat menjadi lebih buruk dari itu, yaitu memecah belah bangsa dan memperlambat perkembangan demokrasi di Indonesia,” kata Kombes Pol. H. Muhammad Sabilul Alif, S.H., S.I.K., M.Si selaku ketua panitia. (Ibid.). Kita umat Katolik sangat mendukung gagasan tersebut, yang tujuannya ingin menjaga agar Tahun Politik dalam suasana damai dan mengadakan Pemilu yang damai pula. Kiranya tetap perlu dijaga pula jangan lagi partai politik memakai politik uang, atau mengadakan serangan fajar, untuk mendapatkan suara.
Para pemilih
Umat Katolik diharapkan tidak absen dalam Pemilu. Satu suara dapat menentukan kemenangan. Dalam memilih, umat diharapkan cerdas dalam menjatuhkan pilihannya. Yang dapat dipercaya adalah data mengenai rekam jejak sebelumnya dari yang akan dipilih. Propaganda dan kampanye dapat menyesatkan kalau tidak dibandingkan dengan jejak-jejak sebelumnya. Yang belum begitu tahu, dapat bertanya kepada tokoh awam yang dapat dipercaya. Dalam pelaksanaan coblosan, umat Katolik diharapkan tetap tenang, tidak membuat gaduh, tetapi cermat mengamati dalam proses penghitungan, apakah jalannya bersih, jujur, menjunjung tinggi kebenaran data. Kalau ada kecurangan, agar berani melaporkan kepada yang berwenang. Tujuan kita adalah menyelenggarakan Pemilu yang damai dan bermartabat karena jujur, adil, transparan dan akuntabel.
Demikianlah pastoral damai menyambut Tahun Politik, dalam jangka pendek sebagai persiapan untuk Pemilu tahun 2024. Semua anjuran pastoral damai sifatnya anjuran dari luar, dan belum menyentuh, apalagi mengubah kualitas damai kita semua sebagai bangsa. Sehingga dapat terjadi bahwa yang akan terlaksana tahun 2024 nanti sama dengan yang sudah-sudah. Namun Pemilu 2024 oleh Presiden dianggap sebagai ujian yang akan menunjukkan sejauh mana negara dan bangsa Indonesia menjalankan demokrasinya. Beliau mengatakan, “Pemilu serentak ini akan menjadi ujian, menjadi ujian yang sesungguhnya bagi bangsa Indonesia dalam menjalankan demokrasi. Bukan hanya sekadar menjalankan mandat reformasi tahun 1998, tapi kita harus dapat menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara dengan demokrasi yang matang.” (bdk. https://www.lemhannas.go.id/index.php/publikasi/press-release/1669-presiden-ingatkan-lima-tantangan-pemilu-2024). Tidak hanya sebagai ujian, melainkan sekaligus momen 2024 dan 2029 akan menjadi tahapan konsolidasi yang penting untuk mencapai kematangan demokrasi di Indonesia. “Dua pemilu ke depan, yakni tahun 2024 dan tahun 2029 harus dapat menjadi tahapan konsolidasi demokrasi. Di mana kelembagaan Pemilu sudah semakin kuat sehingga proses penyelenggaraan pemilu juga turut disederhanakan, terutama dengan melakukan adopsi teknologi digital, dan semakin terbukanya peluang partisipasi elektoral untuk aktif berdialog terkait isu-isu strategis,” (ibid.)
Masih perlu usaha banyak
Sebenarnya sudah sejauh manakah kematangan demokrasi kita? Seberapakah tingkatan demokrasi kita, jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya? Menurut pengukuran Economist Intelligence Unit (EIU) Democracy Index, Indonesia berada di kategori “Flawed Democracy” dengan skor 6,71 menempati urutan ke-52 di dunia dari total 165 negara. Merangkum dari EIU Democracy Index dan Freedom in the World, sudah ada beberapa indeks demokrasi Indonesia yang dinilai sangat baik, yaitu fungsi pemerintah, partisipasi politik, proses pemilu dan pluralisme, kebebasan sipil, otonomi personal dan hak individu. (bdk. ibid.). Banyak kemajuan, tetapi masih banyak lagi yang harus dikejar. Ini dipandang dari sisi demokrasi. Masih ada lagi ukuran yang lebih tepat mengenai damai yang dapat dipakai, yaitu Global Peace Index (GPI) 2022. GPI 2022 menunjukkan 5 negara yang paling damai yaitu Islandia, New Zealand, Irlandia, Denmark dan Austria. Sedangkan 5 negara yang paling tidak damai, yaitu Afganistan, Yemen, Syria, Rusia dan Sudan Selatan. Indonesia jatuh pada nomor 47 dari 163 negara yang diukur. Masih kalah dari Singapura (no 9), Jepang (no10), Malaysia (no18), Taiwan (no 30), Korea Selatan (no 43), Vietnam (no 44). (Lihat visionofhumanity.org/maps/#/). Jadi memang jelas, masih perlu ditingkatkan mutu demokrasi kita.
Khusus mengenai partai politik, Mochammad Farisi, LL.M, Dosen FH UNJA & Direktur PUSAKADEMIA (Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan) menyampaikan resolusi politiknya, bahwa rakyat mempunyai hak mendapatkan calon pemimpin yang berhikmat kebijaksanaan (https://www.unja.ac.id/resolusi-politik-2022-hak-rakyat-mendapatkan-calon-pemimpin-ber-hikmat-kebijaksanaan/). Resolusi ini beliau sampaikan mengingat mutu anggota partai dianggap rendah. Survei LIPI 2018: DPR dan Parpol jadi Lembaga Bercitra Negatif (cnnindonesia.com), Survei LSI 2021 soal Kepercayaan Publik: DPR dan Parpol Urutan Paling Buncit (tempo.co), Survei Indikator Politik Indonesia (IPI) 2021: Tingkat Kepercayaan pada DPR dan parpol Terendah (republika.co.id). Ia mengatakan, “Kalau mau bangsa ini maju maka yang harus dibenahi pertama kali adalah kualitas partai politiknya. Cara merubahnya adalah dengan merivisi UU parpol itu sendiri, wabil khusus pasal terkait proses seleksi kepemimpinan.” (ibid.). DPR-lah yang sangat menentukan baik buruknya bangsa kita, karena DPR-lah yang membuat regulasi yang mengatur hajat hidup suluruh bangsa, controling atau mengawasi tugas-tugas pemerintah dan terakhir budgeting atau menyusun anggaran untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat. (Ibid.)
Damai memang bukan asal tidak ada perang, atau tiadanya kekerasan fisik. Namun adanya kesejahteraan rohani dan jasmani, disertai hidup dalam persaudaraanlah yang membuat orang sungguh damai. Memang masih ada teroris yang bersembunyi, yang secara berkala dapat memunculkan bom bunuh diri. Kompas (9/12/2022) menurunkan berita “Separuh lebih penduduk tak mampu makan bergizi”. Itu dimaksudkan 68% penduduk. Jumlah orang miskin resminya di Indonesia sekitar 26 juta. Mereka ini hidupnya kurang damai. Apalagi kalau masih ada ketidakadilan dan tindakan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), di situ tidak ada damai. Itulah sebabnya maka Paus Fransiskus menyampaikan pesan untuk Hari Perdamaian Sedunia pada tanggal 1 Januari 2015 dengan judul: “Tak ada lagi budak, melainkan saudara dan saudari.” Dipakainya judul “Tak ada lagi budak…”, justru menunjukkan bahwa masih banyak yang hidupnya tidak damai, karena hidup dalam “perbudakan” terselubung. Di Indonesia sebenarnya juga masih banyak orang yang terpaksa hidup dalam dunia prostitusi karena kemiskinannya. Demikian juga untuk keluar dari kemiskinan ada yang mendaftarkan diri untuk menjadi tenaga kerja. Banyak dari mereka tahu-tahu kehilangan kebebasannya, dan bekerja keras tanpa mendapat imbalan selayaknya, sehingga yang dialami mirip dengan perbudakan. Ada yang lebih jauh lagi, yaitu mereka tidak hanya diperdagangkan organ tubuhnya, tetapi juga dirinya.
Penutup
Masih banyak pekerjaan rumah yang harus kita perjuangkan, agar hidup berbangsa dan bernegara semakin adil, jujur, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, sangat peduli dan membantu mereka yang miskin dan terpinggirkan. Demokrassi makin berkualitas, demikian pula persaudaraan nasional. Bagi kita bangsa Indonesia yang berazaskan Pancasila, kita sudah dalam jalan yang benar menuju kesejahteraan hidup yang adil dan merata. Kalau bangsa dan negara sejahtera, maka tercapai pula kehidupan yang damai dan sejahtera. Maka, pastoral damai tidak hanya diusahakan pada saat Pemilu saja, melainkan menjadi usaha sepanjang masa, menekuni hidup yang takwa kepada Allah (sila 1), yang bersaudara (sila 2) dengan sesama warga bangsa (sila 3), dan Pemerintah bersama DPR mengatur (sila 4 dan 5) bagaimana kemiskinan dapat dihapus dari bumi Indonesia, sampai semua orang sejahtera dengan semboyan tak seorang pun sejahtera sampai setiap orang sejahtera. Ini baru namanya damai.
Bagi umat Katolik yang sedang merenungkan masa Natal 2022 dan Tahun Baru 2023, pastoral damai dapat kita fokuskan dengan penuh syukur pada kenyataan bahwa kelahiran Yesus justru wujud kasih Allah yang memprihatinkan manusia yang berdosa, yang membangun masyarakat yang dicemari oleh kuasa dosa sehingga melahirkan nafsu keserakahan terhadap kuasa, harta dan kekayaan; melahirkan korupsi, penipuan, pemalsuan, pencurian; perdagangan manusia dan pelecehan seksual, sikap eksklusif, curiga terhadap orang lain, benci sampai melukai atau membunuh yang dianggap musuh.
Natal adalah awal kepedulian Allah untuk memperbaiki manusia yang berdosa dengan situasi kedosaan masyarakatnya tersebut, menjadi manusia baru yang juga akan melahirkan masyarakat yang baru, yang damai sejahtera. Rahmat ini bukan khusus untuk umat Kristiani saja, melainkan terbuka bagi semua hati nurani yang baik, seperti telah Allah berikan kepada para gembala domba yang sederhana dan kepada 3 Sarjana dari Timur, yang hatinya terbuka untuk rahmat Natal tersebut. Mereka telah mewakili dan mendahului semua orang yang tidak beragama Kristiani. Natal adalah awal tindakan Allah untuk membawa damai dengan Allah dan dengan sesamanya termasuk dengan lingkungan hidup, rumah kita bersama. Awal Natal di Bethlehem ini akan dipuncaki di Yerusalem, di mana Yesus sengsara dan wafat di salib untuk menebus dosa kita untuk perdamaian paripurna. Tetapi ketiga harinya, Ia bangkit mulia. Di Yerusalem pula Yesus naik ke surga dengan mulia, lalu mengutus Roh Kudus datang di Yerusalem mencurahkan segala rahmat untuk pembaruan hidup sebagai manusia baru, yaitu anak-anak Allah dalam Yesus Kristus. Bersama dengan umat beragama lainnya, mari kita bersama-sama membangun negara dan bangsa kita tercinta dengan menghayati Pancasila yang diterangi iman kita masing-masing.