Tidak Hanya bagi Gereja,  Konsili Vatikan II adalah Anugerah bagi Seluruh Umat Manusia

Bagi kami orang Muslim di Indonesia, Konsili Vatikan II itu tidak mudah dipahami dan jika betul-betul dipelajari merupakan anugerah. Anugerah tidak hanya bagi umat Katolik atau di dalam Gereja, tetapi anugerah bagi seluruh umat manusia. Demikian Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Prof. Dr. Phil. Al Makin, S. Ag., M.A. menyampaikan hal tersebut dalam Sarasehan Perayaan Syukur 60 Tahun Berkah Pembaharuan Konsili Vatikan II di  Seminari Tinggi Santo Paulus, Kentungan, Yogyakarta, 15 Oktober 2022.

Menurutnya, setelah Konsili Vatikan II, setelah tahun 1965, hampir semua pemimpin agama di dunia, dan itu bisa dirasakan di Indonesia, banyak yang terinspirasi . “Tentu saja, dokumen itu sangat besar, ya. Sampai hari ini dokumen itu masih terus diterjemahkan dan dikontekstualkan dalam dunia yang berubah. Tetapi beberapa pernyataan, beberapa dekrit menggaung. Dan itu bisa dirasakan pada kalangan umat Islam di Indonesia,” katanya.

Bagi Makin, Gereja Katolik merupakan Gereja yang sudah sangat tua, melewati masa kuno, masa Romawi dan Yunani, masa runtuhnya Romawi Barat dan Timur, masa Dinasti Abbasiyah dan Ummayah, masa kolonialisme Eropa, dan masa pasca Perang Dunia II. “Maka, saya kira, Gereja Katolik, saya kira banyak para cendekiawan yang sepakat, merupakan urgenisasi keagamaan di dunia yang menunjukkan kelenturannya dan perubahannya dari satu zaman ke zaman yang lain. Dan itu tidak ada duanya,” kata Makin. Dia pun menyampaikan beberapa agama telah mengalami fragmentasi.

Pasca kolonialisme di Asia dan Afrika, menurutnya, manusia mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang pesat sehingga menguasai planet bumi. “Bahkan menghancurkan spesies-spesies yang lain, baik berupa tumbuhan dan binatang,” katanya. Menurutnya, itu adalah sisi lain negatifnya era globalisasi dan era industrialisasi. Melihat situasi itu, menurutnya, Konsili Vatikan II sangat relevan dalam kondisi saat ini.

“Maka, kembali kepada semangat Konsili Vatikan, sangatlah relevan terutama saat ini dunia sudah sangat menyatu, era digital sebagaimana tadi disinggung, saat ini penuh dengan era kompetisi dan rivalitas,” ungkapnya.

Maka, bagi Makin, Konsili Vatikan II merupakan berkah tidak hanya bagi umat Katolik, tetapi juga di luar Katolik, bahkan yang tidak beragama. “Baik yang mempunyai gereja, yang mempunyai masjid, pura, wihara, atau tidak mempunyai tempat ibadah. Karena, bagi kami, membaca dari luar, Konsili ini merupakan pengakuan akan yang lain,” katanya.

Menurutnya, sudah terbukti bahwa umat beragama itu tidak bisa mandiri, harus bersinggungan, harus bersahabat dan harus bersama-sama dengan umat agama lain bahkan umat yang tidak beragama.

“Maka, menciptakan perdamaian, persaudaraan itu dilakukan dengan iman yang berbeda dan itu merupakan keharusan,” katanya.

Makin melihat, Konsili Vatikan II menjadikan bahasa Latin bukan satu-satunya, baik di dalam misa, di dalam bahasa liturgi dan ibadah yang lain. Ia juga melihat terjadinya perubahan otoritas yang bersifat lebih kolegial di dalam Gereja. Kaum awam di dalam Gereja dilibatkan.

Menuru Makin, ada dua pernyataan dalam Konsili Vatikan II yang bagi umat Islam di Indonesia sangat relevan yakni adalah Nostra Aetate dan Dignitatis Humanae. “Yaitu bagaimana sikap kita terhadap orang yang beragama lain dan bagaimana memperkuat persaudaraan antar umat manusia. Saya kira, kita semua beruntung, sangat beruntung. Menurut saya, harus bersyukur ya, karena dunia saat ini betul-betul membutuhkan tauladan, contoh. Dan contoh itu bisa kita jumpai, hampir semua umat beragama dan tidak beragama pada Paus Fransiskus saat ini,” katanya.

Makin pun menunjukkan semangat keterbukaan dan persaudaraan Paus Fransiskus pada yang bukan Katolik. “Pertama, laku beliau yang secara simbolik mencuci kaki di luar Katolik, bahkan termasuk para imigran Muslim yang ada di Eropa ini mempunyai impact yang luar biasa bagi kami. Artinya, sikap keterbukaan beliau itu tidak hanya dogma, tidak hanya teori tetapi betul-betul dilakukan. Dan menurut saya kita harus mensyukuri adanya tauladan. Karena kita saat ini sedang krisis tauladan, baik di dunia maupun di Indonesia. Dan kalau kita pikir-pikir juga, kita juga sangat beruntung, berkah dari Gereja Katolik,” ungkap Makin.

Dalam konteks sejarah Indonesia, Makin melihat, hampir semua romo Katolik menjadi romo bagi bangsa Indonesia dan orang-orang di luar Katolik. Ia pun menyebut beberapa romo yang ikut andil dalam sejarah Indonesia.  “Tentu saja kita mengenal Romo Albertus Soegijapranata. Beliau betul-betul romo bagi bangsa,” katanya, selain menyebut Romo Soegijapranata yang juga bersahabat dengan Presiden Soekarno. Ia juga menyebut Romo Driyarkara yang bersahabat dengan  Munawir Sadjali. Dan ia juga menyebut Romo Mangunwijaya yang dekat dengan rakyat kecil.

Saat ini, ia melihat Romo Katolik tidak hanya hidup bagi umat Katolik. “Tetapi juga bagi para anak-anak muda Muslim seperti Romo Magnis Suseno dan Romo Mudji itu sendiri. Coba kita lihat para aktivis LSM, NGO (Non Goverment Organization) di Indonesia, para aktivis politik muda di Indonesia, anak-anak muda yang sangat idealis rata-rata mereka bersahabat, dilindungi, dan juga mengikuti laku para romo. Ini adalah anugerah juga bahwa Konsili Vatikan II tahun 1965 ternyata di Indonesia itu sudah diwujudkan dalam laku nyata para romo di Indonesia,” imbuhnya.

Sebagai orang Indonesia dan Muslim, Makin mengaku banyak belajar dari para romo dan dibimbing oleh para romo. Bahkan dia mengatakan hampir semua pemimpin Indonesia di level nasional itu bisa dikatakan bersinggungan, berdiskusi dan juga terinspirasi bahkan dibimbing secara langsung oleh para romo. “Saya kira tidak ada pemimpin Indonesia yang tidak mengalami pendidikan baik formal maupun informal, lewat seminari, lewat misalnya di Yogya adalah Kelompok Studi Realino dan lain-lain,” katanya.

Menurutnya, itu semua merupakan berkah dari Konsili Vatikan II. “Dan saya kira, Konsili itu menunjukkan kelenturan Gereja, kelenturan dogma agama, dan juga kelenturan para pemimpin agama. Dan ini saya kira menginspirasi para tokoh, terutama di Indonesia untuk melakukan hal yang sama terutama setelah perjuangan kemerdekaan Indonesia, kemudian perubahan politik, sosial dan ekonomi Indonesia. Dari waktu ke waktu sepertinya para tokoh Muslim di Indonesia merespons secara langsung maupun tidak langsung pada Konsili Vatikan II. Minimal secara spirit,” katanya.

Konsili ekumenis ke-21 yang dihadiri oleh 2500 uskup dari seluruh dunia menghasilkan 16 dokumen yang terdiri dari  4 konstitusi (tentang Liturgi, Gereja,  Wahyu Ilahi, dan Gereja dalam Dunia Modern), 9 dekrit (tentang Upaya-upaya Komunikasi Sosial, Gereja-gereja Timur Katolik, Ekumenisme, Tugas Pastoral para Uskup dalam Gereja, Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius, Pembinaan Imam, Kerasulan Awam, Kegiatan Misioner Gereja, dan Pelayanan dan Kehidupan para Imam), dan 3 pernyataan (tentang Pendidikan Kristen, Hubungan Gereja dengan Agama-agama Bukan Kristen, dan Kebebasan Beragama). Menurut Makin, dokumen tersebut sulit dipelajari, tetapi sangat mungkin diterjemahkan di dalam laku.

Sebagai orang yang dididik secara Islam dan cukup ketat di pesantren dan kampus IAIN, Makin merasa beruntung karena ia sempat berdinamika di seminari dan beberapa komunitas Katolik. “Saya sempat di seminari sini dan juga di Kota Baru, di Kolsani dan juga sempat di Mrican, saya merasa sangat beruntung,” katanya. Katolik, baginya, adalah tempat belajar bagi banyak agama karena usia dan pengalaman.

 

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *