Konsili Vatikan II Memberi Horizon bagi Gereja dan Dunia Pendidikan

Aggiornamento atau Konsili Vatikan II adalah spiritualitas dan gerakan. Romo C.B. Mulyatno, Pr menyampaikan hal tersebut dalam Sarasehan Perayaan Syukur 60 Tahun Berkah Pembaharuan Konsili Vatikan II di  Seminari Tinggi Santo Paulus, Kentungan, Yogyakarta, 15 Oktober 2022.

“Spiritualitas itu gerakan dari dalam. Lalu gerakan kehidupan keluar. Keluar itu bukan “jalan-jalan”. Tapi keluar itu untuk menimba daya-daya yang luar biasa di tengah dunia untuk membaharui diri. Kalau di dalam itu sebagai komunitas Gereja, kalau di luar itu sebagai komunitas manusiawi yang terus belajar dan saling belajar. Maka, aggiornamento itu adalah (semangat, red) komunitas yang bejalar terus menerus, membarui diri,” kata Romo Mulyatno.

Romo Mulyatno mengaku menghayati spiritualitas Konsili Vatikan II untuk membarui diri. “Saya menghayati spiritualitas Konsili Vatikan II itu sebenarnya semangat untuk membarui diri. Itu artinya apa? Rekreasi. Jadi, ya harus rekreasi, gembira. Karena kalau tidak gembira, tidak bisa belajar apa-apa. Jadi gembira, iklim kegembiraan, persahabatan itu sebagai suasana supaya orang memiliki semangat membangun diri. Kalau orang itu mengeluh terus menerus maka tidak mungkin akan bisa belajar sesuatu,” katanya.

Romo Mulyatno melihat, jika dulu banyak menutup diri dan “pengap”, setelah Konsili Vatikan II, Gereja membuka diri bahkan dalam dunia yang “cair” dan “lentur”. “Sekarang membuka (diri). Justru dalam perjalanan 60 tahun ini Gereja yang sebagai komunitas formatio, komunitas  belajar itu hidup dalam arus dunia yang cair,” katanya.

Romo Mulyatno melihat, Konsili Vatikan II berdampak pada dunia pendidikan melalui salah satu dokumennya “Gravissimum Educationis”. Gereja hadir melalui pendidikan bahkan kesehatan. “Dan setelah 60 tahun, memang pendidikan makin maju,” katanya.

Sekarang ini, menurutnya, angka buta huruf sangat kecil. Afrika dan Asia sudah terdidik. Indonesia mencanangkan pendidikan dasar sampai tingkat SMP. “Artinya dari sisi itu, Konsili Vatikan II bekerja sama bukan sendirian, karena Gereja masuk untuk saling bekerja, saling bersaudara dan membangun dunia, belajar saling belajar, itu yang terjadi,” katanya.

Namun, menurutnya, yang terjadi dalam konteks Indonesia, Gereja dan pendidikan masuk dalam arus yang “lentur”. Dalam perkembangannya, ia melihat pendidikan di sekolah-sekolah Katolik dan keluarga terseret dalam arus yang sangat kognitif.

Dalam kondisi itu, Gereja masuk dalam arus rivalitas. “Gereja yang mengembangkan pendidikan itu larut dalam arus rivalitas individualisme yang sangat kuat. Jadi, ikut lomba-lomba, bukan kehidupan dirayakan sebagai festival seni, tapi lombanya apa? Science, lombanya itu biologi, IPA, Matematika. Ada berbagai lomba yang membuat orang saling mengalahkan, dan itulah sebenarnya benih-benih “perang”. Jadi, pendidikan itu memasukkan orang untuk bersemangat “perang”, bukan semangat persaudaraan dan kasih. Dan bahkan sekolah-sekolah Katolik senang kalau sekolahnya mendapat ranking. Sehingga anaknya yang ditindas. Orang tuanya yang ditindas. Itu juga yang dikritik oleh Romo Mangun dengan pendidikannya itu,” katanya.

Menurutnya, dalam konteks Indonesia, mestinya Gereja-pendidikan memberi kontribusi ke-binekatunggalika-an. “Ini keragaman. Bukan menonjolkan satu sama lain untuk berlomba dan rivalitas mencari juara itu. Karena setiap orang semestinya juara menurut kemampuan, bakat dan anugerah dari Tuhan masing-masing,” katanya.

Romo Mulyatno mengingatkan Gereja supaya tidak kehilangan identitas dalam arus zaman yang sangat “cair dan lentur”. Dalam hal ini orientasi pendidikan cukup penting. “Nah, maka Konsili Vatikan II saya kira ini spiritualitas untuk terus belajar bertumbuh, lalu membaharui diri, mengembalikan pada horizon. Jadi, Konsili Vatikan II itu memberi horizon, memberi arah, arah hidup injili dalam spiritualitas cinta kasih, bersaudara, bersetia kawan, dan selalu memiliki hati untuk orang-orang miskin dan sederhana. Dan itu, ekspresi semacam itu adalah ekspresi kemanusiaan. Bukan hanya ekspresi kemampuan intelektual, tapi sentuhannya pada hati. Kalau Gereja mau masuk dan menjadi agen atau menjadi bagian dari dunia yang bersaudara dan memberi kontribusi yang besar, maka, orientasi horizon pendidikan perlu diubah,” katanya.

Sekarang ini, sambungnya, pemerintah telah mengeluarkan kurikulum merdeka belajar. “Tapi problemnya, guru-guru, mentalitasnya yang belum merdeka. Jadi, rivalitas masih tetap hidup diam-diam. Dan yang dipilihi nanti kalau seleksi sekolah-sekolah itu ya anak-anak yang pintar,” katanya.

Padahal, menurutnya, sudah jelas kalau pendidikan dasar di Indonesia untuk semua anak yang berkarakter Indonesia, yang bersetia kawan, ber-kebinekatunggalika-an, saling menghargai dan peduli, termasuk peduli kebineka-ragaman suku, ras maupun budaya.

“Bukan pertama-tama berorientasi pada rivalitas dan kejuaraan itu,” katanya. Mestinya, menurutnya, Gereja dan komunitas pendidikan memberi orientasi. “Gereja dan komunitas-komunitas pendidikan memberi makna orientasi sehingga perjalanan Gereja itu perjalanan untuk memberi makna, memberikan kontribusi pada kehidupan yang semakin berkualitas dan integral,” pungkasnya.

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *