Menyambut peringatan 25 tahun Santa Teresa dari Kalkuta yang jatuh pada tanggal 5 September 2022, Kerabat Kerja Ibu Teresa (KKIT) mengadakan Novena Mother Teresa yang dimulai pada 27 Agustus 2022. Novena diselenggarakan secara hybrid. Pembukaan Misa Novena dipimpin oleh Uskup Keuskupan Bandung, Mgr Antonius Subianto Bunjamin, OSC di Bandung. Berikut ini adalah petikan homilinya.
Saudara-saudari yang terkasih,
Pernah seorang pastor bercerita kepada saya bagaimana pada suatu hari menyaksikan ada pertemuan di Vatikan, di mana setiap orang memberi sambutan. Dan pada saat itu juga Bunda Teresa dari Kalkuta diminta untuk memberi sambutan. Tentu banyak orang menantikan apa yang dikatakan sambutannya.
Beliau naik, lalu setelah di atas, dia hening sejenak, lalu langsung berkata, “Saudara-saudari, kalau Saudara-saudari, kita, mau bertemu Yesus, berjumpa dengan Yesus, temuilah dalam diri orang miskin. Sekian. Terima kasih!” Hanya itu. Kata-kata yang singkat itu membuat orang termenung. Kalau sungguh mau bertemu dengan Yesus, temuilah Yesus di dalam diri orang miskin.
Saudara-saudari yang terkasih,
Kadang ada orang yang berbasa-basi. Dan basa-basi itu sebetulnya adalah upaya kita mengendalikan diri demi hormat pada sesama. Aspek negatif dari basa-basi adalah orang mungkin tidak menyampaikan informasi atau fakta yang sebenarnya. Demi sopan santun dan terjaganya pergaulan, kita bisa mengorbankan kebenaran dan kebaikan demi basa-basi.
Lebih parah lagi orang bisa menyembunyikan sesuatu lewat basa-basi. Dalam mewartakan Injil, kita diundang untuk mengutamakan kebenaran, bukan basa-basi. Maka, contoh ilustrasi tadi, Bunda Teresa berbicara sambutan, bukan basa-basi. Terima kasih kepada ini…, yang terhormat…, yang terhormat…, yang mulia dan lain sebagainya. Panjang sekali urutan terima kasih…, terima kasih… Tapi pesannya apa? Maka, yang dikatakan oleh Bunda Teresa sangat jelas menohok semua hadirin. Kalau mau berjumpa Yesus, temuilah dalam diri orang miskin.
Bunda Teresa berjumpa dengan Yesus dalam ekaristi, maka ia meminta juga para pengikutnya setidak-tidaknya satu jam sehari untuk adorasi ekaristi. Perjumpaan dengan Yesus dalam Sakramen Mahakudus dilanjutkan dalam perjumpaan dengan Yesus di tengah perjalanan, perjuangan hidup manusia yang terkapar di mana Yesus mengumpamakan diri.
Saudara-saudari yang terkasih,
Dalam Injil, Yesus menegur orang Farisi yang mau menyombongkan diri seakan-akan merekalah yang paling terhormat dan bermartabat. Penuh basa-basi kehidupan mereka itu. Mereka berusaha menduduki tempat-tempat terhormat, seolah tak ada orang lain yang lebih terhormat. Yesus mengritik orang Farisi karena disposisi batinnya yang mau merendahkan orang lain dan meninggikan diri, bukan dengan perbuatan terhormat , tetapi dengan jabatan sosial. Di sana mereka ingin menikmati keistimewaan, privelege, karena statusnya, bukan karena jasanya. Mereka mau menerima pelayanan khusus sebagai hak karena posisi sosial dalam masyarakat, bukan karena layak mendapat perlakukan prioritas. Orang Farisi berbasa-basi secara negatif.
Perkataan dan perlakuannya dibuat sedemikian rupa untuk mendapatkan pamrih agar dikenal sebagai warga terhormat, golongan bermartabat yang pantas mendapat penghargaan dan pengakuan. Mungkin zaman itu mengharap juga mendapat hadiah Nobel. Itulah pencitraan secara negatif. Pencitraan itu kan baik, tapi ada yang secara negatif yang dikecam oleh Yesus karena menganggap diri terpenting hingga tak membuka hati pada sesama dan pada Allah yang hadir di dalam diri sesama dan lebih penting lagi Allah yang hadir di dalam diri Yesus.
Di samping itu, Yesus mengingatkan orang Farisi akan pamrih yang dilakukan sewaktu berbuat baik. Mereka melakukan pekerjaan, bisa jadi amal kasih untuk apa? Demi mendapatkan sesuatu. Mereka mengundang supaya pada suatu hari diundang. Maka, Yesus menantang mereka untuk keluar dari basa-basi yang penuh pamrih dengan cara melayani sesama yang tak mungkin memberi balasan apapun yaitu mengundang mereka yang miskin, cacat, lumpuh, dan buta.
Kalau mereka mau mengundang Yesus, mengapa mereka tidak mau mengundang orang miskin, cacat, lumpuh, dan buta yang kepada mereka Yesus mengidentifikasikan Diri. Yesus mengidentifikasikan Diri dengan, dalam perumpamaan Yesus tentang pengadilan terakhir pada Matius 25, di mana Yesus mengidentifikasikan dalam diri saudara-saudari yang paling hina, yang lapar, yang sakit, yang berada di dalam penjara, yang telanjang.
Saudara-saudari yang terkasih,
Kita berbasa-basi secara positif kalau kita berkata dan berbuat sopan dengan tulus hati demi penghormatan terhadap sesama tanpa menyembunyikan kebenaran atau mengorbankan kebaikan. Sebaliknya kita berbasa-basi secara negatif saat kita berbicara dan bertindak sopan dengan penuh pamrih mengharapkan sesuatu yang kalau tak mendapatkannya maka kita merasa jengkel bahkan marah. Kecenderungan orang Farisi adalah mendapat tempat kehormatan. Duduk di depan. Kalau di gereja, orang berlomba-lomba duduk di belakang. Maka, kadang-kadang, “silakan maju ke depan, silakan maju ke depan!”
Pernah pada suatu hari, banyak, mau mengadakan acara semacam ceramah, kosong. Yang di depan kosong. Maka, saya mengatakan saya mulainya dari belakang. Jadi yang paling belakang paling depan. Karena saya memberikannya di depan, di belakang, dibalik. “Silakan Saudara-saudari membalikkan kursinya!” Pernah terjadi! Memang. Jadi, duluan. Jadi, orang-orang itu.
Jadi, mungkin bisa jadi ada orang-orang yang berbasa-basi itu begini, “Ya baiklah, supaya saya duduk di belakang saja, ya, depan terhormat, saya berikan kepada orang lain.” Pamrih itu apa? Dengan hal apa? Nanti, harap-harap mengundang, meminta saya duduk di depan. Dan dengan demikian saya terhormat. Eh, ditunggu-tunggu, tidak diundang-undang. Jengkel. Kesal. Nah, itulah yang disebut dengan pamrih. Basa-basi dengan pamrih. Di situ basa-basi menjadi suatu kepura-puraan.
Kita diundang berbasa-basi yang disertai sikap tulus melalui perkataan dan perbuatan yang murah hati, penuh belas kasih sebagaimana kita telah menerima segala apa yang dari Allah secara cuma-cuma.
Bunda Teresa sering berbasa-basi tetapi tanpa pamrih dengan tulus. Maka, tidak ada kata-kata maki-makian. Kata-katanya halus. Maka, kita bisa penuh basa-basi, tapi, diucapkan dengan tulus. Saat menerima hadiah Nobel pada tahun 1979, Bunda Teresa tidak basa-basi secara negatif. Tetapi dengan jelas menyatakan keprihatinannya kepada dunia. Dia berkata, “Terima kasih, karena mendapat hadiah Nobel.” Dia berkata, “Sebetulnya saya tidak pantas untuk mendapat hadiah Nobel, tetapi saya menerima hadiah Nobel ini demi orang-orang miskin yang saya layani. Saya mendapat hadiah Nobel bukan karena saya, tetapi karena orang-orang miskin yang saya layani. Tanpa mereka, saya tidak mungkin mendapat pengakuan. Pengakuan ini terjadi karena orang-orang miskin. Justru hadiah Nobel ini pantas diberikan kepada orang-orang miskin yang mengangkat martabat sesamanya.” Luar biasa! Maka, semua orang terdiam dan beliau-beliau berkata, kita bersyukur kepada Allah atas kesempatan indah hari ini. Karena apa? Mewartakan sukacita, menyebarkan perdamaian. Sukacita mengasihi satu sama lain. Sukacita mengakui orang termiskin dari mereka yang termiskin adalah saudara-saudari kita. Maka, inilah hadiah Nobel, diberikan hadiah Nobel perdamaian ketika kita mengakui bahwa saudara-saudari yang, orang-orang termiskin adalah juga saudara-saudari kita.
Maka, beliau berkata, “Kita akan dihakimi berdasarkan sikap kita terhadap orang miskin, orang sakit, gelandangan, lapar. Orang yang lapar untuk makanan, tetapi juga orang yang lapar untuk kasih. Orang yang lapar untuk diakui. Orang yang lapar untuk dihargai. Orang yang lapar untuk dimanusiakan. Orang yang lapar akan martabatnya. Orang yang lapar akan sentuhan manusiawi.”
Maka, Yesus berkata, “Barang siapa melayani saudaraku yang paling hina ini. Ia melayani Aku. (Mat 25: 40). Kesucian adalah tugas sederhana, atas kata Bunda Teresa, yaitu mengasihi sesama. Jangan pernah kita berbicara tentang kesucian kalau kita tidak pernah mengasihi sesama. Mengasihi sesama jangan dari yang jauh. Mengasihi sesama mulai dari keluarga. Mengasihi sesama mulai dari komunitas. Mulai dari ke tetangga, baru ke tempat yang jauh. Mengasihi sesama. Itulah, maka sederhana apa yang disebut kesucian adalah mengasihi sesama yang membutuhkan dikasihi.
Padahal beliau merasa tak layak untuk menerima hadiah nobel. Tetapi demi orang-orang miskin, ia mau tampil menerima hadih Nobel itu.
Saat kita berpaling dari mereka, kita berpaling dari Kristus. Itulah yang dikatakan oleh Bunda Teresa. Maka, Sri Paus Yohanes Paulus II saat kematian Bunda Teresa, 25 September 1997, beliau mengatakan, badannya bungkuk makin kecil, karena sungguh melayani beban orang-orang miskin. Tetapi jiwanya, hatinya, rohnya, kasihnya pada Kristus, terhadap mereka, membara luar biasa. Karena itu, setelah kepergiannya, ia pun dinobatkan sebagai beata.
Kalau kita mau mengenal siapa sumber kehidupan, mata air dari Bunda Teresa dan misi Kristus, kita ingat wanita Samaria yang berjumpa dengan Yesus. Saat berjumpa dengan Yesus, hatinya berkobar-kobar, gairahnya. Maka begitu berjumpa dengan Yesus yang sungguh pertemuan, ada cinta yang luar biasa. Apa yang terjadi? Tidak disuruh oleh Yesus, langsung pergi ke kota untuk mewartakan siapakah Yesus. Orang-orang kota datang kepada Yesus dan berkata kepada wanita Samaria itu, “Sekarang aku percaya bukan karena pewartaanmu, tetapi karena kami berjumpa dan melihat sendiri.” Dan itulah yang mau dibuat oleh, yang terjadi dalam diri Bunda Teresa. Ia tidak disuruh tapi perjumpaan dengan-Nya itu melalui ekaristi ada gairah yang berkobar-kobar yang membuat ia untuk selalu pergi menjumpai Yesus dalam diri orang miskin.
Pernah ia menjumpai seorang di tempat sampah yang hampir mati, yang tubuhnya sudah dihinggapi belatung, kotor, rusak. Hanya wajahnya saja yang masih kelihatan dengan penuh borok-borok dan belatung. Ia bawa ke tempat penampungan dan ia (orang yang hampir meninggal, Red.) berkata sebelum meninggal, “Sewaktu hidup saya hidup bagaikan binatang, tapi sewaktu mati, saya mati bagaikan malaikat karena ada orang yang mencintai.” Siapa? Bunda Teresa.
Saudara-saudari yang terkasih,
Matius 25: 40, Yesus berkata, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”
Mari, kita saling mengasihi, terutama yang paling hina di mana Yesus hadir! Kalau menjumpai Yesus, jumpailah Yesus di dalam perayaan ekaristi, Sakramen Mahakudus! Kalau mau ingin menjumpai Yesus secara utuh, jumpailah juga Yesus di dalam diri mereka yang paling hina, yang sungguh membutuhkan kasih Yesus!