Pedagogi (Tidak) Merdeka untuk Kurikulum Merdeka

Pedagogi sesuai realitas

Oleh karena itu, bagi Eka, pedagogi yang ideal haruslah pedagogi yang sesuai dengan realitas dan harapan siswa, sesuai dengan kepentingan pemerintah, sesuai dengan harapan orang tua dan sekolah, sesuai dengan kemampuan guru dan keberdayaan guru.

“Maka bagi saya pedagogi ideal adalah pedagogi personal. Pedagogi tidak pernah berlaku secara umum, satu untuk semua. Tetapi bagi saya, pedagogi haruslah dikembangkan oleh setiap guru karena apa yang terjadi di kelas adalah perkara guru dan murid. Dan guru tidak bisa memberikan sesuatu yang dia tidak miliki. Dalam hal ini, gurulah harus merdeka mengembangkan pedagoginya,” katanya.

Pedagogi Merdeka, lanjutnya, berarti pedagogi yang harus memerdekakan guru sejauh sesuai dengan kepentingan dan eksistensinya untuk mengembangkan pedagogi yang dia yakini dan dia bisa lakukan. “Maka, pedagogi-pedagogi meskipun ada banyak jenis pedagogi, pada akhirnya real pedagogi adalah pedagogi yang bersifat personal. Itu pun kita harus sadar bahwa pada akhirnya, apa yang terjadi di kelas merupakan resultante atau hasil akhir atau merupakan titik keseimbangan antara berbagai kepentingan. Apa yang terjadi di kelas tidak mungkin ideal, tetapi merupakan hasil akhir dari tarik-menarik kepentingan guru, kepentingan sekolah, kepentingan orang tua, dan kepentingan siswa. Dan seringkali kepentingan-kepentingan itu bertolak belakang karena siswa inginnya mudah saja, guru juga inginnya mudah saja. Sementara orang tua inginnya optimal, inginnya berkualitas memenuhi ukuran-ukuran kualitas yang meningkatkan reputasi sekolah,” katanya.

Atas perspektif tersebut, menurutnya, banyak hal yang harus dilakukan. Dengan melandaskan  pada  Lev Vygotsky tentang Zone of Proximal Development (ZPD), pedagogi haruslah pertama-tama dikembangkan supaya murid tidak terlalu sulit memahami materi, tetapi juga tidak terlalu mudah. “Bila terlalu mudah maka akan tidak menarik. Bila terlalu sulit akan membikin frustasi. Sejauh saya pahami, di Indonesia dari SD sampai perguruan tinggi materi itu terlalu sulit sehingga sangat sedikit yang bisa menguasai dan akhirnya menurunkan kepercayaan diri siswa,” kata Eka.

Eka melanjutkan, pedagogi seharusnya membuat siswa mempunyai kemandirian dan memiliki kepercayaan diri. “Maka salah satu pedagogi yang saya nilai cukup relevan adalah Pedagogi Ignasian. Dan itu sesuai dengan arah dari Kurikulum Merdeka karena di dalam Pedagogi Ignasian, 2 hal sangat penting yaitu konteks dan pengalaman. Itu  artinya pembelajaran harus berangkat dari pengalaman dan pembelajaran juga sebaiknya membentuk pengalaman. Dengan pengalaman itulah, berpengetahuan menjadi bisa bersifat personal terkait dengan dirinya. Dan untuk itu, filsafat yang tepat dipakai adalah filsafat konstruktivisme,” ungkapnya.

Sebagai konsekuensinya, lanjutnya, guru harus mengembangkan pedagogi yang kontekstual sesuai dengan kapasitasnya. Sekolah dan guru harus terus berusaha untuk bisa mengenali konteks dari setiap pihak yang terlibat di dalam pembelajaran. “Dan untuk itu, kita harus dengan tegas, dengan kuat, mendefinisikan, merumuskan siapa anak didik kita itu,” katanya.

Eka pun memberikan ilustrasi belajar memasak. “Kalau memakai pedagogi berlandaskan filsafat konstruktivistik, maka mengajar itu bukan berarti menyediakan makanan yang sudah jadi, tetapi mengajak anak-anak untuk memasak dan akhirnya menikmati masakan itu,” katanya.

Imajinasi tentang Indonesia

Pedagogi, menurutnya, harus dikembangkan pertama-tama mendasarkan imajinasi. Dan imajinasi itu sebaiknya tidak bersifat personal tentang anak, tetapi imajinasi tentang hal yang lebih besar, tentang Indonesia seperti cinta tanah air.

“Saya sendiri kaget ketika Pak Karno sendiri juga mengimajinasikan Indonesia. Dan untuk itu saya merasa rumusan membangun rakyat Indonesia menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul terus berkembang dan seterusnya demi Indonesia, demi Pancasila, haruslah menjadi orientasi pendidikan Katolik dan untuk itu pedagogi yang baik haruslah dilandasi oleh semangat institusi untuk menempatkan siswa sebagai rajanya. Siswa sebagai pihak yang harus dilayani dan bukan hanya siswa tetapi siswa demi Indonesia, “ katanya.

Eka menyadari, mengurusi pedagogi tidak mudah. “Saya berjuang keras merevitalisasi pendidikan agama di Sanata Dharma karena agama menjadi matakuliah yang paling sulit diajarkan oleh sebab tidak banyak yang mau mengajar, bahkan para romo pun sudah frustasi mengajar agama karena anak-anak tidak berminat. Setelah melalui dinamika berbagai macam persoalan dan seterusnya, puji Tuhan, akhirnya pelajaran itu bisa, mata kuliah itu bisa kami reformasi dan sekarang menjadi mata kuliah favorit. Bahkan, mahasiswa di luar kampus, dari UGM dan UIN pun ikut, berminat, mengikuti, mata kuliah ini,” katanya.

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *