Pedagogi (Tidak) Merdeka untuk Kurikulum Merdeka

Kurikulum Merdeka, menurut Drs. Johanes Eka Priyatma, M.Sc, Ph.D, dipromosikan pemerintah dengan maksud supaya pembelajaran itu lebih kontekstual, lebih menarik, dan memberi ruang yang lebih luas bagi guru, siswa dan sekolah untuk belajar, tumbuh dan berkembang dari dunia seputarnya, bukan hanya di dalam sekolah. “Itu kira-kira yang saya tangkap dan ada hal yang khusus dengan kurikulum ini, pemerintah mendorong supaya terjadi pencapaian profil pelajar Pancasila yang akan sangat penting di era saat ini,” kata mantan  Rektor Universitas Sanata Dharma itu.

Ia merasa itu menjadi kesempatan emas untuk menegaskan pedagogi yang pertama-tama dikembangkan dan seharusnya dikembangkan berdasarkan nilai-nilai kekatolikan.

Namun demikian, ia masih menemukan adanya pergulatan yang berat dalam pedaogi.  “Ini pergulatan yang berat, pergulatan yang tidak sederhana mengingat pedagogi, bagi saya, adalah muara dari pekerjaan besar pendidikan,” katanya.

Pedagogi, menurutnya, adalah sesuatu yang paling menentukan dalam pelaksanaan kurikulum.  “Kalau saya pahami, pedagogi adalah sesuatu yang paling menentukan dan pada akhirnya sangat menentukan dari keberhasilan pelaksanaan kurikulum. Sementara itu kurikulum sendiri merupakan sebuah rancangan yang merangkum, mencakup, dipengaruhi oleh berbagai kepentingan, misalnya: kepentingan pemerintah, kepentingan sekolah yang dituangkan di dalam visi-misinya, juga kepentingan atau orientasi dari mandat pendiri sekolah tersebut, dipengaruhi oleh sejarah lembaga pendidikan tersebut dan juga sebaiknya mempertimbangkan konteks di mana pendidikan tersebut dilaksanakan,” katanya. Konteks pendidikan tersebut seperti idelogi, politik, ekonomi, sosial, maupun budaya.

Maka, menurutnya, pedagogi merupakan muara dari pendidikan. “Yang lebih menarik kalau kita cermati akhirnya pedagogi ini mahapenting karena pendidikan terjadi dipengaruhi oleh pedagogi yang kita gunakan,” katanya.

Menurutnya, pedagogi adalah  sesuatu yang sangat kompleks. “Oleh karenanya, pedagogi tidak pernah merdeka, karena pedagogi haruslah melayani kepentingan, dalam hal ini, kepentingan kurikulum yang merupakan wujud dari kepentingan berbagai pihak tersebut,” katanya.

Dengan demikian, menurutnya, pedagogi tidak bisa bebas nilai seenaknya atau merdeka dalam arti tidak dipengaruhi oleh apapun, tetapi justru sebaliknya, pedagogi pada dasarnya adalah melayani atau pelayan dari kepentingan yang lebih besar.

Menurutnya, yang pertama-tama dilayani oleh pedagogi adalah kepentingan si pembelajar, si anak didik untuk menjadi pribadi yang tumbuh berkembang dan bisa hidup baik, berhasil, sukses, menanggapi masa depan, atau memasuki masa depan.

Para ahli, sambungnya, telah menyampaikan bahwa dunia kini dan masa depan membutuhkan 4 kompetensi yang makin hari makin penting yakni critical thinking, kolaborasi, kreativitas dan kemampuan komunikasi. “Dan untuk itu, anak-anak kita harus didampingi, ditemani, disertai untuk terus bisa memiliki kepercayaan diri, menghargai orang lain, berani mencoba dan seterusmya-seterusnya dan malah akhir-akhir ini harus berkepribadian Pancasila yang ternyata harus kita kembangkan,” ungkapnya.

Untuk itu, menurutnya, diperlukan pedagogi yang tepat. Masalah pokoknya, menurutnya,  untuk mencapai 4 kompetensi tersebut, anak-anak dalam taraf tertentu belum siap, karena justru pendidikan mereka selama ini tidak memampukan mereka untuk mempunyai kemandirian dalam berpikir dan bertindak oleh karena praktik pendidikan kita yang memang tidak mengantar mereka untuk mempunyai kemandirian berpikir.

Hal itu terjadi, menurutnya, karena realitas pembelajaran kita kurang kontekstual dan berpengetahuan itu sendiri lebih berlangsung secara formal. “Seolah-olah pengetahuan itu sesuatu yang sudah beku, tidak bisa diusik, dan karena saya berlatar belakang Matematika, maka saya tahu persis, bahwa pendidikan Matematika selama ini salah, karena Matematika dipahami sebagai sesuatu yang sudah jadi, bahkan itu seolah-olah turun dari langit. Maka, tidak ada pelajaran Matematika itu dengan jawaban tidak ada solusinya. Atau tidak pernah ada soal Matematika yang mengatakan masalah ini tidak bisa diselesaikan. Soal-soal Matematika selalu mempunyai penyelesaian yang indah, yang rapi, dan kalau perlu jawabannya adalah bilangan bulat. Dari situlah tidak ada ruang lagi mempertanyakan, mempersoalkan,” terangnya.

Menurutnya, pembelajaran tersebut adalah pembelajaran yang kurang otentik, kurang menarik, dan kurang adanya suasana coba-coba dan berbuat kesalahan. “Dan ini semua bermuara kepada menurunnya kepercayaan diri siswa yang sangat kentara. Ketika mereka menjadi mahasiswa pun takut untuk berbicara, takut untuk mengatakan sesuatu sesuai dengan pengetahuannya. Sehingga pada akhirnya kurang memacu kreativitas,” katanya.

Namun demikian, sambungnya, ketika kita memperkarakan kualitas pembelajaran itu, kita harus sadar bahwa pembelajaran tidaklah sederhana. “Ada banyak perspektif yang bisa kita pakai dan saya khawatir sejauh yang terjadi di perguruan tinggi, perspektif yang banyak dipakai adalah perspektitf manajemen. Maka, yang banyak diperkarakan dalam persoalan pembelajaran adalah penjaminan mutu dan lebih parah lagi penjaminan mutu yang diadopsi seolah-olah kegiatan pendidikan itu seperti kegiatan produksi dengan standar-standar mutu dan memperlakukan seolah-olah ini seperti mesin produksi. Padahal dalam dunia pendidikan, dalam pembelajaran,  input, proses maupun output adalah terkait atau pada dasarnya adalah manusia yang tidak mungkin bahkan tidak bisa distandarkan,” tuturnya.

Sebenarnya, menurut Eka, ada banyak perspektif yang bisa dipakai, meski tidak dominan yaitu: perspektif psikologis, ekonomis, sosial, dan spiritual. Dan yang lebih dominan adalah perspektif birokrasi.

Menurut Eka, semua perspektif tersebut bisa digunakan, tetapi jangan jatuh pada satu atau dua perspektif yang dominan.  Terlebih ketika memahami pembelajaran abad 21 yang meningkat kompleksitasnya. “Kalau dulu relasinya sederhana, guru dengan siswa, guru dengan ilmu pengetahuan, lalu guru menjadi seolah-olah perantara bagi berlangsungnya transfer pengetahuan dan ketrampilan. Tetapi saat ini,  di era internet ini maka relasi yang terjadi antara guru, murid dan pengetahuan menjadi lebih kompleks, lebih rumit karena siswa bisa berinteraksi sendiri. Guru tentu saja juga harus terus berinteraksi karena pengetahuan berkembang dengan pesat,” katanya.

Menurutnya, guru dan murid juga bisa berinteraksi dengan cara yang berbeda dengan memakai teknologi. Yang menjadi persoalan berikutnya adalah, apakah interaksi siswa dengan pengetahuan itu dimediasi atau juga dibantu oleh guru?

Menurutnya, persoalan menjadi lebih pelik lagi ketika muncul gagasan Merdeka Belajar di mana pemerintah mengharapkan proses interaksi semacam ini ditambah lagi dengan hadirnya Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI). “Seolah guru maupun murid didorong untuk berinteraksi juga, berelasi juga dengan DUDI dalam kepentingan belajar,” katanya.

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *