
Pesan kepada orang tua dan lembaga pendidikan
Mengingatkan tugas utama dan pertama orang-tua untuk mendidik putra-putrinya, Bapak Uskup mengutip Hukum Gereja, yaitu KHK no 1136 yang berbunyi: “Orangtua mempunyai kewajiban sangat berat dan hak primer untuk sekuat tenaga mengusahakan pendidikan anak, baik fisik, sosial dan kultural, maupun moral dan religius”. Dari situ Beliau menjelaskan: “Karena itu kita, para orangtua, senantiasa diundang untuk melaksanakan tanggungjawab ini dengan memberikan pendidikan yang terbaik, entah berkaitan dengan intelektualitas maupun iman, moral, dan sosial-kemasyarakatan. Untuk itu sangat penting anak-anak diarahkan untuk memilih dan menempuh pendidikan di sekolah-sekolah yang memberikan jaminan atas kebutuhan dasar tersebut.” (ibid.) Karenanya Beliau juga menghimbau agar sekolah-sekolah Katolik “memiliki keunggulan yang dapat dibanggakan dan mempunyai kekhasan yang membedakannya dari semua sekolah yang lain, sehingga dapat menjadi pilihan utama bagi pendidikan generasi muda kita. Dalam hal ini para pendidik dan lembaga penyelenggara pendidikan berperan penting untuk memegang teguh amanat Gereja, sehingga sekolah Katolik menjadi rumah di mana anak didik bertumbuh bersama, mendapatkan warisan nilai-nilai kasih Kristus, dan mendapatkan kesempatan untuk melibatkan diri memperjuangkan nilai-nilai kekatolikan demi kebaikan bersama di tengah masyarakat.” (ibid.).
Tantangan zaman
Cita-cita untuk selalu merawat dan mengembangkan dan memajukan sekolah-sekolah Katolik menghadapi tantangan yang semakin berat. Bapak Uskup Agung Semarang, telah merumuskan tantangan tersebut secara padat dan singkat antara lain adalah tuntutan profesionalitas, keterbatasan sumber daya, dan keterbatasan kesempatan untuk mendapatkan akses kepercayaan masyarakat karena faktor sosial politis.” (ibid.) Kita tahu bahwa sejak zaman Orde Baru, banyak sekali SD atau SMP-SMA Negeri Inpres didirikan justru dekat dengan lokasi sekolah-sekolah Katolik. Ditambah faktor bahwa mereka yang masuk sekolah-sekolah Negeri ini tidak perlu membayar uang sekolah. Akibatnya, sebagian sekolah Katolik di wilayah Keuskupan Semarang harus tutup karena kekurangan murid dan tenaga pendidik/guru. Sehingga Keuskupan Agung Semarang yang tidak rela bahwa hal itu terjadi, bertekat untuk mengadakan Gerakan Peduli Pendidikan KAS, dengan mengumpulkan uang dari umat Rp. 2000 setiap orang setiap bulan. Ini ditempuh Keuskupan Agung semarang yang merasa mendapat tugas sebagai Gembala Umat, dan merasa bahwa pendidikan pun menjadi salah satu bentuk penggembalaan yang sangat dibutuhkan sepanjang masa. Melalui pendidikan inilah iman, harapan dan kasih kepada Yesus Kristus diwartakan dan diwariskan. (bdk. ibid.).
Gerakan Peduli Pendidikan KAS itu sangat penting. Karena dana yang dikumpulkan sebenarnya dibutuhkan tidak hanya untuk menyelenggarakan sekolah sehari-harinya, melainkan dibutuhkan dana banyak lagi untuk memperbarui (up grade) kualitas sekolah. Tidak hanya untuk membiayai fasilitas baru, melainkan juga untuk meningkatkan kemampuan tenaga pendidik, agar sesuai dengan perubahan zaman, sesuai perubahan hidup yang sekarang sudah kita alami dan hidupi, yaitu yang sering disebut dengan nama era disrupsi dan era post truth. Karya persekolahan dapat mempertahankan dirinya sebagai pilar Gereja yang handal, hanya kalau ia dapat mengatasi tantangan zamannya.
a. Tantangan era disrupsi
Secara luas telah dibahas mengenai tantangan ‘Keluarga di Era Disrupsi’ pada Majalah INSPIRASI ini no 210. Pokoknya, dalam era disrupsi ini kita telah mengalami perubahan cara hidup berkat perkembangan teknologi di bidang media massa. Era 03 dengan adanya komputer, kita sudah banyak dimudahkan. Kita telah mengenal surat-surat elektronik. Perkembangan teknologi dalam media massa terus berkembang ke arah semakin ditandai oleh digitalisasi atau era 04. Masa pandemi, di mana relasi kita serba terbatas, justru semakin membuat kita semakin maju dalam bidang komunikasi. Kita dapat mengikuti misa kudus lewat live streaming atau on line, tanpa perlu pergi ke gereja.
Sekolah pun tetap di rumah, dengan mengikuti proses belajar-mengajar secara on line. Yang awalnya sekadar untuk mengabarkan keadaan keluarga melalui telepon, SMS (short message service), sekarang sudah bersosialisasi lewat media sosial (Facebook, Twitter, Instagram, Path, dan lain-lain), atau video call service (WA, Skype atau Google Hangout). Kita juga dapat membaca berita melalui koran online, atau untuk belajar kita dapat mengunduh artikel jurnal terbaru dari Google Scholar. Yang perlu disimak ialah bahwa cara hidup baru ini telah memengaruhi sikap pribadi-pribadi dan anak-anak sekolah. Sehingga para pendidik di sekolah perlu memberikan pendampingan, umpama: anak lebih suka menyelesaikan masalah apapun secara kilat. Sehingga keutamaan kesabaran, ketelitian dan ketekunan, perlu mendapatkan perhatian dari orang tua maupun para pendidik. Sikap lain yang juga berbahaya ialah: tidak membedakan antara yang nyata dan yang semu, karena dunia maya dianggap nyata. Dalam budaya medsos tumbuh sikap melampiaskan amarah, dan nafsunya begitu saja, termasuk sikap memusuhi dan mengancam siapapun yang tidak sepaham dengan dia. Sekolah dan para pendidik perlu menekankan bahwa sesama adalah pribadi yang perlu dihargai martabatnya, bahwa mereka adalah saudara seciptaan Allah, bahkan saudara sebangsa dan setanah air. Kekerasan tak dapat diterima, apapun alasannya. Kecuali itu anak-anak menjadi jauh dari lingkungan dekatnya, tetapi dekat dengan yang jauh. Anak-anak terisolasi dari keluarganya sendiri, terisolasi dari teman-teman sekolahnya dan gurunya. Apalagi kalau menjadi kecanduan akan game dan film yang ada, sehingga minat belajar hilang, waktunya habis untuk itu semua. Era disrupsi sungguh membawa dampak negatif bagi pembentukan pribadi yang berkarakter, bermoral sesuai tuntutan iman masing-masing.