Lembaga Pendidikan Katolik Adalah Pilar Gereja

Oleh BAPAK JULIUS KARDINAL DARMAATMADJA, SJ

 

Lembaga pendidikan salah satu pilar Gereja

Pada tanggal 2 Mei 2022 yang lalu, kita merayakan Hari Pendidikan Nasional. Untuk menyambut Hari Pendidikan Nasional yang penting itu, Uskup Keuskupan Agung Semarang (KAS) Mgr Robertus Rubiyatmoko berkenan menyampaikan Surat Gembala yang berjudul “Merawat serta Mengembangkan Pendidikan dan Sekolah Katolik.”

Surat gembala ini dibacakan atau diterangkan pada hari Sabtu, 30 April 2022 dan Minggu, 1 Mei 2022. Sangat menarik istilah yang dipakai dalam judul surat gembala tadi, yaitu “Merawat dan Mengembangkan Pendidikan dan Sekolah Katolik”. Keuskupan Agung Semarang sebagai Ibu Gereja, mengungkapkan keprihatinan, perhatian dan kasihnya serta menaruh harapannya agar pendidikan dan sekolah Katolik tetap berkembang. Memang, lembaga pendidikan dan sekolah Katolik merupakan pilar penting yang tak dapat diabaikan dalam rangka Gereja melaksanakan tugasnya: Mewartakan Kabar Gembira Kerajaan Allah di mana pun juga. Lebih-lebih sekolah Katolik merupakan kepanjangan tangan orang tua yang secara utama bertugas sebagai pendidik anak-anak yang sedang tumbuh menuju kedewasaan. Sebagai orang tua, mereka wajib mendidik menuju kedewasaan dan sekaligus mewariskan iman kepada anak-anak mereka. Demikian juga Gereja berkewajiban pula untuk mendampingi dan mengembangkan iman putra-putri Gereja.  Sehingga ada hubungan erat yang tak terpisahkan antara Gereja, orang-tua dan sekolah Katolik dalam mengemban tugas bersama-sama mendidik anak-anak menuju kedewasaan pribadi maupun imannya.

Lembaga pendidikan ada bersama berdirinya Gereja

Sejak awal berdirinya, Gereja Katolik di Indonesia sudah menunjukkan betapa besar Gereja membutuhkan baik imam maupun tenaga-tenaga pendidik untuk karya persekolahan dan kesehatan. Secara resmi Gereja di Nusantara didirikan olah Paus Pius VII pada tanggal 8 Mei 1807, dengan mengangkat Pastor Yacobus Nelissen, Pr menjadi Perfek Apostolik yang pertama, berkedudukan di Batavia atau sekarang Jakarta. Wilayahnya terbuka sampai di seluruh nusantara. Padahal hanya dimulai dengan dua tenaga imam, yaitu Prefek Apostolik dengan 1 pastor pendampingnya. Pastor pendampingnya ini lalu dikirim ke Stasi Semarang. Kemudian ketika ada tambahan 1 pastor lagi dari negeri Belanda, dia lalu dikirim ke Stasi Surabaya. Sedikit demi sedikit Gereja tumbuh. Setelah mengalami 3 Prefek Apostolik, sejak pimpinannya Mgr. Yakobus Grooff, Pr, Gereja di Indonesia ditingkatkan statusnya menjadi Vikariat Apostolik. Mgr. Petrus Maria Franken, Pr, Vikaris Apostolik II (1847-1874) mulai mengundang tenaga dari ordo dan kongregasi imam, bruder dan suster untuk karya pendidikan, rumah sakit, dan karya sosial lainnya. Dia merasa bahwa tidak hanya kekurangan imam, melainkan juga merasa bahwa Gereja perlu dibantu oleh ordo atau konggregasi imam, bruder dan suster  yang di Negeri Belanda telah berkecimpung di bidang-bidang tersebut.

Yang datang pertama adalah Suster-suster Ursulin. Mereka datang di Jakarta pada tahun 1856. Mereka diserahi untuk mengembangkan pendidikan untuk kaum putri. Selama 10 tahun (1856-1866) ada 7 kali pelayaran dari Negeri Belanda ke Jakarta dengan membawa 41 suster Ursulin ke Jakarta. Mereka tinggal di komunitas Jl. Pos dan Jl. Juanda. Imam yang datang pertama kali adalah imam-imam dari Serikat Yesus. Mereka datang tahun 1859, dan 2 ditugaskan di Surabaya, 1 mulai dengan stasi baru di Ambarawa. Bruder-bruder Aloysius yang karya khususnya mendidik anak muda pria datang tahun 1862 di Surabaya. Kemudian berkembang ke Jakarta (1905), Semarang (1907), Bandung (1930), Madiun (1934). Kemudian Suster-suster Fransiskanes yang mulai datang tahun 1870 dan berkarya di Gedangan. Tahun 1879  membuka Biara ke-2 di Larantuka dengan tugas mendidik putri-putri pribumi dengan mengelola asrama dan sekolah. Setelah itu 2 biara dan karya baru dikembangkan di Magelang dan Yogyakarta. Pada tahun 1905, satu biara dan karya dimulai di ujung timur, yaitu di Langgur, Kei.

Ini sekadar sekelumit gambaran untuk menunjukkan betapa Gereja sangat membutuhkan tenaga untuk pendidikan, kesehatan dan karya sosial lainnya. Selanjutnya masih datang suster CB, yang mengembangkan rumah sakit dan pendidikan. Bruder FIC yang mengembangkan karya pendidikan. Ordo dan konggregasi imam, bruder dan suster lainnya selanjutnya berdatangan di Nusantara. Tidak perlu disebutkan secara rinci lagi, karena tujuannya bukan memberikan sejarah Gereja secara utuh dan menyeluruh. Dari yang sudah diutarakan, cukup menggambarkan bahwa karya pendidikan, kesehatan, dan karya sosial lainnya merupakan pilar-pilar Gereja, pilar-pilar yang secara erat menyatu dengan gerak perkembangan Gereja di Nusantara. Dan jasa mereka sangat besar.

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *