
Ketahanan pangan menjadi isu yang terus dibicarakan karena menyangkut kelangsungan hidup manusia. Terlebih dengan pertambahan jumlah penduduk, pemerintah Indonesia pun turut memikirkan dan membuat langkah-langkah strategis.
Namun, Romo Paulus Wiryono, SJ dalam webinar Ketahanan Pangan dan Gizi secara daring, 15 Oktober 2021, melihat, seperti halnya ketahanan ekonomi, ketahanan pangan di Indonesia ada di tangan orang-orang kecil. “Saya meyakini bahwa dalam perjalanan Indonesia ini dalam waktu krisis ekonomi terjadi, itu yang mempertahankan ketahahan ekonomi Indonesia itu ada di tangan UKM atau usaha-usaha kecil, sektor informal. Demikian juga di dalam kaitan dengan ketahanan pangan, itu ada di tangan orang-orang kecil ini,” ungkapnya.
Ketahanan pangan menurut UU No 18 tahun 2012 tentang Pangan adalah “Terpenuhinya kebutuhan pangan dalam jumlah cukup dan mutu aman, beragam, bergizi, merata, terjangkau, tidak bertentangan dengan agama/keyakinan/budaya demi kehidupan yang sehat, aktif, dan produktif seluruh negara dan perorangan.” “Jadi, memang mencakup seluruh negara, tetapi juga masuk pada level perorangan. Jadi, tingkatannya dari perorangan sampai ke suatu negara,” kata lelaki yang kerap disapa Romo Wir itu.
Sementara kedaulatan pangan adalah kemampuan negara, masyarakat, dan/atau keluarga dalam mengatur secara mandiri usahanya untuk mencukupi kebutuhan pangan” (UU no 18 tahun 2012 tentang Pangan).
“Tentu dalam krisis pangan, kedaulatan pangan ini jauh lebih penting ya, karena kalau ketahanan pangan bisa saja kita mengandalkan impor pangan. Tetapi ketika krisis pangan dunia terjadi, kita harus mencukupi masing-masing negara itu secara mandiri. Di sinilah konsep kedaulatan pangan, sebetulnya lebih penting ya untuk kita usahakan terus menerus karena ancaman krisis pangan dunia, karena ada perubahan iklim global dan sebagainya,” imbuh Romo Wir.
Romo Wir melihat, ketahanan pangan di beberapa wilayah di Indonesia lemah. “Kalau terjadi banjir, terjadi kekeringan, ataupun kebakaran hutan, maka dengan mudah sekali terjadi kelaparan di tempat-tempat itu,” katanya.
Meskipun demikian, ia mengapresiasi pemerintah yang telah membangun jaringan jalan yang menghubungkan satu tempat ke tempat lain. “Itu adalah salah satu strategi untuk menurunkan kerentanan pangan. Setiap terjadi kelangkaan pangan cepet sekali pemerintah akan bisa memasok supaya tidak terjadi kelaparan. Tentu itu salah satu strategi,” ungkapnya.
Romo Wir pun melihat pentingnya ketahanan dan kedaulatan pangan di tingkat keluarga. Untuk mengaplikasinya, keluarga tersebut diharapkan sepanjang tahun bisa mengatur secara mandiri dalam jumlah, jenis, gizi, keamanan, serta mutu makanan sesuai dengan kebutuhan seluruh anggota keluarga.
Sayangnya, selama pandemi, menurutnya, jumlah penduduk yang miskin itu naik. “Karena keterbatasan mobilitas itu membuat bahwa ketersediaan pangan itu sangat dibatasi untuk wilayah-wilayah tertentu, dan kelangkaan lapangan kerja dan sebagainya. Itu meningkatkan penduduk miskin,” katanya.
Tentang pangan, menurut Romo Wir, kita juga harus berpikir mengenai pertumbuhan anak-anak, terlebih anak-anak sebelum lahir, pada usia kandungan 2-12 minggu. “Itu masa pembentukan organ-organ vital tubuh manusia. Kalau si ibu kekurangan gizi, efeknya sangat besar terhadap kelahiran anak-anaknya. Di situlah kita mengenal gejala stunting, tidak bisa tumbuh besar, pendek. Atau gejala-gejala yang lain, balita yang kurus, berat kurang, underweight dan lain-lain,” imbuhnya.
Menurutnya, ketahanan pangan harus sunggguh dipikirkan dalam rangka menyiapkan generasi muda yang lahir. “Kualitasnya justru bukan menurun, tetapi meningkat. Sekarang kita jumpai penyakit mental anak-anak yang lahir. Itu dikaitkan oleh para ahli dengan polusi. Tidak hanya polusi udara, polusi air, tetapi juga polusi pada makanan, penggunaan zat-zat kimia. Itu ternyata membawa situasi yang sangat mengkhawatikan yaitu, penyakit mental. Bukan penyakit fisik, tetapi penyakit mental. Ini sudah mulai banyak diteliti oleh para ahli,” katanya.
Beberapa wilayah di Indonesia, menurutnya, sangat rentan akan ketahanan pangan, meskipun sebenarnya Indonesia mempunyai sumber pangan yang melimpah di laut. Beberapa wilayah laut di Indonesia kaya akan fitoplankton yang menjadi tempat berkumpulnya ikan mencari makanan.
“Inilah situasi Indonesia, jadi kekayaannya sebetulnya melimpah, cuman kekayaan ini tidak terlindungi karena banyaknya ilegal fishing,” katanya.
Upaya ketahanan pangan
Beberapa daerah di Indonesia, menurutnya, dikenal memiliki produk ungggulan. Yang paling populer tentu kopi, kopi Toraja, Sidikalang, Papua. “ Tidak hanya kopi, tetapi juga macam-macam produk yang lain,” katanya.
Ketahanan pangan, menurutnya, terus dikembangkan oleh pemerintah melalui pembangunan-pembangunan. Salah satunya adalah pembangunan 30 ribu embung. Selain pemerintah, masyarakat dan pihak swasta pun turut melakukan pembangunan tersebut.
Pemerintah, lanjutnya, juga membangun Food Estate (Pusat Pangan) dengan menggunakan mekanisasi di Kalimantan Tengah dan Merauke. ”Kemudian juga menghadapi ancaman perubahan iklim global, itu punya strategi yang namanya 20 ribu Kampung Iklim. Di situ memang strateginya mencakup peningkatan kapasitas Pemda, penguatan kapasitas masyarakat, kemitraan dan banyak sekali. Tetapi itu menyentuh soal Ketahanan Pangan. Yang terkenal tentu pembangunan jalan, itu luar biasa. Dan itu berdampak positif terhadap ketahanan pangan,” katanya.
Namun, menurutnya, tantangan yang kita hadapi adalah jumlah petani kecil menurun dari tahun ke tahun. Jadi, rumah-rumah tangga yang adalah petani kecil pengguna lahan pertanian itu turun meskipun masih ada petani gurem.
Di sisi lain semangat urban farming di lahan sempit meningkat. “Itu meningkat di dunia, tidak hanya di Indonesia, di Amerika tetapi di dunia. Ini ada hitungan kira-kira jumlah kalau dinilai ekonomi itu meningkat. Ke depan diprediksi tahun 2023 itu meningkat drastis sekali. Itu lewat yang namanya vertical farming. Ini memang terutama dalam bentuk hidroponik yang pakai tingkat tinggi sekali. Banyak di kembangkan di kota-kota besar seperti Singapura, Hongkong, Tokyo. Jakarta sudah akan mulai tapi ya belum sehebat seperti Singapura. Singapura itu cita-citanya 30 persen dari sayur itu akan di-supplay oleh vertical farming mereka yang ada di kota Singapura. Tidak lagi menggantungkan diri dari sekitarnya, ke negara tetangga,” katanya.
Bagaimana ketahanan pangan keluarga dibangun?
Untuk melakukan ketahanan pangan keluarga, menurutnya, pertama, kita harus menghitung kebutuhan pangan keluarga, melihat potensi, melihat peluang, dan membangun jejaring bagi pengembangan potensi dan peluang.
Romo Wir pun menyampaikan alasan pekarangan perlu dibudidayakan. Pertama, agar bisa menghasilkan buah dan sayuran. Kedua, agar rumah tampak bersih, asri, dan terpelihara. Ketiga, agar ada kesibukan untuk penghuni rumah. Keempat, demi ketahanan dan kedaulatan pangan. Dan kelima, demi kesehatan.
Menurutnya, semua itu perlu dirancang bersama-sama seraya melihat kebutuhan, peluang, aneka komoditas seperti hortikultura, tanaman obat, buah-buahan, pakan ternak, sayuran, umbi-umbian, ikan dan aneka jenis lainnya. Hal itu biasanya dilakukan dengan glenak-glenik baik dengan keluarga maupun pihak-pihak lain sehingga tercipta jejaring. Romo Wir pun menyampaikan beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan ketika keluarga akan merancang ketahanan pangan seperti minat, tenaga dan waktu tersedia, kebutuhan sehari-hari, macam budidaya yang mudah dilakukan, menyenangkan atau hasil secepatnya bisa dinikmati bersama, tidak banyak ancaman hama dan penyakit, ada dukungan dana (modal awal), kesehatan fisik, mental dan sosial.
“WHO dalam salah satu artikelnya pernah menyebut bahwa keluarga-keluarga yang berkebun itu memiliki kesehatan fisik, mental, sosial lebih baik daripada keluarga-keluarga yang tidak pernah berhubungan dengan kebun ataupun alam,” katanya.
Menurutnya, kedekatan kita dengan alam membawa peningkatan kesehatan tidak hanya fisik, tetapi juga mental dan sosial. “Kebun yang terawat, secara mental itu meningkatkan suasana hati kita kalau melihat kebun kita seperti ini,” katanya.
Rekayasa sosial dan ekologi dalam pertanian terpadu
Romo Wir menandaskan perlunya rekayasa sosial dan ekologi dalam pertanian terpadu. Ia melihat pentingnya pertanian terpadu dalam pembangunan pedesaan, jaringan kerjasama kemitraan, subjek pengembangan jaringan kerjasama kemitraan, memfungsikan jaringan kerjasama, langkah-langkah membangun jaringan kerjasama antar kelompok tani dalam kelompok pertanian terpadu.
“Jadi, pemahaman ekologi integral dalam Laudato Si’ itu, sebetulnya, intinya kalau kita analisa itu pentingnya berjejaring. Everything is connected. Jadi, ekologi menghubungkan kita satu sama lain. Di situlah yang harus kita lihat sebagai modal-modal sosial yang harus kita temukan, berjejaring, kerjasama,” katanya.
Romo Wir sendiri mengalami hal tersebut dalam menghidupkan kembali proyek mendiang Romo Mangun di Pantai Grigrak yang diberi nama Ecocamp Mangunkarsa. Selain Gereja, banyak pihak yang terlibat dalam proyek tersebut, seperti lembaga akademik, korporasi, dan masyarakat setempat. Saat ini embung yang dipakai untuk mengairi lahan pertanian masyarakat berhasil dibangun.