Tergeraklah Hati-Nya oleh Belas Kasihan

Mgr Vitus Rubianto Solichin, SX lahir di Semarang, Jawa Tengah, 15 November 1968 sebagai anak kedua dari empat bersaudara. Dua perempuan dan dua laki-laki. Mgr Vitus lahir dari pasangan Bapak Michael Mustomo Solichin (alm) dan Ibu Lidwina Dwiyani.

Mgr Vitus berasal dari Paroki Santa Maria Ratu Rosario Katedral Randusari, Keuskupan Agung Semarang. Beliau menjalani masa kecilnya di Semarang. Ia pernah bersekolah di SD Marsudirini, dulu Regina Pacis, asuhan para Suster Fransiskanes Semarang.

Setelah lulus SD, ia melanjutkan pendidikannya ke SMP Domenico Savio, Semarang, asuhan Bruder-bruder FIC. Hanya setahun, ia kemudian pindah ke Muntilan, masuk di SMP Kanisius Muntilan. Ia lulus pada tahun 1984. Di Muntilan, Vitus kecil juga pernah tinggal di keluarga opa, seorang Budhis yang juga tokoh pengembangan agama Buddha di daerah Muntilan dan Mendut. Opa ini dikenal dengan nama Romo Pandita Damma Catta. Lazim disingkat Upasakha Pandita.

Sejak remaja, ia sudah memikirkan arah hidupnya. “Saya tidak mungkin menjadi bikkhu. Saya bukan Buddhis,” katanya. Dalam keheningan, Mgr Vitus terus merenungkan apa yang bisa diperbuatnya untuk mewarisi cara hidup yang dibaktikan, yang merupakan buah dari keheningan seperti opanya.

Sejak menginjak remaja, Mgr Vitus aktif menjadi misdinar. Saat itu, ia ingin sekali bertugas membawa wirug, tempat dupa. Tetapi ia tidak pernah mendapatkan kesempatan karena berbadan kecil. Saat menjalani masa diakonat di Paroki Sikabaluan, kesempatan memegang wirug dalam perayaan liturgi itu terjadi.

Lulus SMP di Muntilan, ia masuk ke SMA Seminari Mertoyudan. Di SMP kelas akhir, ia dipercaya sebagai ketua kelas. Ia diberi tugas untuk menuliskan nama teman-temannya yang akan masuk seminari. Karena tidak ada satu pun teman yang mendaftar, ia pun mendaftarkan namanya sendiri. Inilah cara yang dipakai Tuhan untuk menangkapnya masuk seminari Mertoyudan. Lulus dari Seminari, ia harus mulai memilih dan mendaftarkan diri sebagai biarawan masuk ke Ordo Kongregasi Imam atau menjadi imam diosesan. Ordo Serikat Jesus menjadi pilihan pertamanya, tetapi tidak diterima, karena Tuhan mempunyai rencana lain.

Setelah itu, ia menghubungi Pastor Silvano Lorenzi , SX, yang dikenalnya kala promosi panggilan di seminari. Pendaftaran di Serikat Xaverian sudah tutup.  Tetapi, ia tetap diterima untuk melanjutkan panggilannya.

Tahun 1988, Mgr Vitus masuk novisiat Serikat Xaverian di Jakarta bersama 11 pemuda dari berbagai pulau, suku, etnis, dan seminari di Indonesia. Dari 12 calon Xaverian itu, yang sampai tahbisan imam hanya dia seorang diri.

Pada 9 Juli 1989, ia mengucapkan kaul pertama di Gereja Paroki Pulomas Jakarta. Kemudian, ia menjalani pendidikan Skolastikat Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta. Tahun 1993, menjalani masa tahun orientasi misioner di Paroki Santa Maria Diangkat ke Surga Muara Siberut, Kepulauan Mentawai.

Pada 16 Januari 1996, ia ditahbiskan sebagai diakon di Padang oleh Mgr Martinus Dogma Situmorang, OFMCap. Selanjutnya Pastor Vitus menjalani masa diakonat di Paroki Santa Maria Auxilium Chistianorum Sikabaluan, Kepulauan Mentawai. Mgr Vitus mengucapkan kaul kekal saat beatifikasi Bapa Pendiri Misionaris Xaverian, Guido Maria Conforti di Roma tahun 1996.

Mgr Vitus ditahbiskan menjadi imam oleh Mgr Johannes Hadiwikarta bersama dua romo praja Keuskupan Agung Semarang di kapel Seminari Kentungan pada 7 Juli 1997. Setelah tahbisan imam, ia ditugaskan untuk studi ke Roma hingga menyelesaikan studi spesialisasi bidang Kitab Suci di Institut Kitab Suci Kepausan Biblicum Roma, akhir 2001.

Kembali ke Indonesia, ia mengajar Kitab Suci di STF Driyarkara Jakarta sambil menjadi pembina para frater Xaverian.

Tahun 2006, ia kembali melanjutkan studi di bidang teologi Kitab Suci di Universitas Gregoriana, Roma. Ia mempertahankan disertasi doktoral dengan tesis “Perumpamaan dalam Injil Markus” pada Juni 2012.

Pulang ke tanah air, Romo Vitus menjadi pastor rekan di Paroki Santa Maria de Fatima Toasebio, Jakarta sambil menjadi dosen Kitab Suci di STF Driyarkara. Pertengahan 2015, ia ditarik dari paroki, untuk membina para calon imam Xaverian dan memimpin Skolastika Filsafat Xaverian di Cempaka Putih Raya, Jakarta.

Pada 3 Juli 2021, Bapa Suci Paus Fransiskus mengangkatnya sebagai uskup  Keuskupan Padang, menggantikan Mgr Martinus Dogma Situmorang, OFM.Cap yang meninggal pada 19 November 2019 lalu.

Sebagai imam Misionaris Xaverian, keterpilihan ini adalah hal yang sangat istimewa karena tepat sehari sesudah Serikat Xaverian merayakan penutupan tahun Yubelium 1 abad konstitusi Serikat Xaverian dan Surat Wasiat dari Bapa Pendiri.

Tahun 2021, Serikat Xaverian Provinsi Indonesia sedang merayakan 70 tahun kehadiran dan pelayanannya di tanah misi Indonesia. Rahmat Tuhan selalu mengalir, seperti wasiat ucapan syukur Santo Guido Maria Conforti, “Memang, Tuhan tidak mungkin lebih bermurah hati lagi pada kita” (Surat Wasiat no.1).

Keuskupan Padang bagi Mgr Vitus tidaklah asing lagi. Ia juga bukan orang baru bagi sebagian umat. Bagi para Misionaris Xaverian, keuskupan Padang adalah medan penyemaian, tempat menumbuhkan dan merawat benih iman yang mereka sendiri tidak peduli, entah memanen atau tidak, karena Tuhanlah yang mengatur.

Mgr Vitus adalah bagian dari pergulatan susah dan senangnya para Misionaris Xaverian. Mgr Vitus selain ahli Kitab Suci, juga mahir menggambar dan melukis.

Misericordia Motus-Tergeraklah Hati-Nya oleh Belas Kasihan (Luk 15:20) menjadi motto episkopalnya. Mgr Vitus berharap slogan yang dipilih dan ditawarkan dalam lambang keuskupan itu, menjadi inspirasi yang menggerakkan semua pihak untuk semakin memiliki kepedulian dan hati yang mudah tergerak oleh belas kasihan dan cinta kasih akan sesama, khususnya kepada yang miskin, menderita dan kesepian, membawa kesejukan  dan kesegaran bagi setiap insan.

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *