Lebih dari Sekadar Politik Praktis

Instagram @tsamaradki

Kebiasaan membaca buku-buku politik membuat Tsamara Amany Alatas tertarik terjun ke dunia politik. Buku-buku karangan Soekarno pun dilahap habis oleh politisi muda itu. “Saya itu awalnya tertarik kepada isu-isu politik itu juga sebenarnya dari membaca (buku) Soekarno juga awalnya. Jadi, dulu saya ini membaca ‘Di Bawah Bendera Revolusi’, membaca ‘Penyambung Lidah Rakyat’. Jadi karena banyak membaca buku-buku itu, saya tertarik juga dengan isu-isu politik karena kan terinspirasi dengan sosok Bung Karno yang memang dari muda juga kritis, tentu dalam konteks yang berbeda ya ketika itu,” kata Tsamara dalam webinar ‘Pancasila dan Kaum Muda’, 25 September 2021.

Awalnya, Tsamara hanya ingin berpolitik dari luar sistem, tidak ingin masuk dalam sistem politik yang ada. Hingga pada saatnya, ia harus menimbang ulang pilihannya. Tidak dari luar sistem, namun, ia memilih untuk berkontribusi di dalam sistem.

Hal itu terjadi ketika ia mendapat kesempatan magang di kantor gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) yang waktu itu masih dipimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama. Di sana, Tsamara membantu gubernur dan birokrasi di dalamnya.

“Saya bantu beliau dan bantu birokrasi juga untuk melakukan siginifikansi perizinan. Saya bertemu dengan banyak birokrat, bertemu dengan banyak masyarakat, ya masyarakat juga yang membutuhkan pelayanan perizinan dan pelayanan public service yang baik bisa dari pemerintah,” kata perempuan kelahiran Jakarta, 24 Juni 1996 itu.

Dari pengalaman magang itu, Tsamara sadar, berpolitik dari dalam sistem pemerintahan bisa berkontribusi banyak pada masyarakat. “Di situ, itu jadi kaya membuat saya sadar bahwa, oh  ternyata melalui politik, itu ya, melalui sebuah sistem pemerintahan, itu kita bisa berkontribusi banyak sekali terhadap Indonesia,” ujarnya.

Ia sadar kalau masing-masing peran memiliki kontribusinya untuk Indonesia. “Aktivis punya kontribusi, universitas juga punya kontribusi, semua punya kontribusi. Tapi, ada satu hal yang menurut saya membedakan kontribusi dalam pemerintahan dengan kontribusi dalam bidang-bidang lain,” katanya.

Menurutnya, dengan berkontribusi di dalam pemerintahan, kita bisa membuat kebijakan yang secara langsung dan konkret dirasakan orang banyak. “Karena kan sifatnya keputusan politik. Nah, keputusan politik itu punya sifat kebijakan yang konkret,” katanya berdasar pengalaman magangnya di kantor gubernur DKI.

Dengan berada di dalam sistem, seseorang bisa mengawal kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Di luar sistem pun, kita juga bisa mengontrol dan mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan yang berpihak para rakyat. Namun, semua itu adalah pilihan masing-masing. Yang jauh lebih penting adalah perhatian kita pada urusan politik yang pada akhirnya menyangkut hidup orang banyak.

Pengalaman magang di kantor gubernur DKI telah memberikan pelajaran penting bagi Tsamara untuk terjun di ranah politik bahwa kita harus sadar akan kerja-kerja politik dan isu-isu pemerintahan.

“Saya sadar bahwa kalau gitu kita harus fokus berbicara tentang isu-isu pemerintahan, isu-isu yang bisa mendorong pemerintah melakukan kebijakan yang konkret karena mau tidak mau ini adalah tempat di mana masyarakat itu akan terdampak,” katanya. Cara yang ditempuhnya supaya bisa masuk ke dalam sistem adalah menceburkan diri dalam sebuah partai.

Tantangan dalam dunia politik

Dalam beberapa kasus, dunia politik diwarnai korupsi dan intrik. Akibatnya, sebagian masyarakat pun mempunyai stigma bahwa politik itu kotor. Bagi Tsamara, pandangan seperti itu tidak bisa disalahkan seratus persen karena justifikasi kasus korupsi dalam dunia politik.  

Namun, hal itu tidak menyurutkannya untuk tetap terjun dalam dunia politik. Ia pun menegaskan tentang orang yang tidak suka berpolitik “Sebenarnya yang kita tidak suka itu lembaga pemerintah atau orang-orang yang berada di dalamya itu? Karena kan mau tidak mau, nggak mungkin kita hidup tanpa negara. Nggak mungkin kita hidup tanpa pemerintahan. Nggak mungkin kita hidup tanpa representasi dalam DPR. Semua itu kan terpenting untuk menjalankan kerangka demokrasi yang baik. Yang kita tidak suka adalah kualitas orang-orang di dalamnya yang tidak betul-betul merepresentasikan kita,” katanya.

Tsamara mengaku, dulu ia pun memandang bahwa politik itu kotor. Karena itu, ia hanya ingin di luar sistem. “Dulu, saya juga merasanya sama. Yang saya lakukan adalah saya nggak masuk dalam sistem. Di luar sistem saja,” katanya.

Namun, seiring dengan bergulirnya waktu, Tsamara menyadari, jika bisa masuk ke dalam sistem, ia bisa menawarkan antitesa dari semua kekurangan yang ada dalam sistem. “Itu yang akhirnya membuat saya kemudian berpartai politik dengan harapan, oh, kita lakukan saja selama ini, kita kritik dari partai politik itu. Kita bikin saja seleksi agar orang-orang yang lolos seleksi secara transparan untuk masuk ke dalam partai politik, untuk menyalonkan diri sebagai anggota DPR. Jadi itu yang akhirnya membuat saya sadar bahwa nggak segala hal itu juga harus membuat kita berhenti. Karena pada akhirnya politik tidak akan pernah bersih kalau misalnya kita selalu berada di luar dan marah-marah,” katanya.

Namun, Tsamara sadar, dirinya tidak mungkin meminta semua orang masuk dunia politik karena tidak semua orang mau. “Tapi paling tidak kalau ada orang yang mau mencemplungkan dirinya ke politik dan dia mungkin pastinya diserang sana-sini, ya kita harus sama-sama bantu. Salah satu tantangan terbesar yang saya hadapi sebenarnya adalah, tentu saja, ketika kita mau membawa diri ke dalam dunia politik, selalu ada saja status quo atau misalnya orang-orang yang tidak suka dengan gebrakan atau kebaruan yang kita bawa ke dalam dunia politik tersebut,” imbuhnya.

Keadilan sosial

Pekerjaan rumah besar di Indonesia, bagi Tsamara, yang harus terus digarap adalah soal keadilan sosial kalau dilihat dari kacamata Pancasila.  Ia melihat, ketika bicara soal toleransi, biasanya seseorang akan mengaitkannya dengan sila ketiga Pancasila ‘Persatuan Indonesia’.

Namun, bagi Tsamara, toleransi juga menyangkut pada soal keadilan. “Menurut saya, toleransi  itu adalah juga bagian dari keadilan. Gimana kita mau bicara keadilan kalau kita tidak bisa menjamin bahwa setiap warga negara kita memiliki hak yang sama dalam beribadah gitu. Setiap warga negara kita tidak perlu takut dipersekusi ketika sedang beribadat. Tapi juga secara berjamaah, bersamaan, kita juga harus memikirkan gimana kita mau bicara keadilan ketika misalnya banyak sekali anak-anak muda kita yang kemudian lulus kuliah tapi masih menjadi bagian dari pengangguran tertinggi,” katanya.

Menurut Tsamara, proporsi pengangguran paling tinggi di Indonesia adalah pengangguran terdidik. Tsamara juga melihat ketidakadilan pada kaum perempuan yang saat ini masih banyak mengalami pelecehan seksual. “Tapi hingga saat ini, pemerintah dan DPR tidak juga kunjung mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Jadi, menurut saya banyak sekali aspek yang harus kita selesaikan untuk kita bisa betul-betul merealisasikan yang disebut dengan keadilan sosial. Sosial justice itu kan sesuatu yang gak mudah. Dan itu adalah cita-cita yang besar dan kita punya banyak PR untuk bisa mencapai level itu,” ungkapnya.

 

Bukan sekadar politik praktis

Bagi Tsamara, politik tidak hanya sekadar menyangkut politik praktis. “Menurut saya justru sebenarnya politik itu lebih besar daripada sekadar bicara, misalnya politik praktis,” katanya.

Menurutnya, kebijakan publik adalah bagian dari perkara politik yang sangat krusial. “Kebijakan publik juga bagian dari perkara politik dan bahkan sangat krusial sebenarnya, dan sering sekali dilupakan sebenarnya sama politisi kita. Misalnya kalau ada yang ahli di bidang teknologi, science dan lain sebagainya justru itu sangat penting di era seperti saat ini. Semuanya bisa bicara soal privasi data, misalnya, juga sangat krusial terkait dengan kebijakan publik kita saat ini,” katanya. Tsamara berharap, teknologi bisa menguatkan kebijakan pemerintah misalnya dalam bidang kesehatan.

Untuk berpolitik, menurutnya, seseorang tidak harus mempunyai latar belakang pendidikan politik. “Saya juga sebenarnya background-nya bukan politik. Background saya itu komunikasi. Jadi, menurut saya, sebenarnya yang paling penting saat ini adalah membuka ruang agar politik tidak dilihat dari satu bidang saja gitu. Politik itu bukan tentang punyanya anak hukum, HI dan Fisipol saja. Tapi politik itu punya semua. Dan justru kita butuh sebagian banyak kontribusi dari berbagai bidang untuk bicara soal politik. Karena politik itu yang lebih penting dari sekadar politik praktis dan ada kebijakan publik yang ditawarkan oleh para politisi,” katanya.

 

 

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *