Oleh BAPAK JULIUS KARDINAL DARMAATMADJA, SJ
November bulan pahlawan
Bulan November merupakan bulan untuk memperingati para pahlawan. Tanggal 1 November bagi Gereja merupakan Hari Raya Semua Orang Kudus, para pahlawan iman yang telah memiliki pahala kemuliaan surgawi. Dalam hidupnya sebagai orang beriman, mereka telah menunjukkan bahwa mereka pantas mendapatkan pahala di surga. Mereka telah menunjukkan keteguhan iman dalam mengarungi suka duka dan manis pahitnya kehidupan di dunia. Mereka selalu menghayati iman secara konsekuen, meski ada banyak rintangan dan harus banyak berkorban; dan di antara mereka itu ada yang sampai mengurbankan hidupnya, mati sebagai martir. Gereja merayakan semua orang kudus untuk bersyukur kepada Allah, yang karena rahmat-Nya mereka telah mencapai kemuliaan surgawi. Gereja mengharapkan agar mereka menjadi contoh bagi kita yang masih berjuang di dunia ini, dan menjadi pengantara doa-doa kita di hadapan Allah. Gereja mengagumi perjuangan mereka, mengagumi keteguhan sikap dan semangat mereka.
Kita sebagai bangsa dan negara, pada tanggal 10 November juga memperingati pahlawan. Yaitu mereka yang telah gigih berjuang demi kemerdekaan bangsa dan negara, sampai mengorbankan hidupnya, gugur di medan perang. Kita mengenang dan berterima kasih untuk jasa-jasa mereka bagi bangsa dan negara, dan berdoa agar mereka menerima pahala di surga. Kita bangga bahwa di antara pahlawan yang diresmikan negara ada beberapa yang beriman Katolik, yaitu: Agustinus Adisutjipta [AU], gugur di Yogyakarta, 29 Juli 1947; Slamet Riyadi [AD], gugur di Ambon, 3 November 1950 dan Yos Sudarso (AL], gugur di laut Arafuru, 15 Januari 1962. Kita masih punya seorang pahlawan nasional dalam diri Mgr. A. Soegijapranata, SJ. Beliau tidak ikut berperang mengangkat senjata, tetapi karena ikut serta dalam perjuangan membela kemerdekaan Republik Indonesia dengan berbagai cara: antara lain ikut mengobarkan semangat umat Katolik untuk ikut berjuang, dengan semboyan 100 persen Katolik dan 100 persen Indonesia. Karena cintanya kepada Republik Indonesia yang sedang dipertahankan kedaulatannya, beliau melancarkan proses politis pengakuan negara Vatikan kepada Republik Indonesia, sehingga Vatikan termasuk negara pertama yang mengakui kemerdekaan negara kita dengan hadirnya Perwakilan Vatikan di Jakarta dalam diri Uskup Agung Gregorius de Jonghe d’Ardoye, MEP, yang ditunjuk oleh Paus Pius XII pada tanggal 6 Juli 1947.
Pusat pemerintahan Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta. Karena Jakarta kurang aman, maka Mgr. A. Soegijapranata, SJ memindahkan tempat tugas beliau sebagai Uskup dari Semarang ke Yogyakarta pada tanggal 17 Februasi 1947 – 25 Agustus 1949, supaya dekat dengan pemerintahan Republik Indonesia. Atas jasa-jasa beliau, ketika beliau wafat, Presiden Soekarno pada tanggal 26 Juli 1963, dengan Keputusan Presiden No 152/1963 menetapkan beliau sebagai Pahlawan Nasional, dan menunjuk makamnya di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang. Bangunan cungkupnya pun dirancang oleh Presiden Soekarno sendiri.
Pahlawan lingkungan hidup
Sekarang sudah tidak ada perang. Maka tidak ada lagi pahlawan sesuai pengertian umumnya. Namun semangat yang mirip-mirip dengan pahlawan sering dipakai juga. Umpama guru di Papua, yang tekun hadir dan mengajar, meski medan sulit dan cuaca buruk, murid sering banyak yang tidak datang. Juga ada dokter yang mau tinggal di pelosok tanah air, jauh dari kota, sibuk mengunjungi dusun-dusun terpencil, setelah cukup lama pengabdiannya, dia juga pantas disebut pahlawan. Guru dan dokter semacam ini juga sering disebut pahlawan, karena dalam pengabdiannya kepada masyarakat disertai ketekunan, pengorbanan dan dengan jiwa besar menghadapi tantangan yang berat.
Tak mengherankan bahwa dalam menghadapi tantangan berat di sekitar masalah lingkungan hidup, ada orang-orang yang pantas disebut pahlawan. Mereka itu peduli terhadap penghijauan, tekun sendirian, sering dicemooh rakyat sekitarnya dan tidak ada yang mendukung. Oleh pemerintah sejak 40 tahun yang lalu mereka ini diberi Penghargaan Kalpataru (pohon kehidupan).
Umpama yang diberitakan oleh Dinas Lingkungan Hidup Aceh, ada 4 orang yang pantas disebut pahlawan penjaga kelestarian lingkungan hidup: Pertama, di Bireuen, Nasrul AB, seorang mantan kombatan melakukan penghijauan di kawasan hutan Desa Blang Sama Gadeng kecamatan Pandrah, Bireuen. Nasrul yang juga seorang petani, menanami hutan yang telah dirambah dengan berbagai pohon dan tanaman hutan. Di saat orang lain merusak, Nasrul justru ingin menyelamatkan. Nasrul ingin, air terjun Pandrah tetap dapat mengalirkan airnya karena hutan yang terjaga. Untuk itu, Nasrul dicalonkan sebagai penerima Kalpataru kategori perintis lingkungan pada tahun 2016.
Kedua, di Kabupaten Aceh Tengah ada 3 orang. Yaitu Mahyuddin, seorang petani berusia lanjut yang menjaga dan menyelamatkan belasan hektar hutan pinus di desa Pepalang. Upaya tersebut telah dijalaninya selama bertahun-tahun untuk menjaga ketersediaan sumber air. Karena jasanya, Mahyuddin dicalonkan sebagai penerima kalpataru kategori perintis lingkungan. Kana Emnurlis seorang penyuluh kehutanan, yang dengan ilmu yang dikuasai mengajak para petani untuk mengembangkan Agroforestri. Emnurlis berjasa mengajak para petani untuk mengkombinasikan penanaman sengon sebagai pohon pelindung dengan tanaman pertanian setempat. Upayanya ini membuahkan hasil, menyelamatkan lingkungan sekaligus meningkatkan perekonomian petani Aceh Tengah. Kana Emnurlis patut dicalonkan Bapedal Aceh sebagai penerima kalpataru kategori pengabdi lingkungan. Yang terakhir di Gayo Lues. Salim, Kepala Desa Paya Kumer yang dibanggakan warganya, karena melestarikan lingkungan dengan penghijauan desa. Ini ia buat untuk menyelamatkan sumber air yang memberi efek pada peningkatan ekonomi masyarakat. Salim menjadi calon penerima penghargaan Kalpataru 2016 kategori pengabdi lingkungan. Ini semua ditulis Rian Ramadhana, yang diedit oleh Cut Samsiar Hanum (KLHK).
Yang mengharukan adalah Mbah Sadiman, warga Dusun Dali, Desa Geneng, Wonogiri, Jawa Tengah. Semula dia dianggap gila. Ternyata dia adalah pahlawan lingkungan hidup yang istimewa di Kabupaten Wonogiri. Apa yang ia buat? Mbah Sudiman telah mengubah bukit-bukit tandus menjadi lebih hijau. Selama 25 tahun dia telah menanam 11.000 lebih pohon beringin dan ficus, yang menutupi tanah seluas 250 hektar, termasuk di bukit Gendol dan bukit Ampyangan. Ia berhasil menyediakan air di wilayah pegunungan yang rawan kekeringan. Mbah Sadiman (69 tahun) berpikir, jika tidak menanam pohon beringin, daerahnya akan jadi kering. Dari pengalaman, pohon beringin dan pohon ficus bisa menyimpan banyak air, karena akarnya yang panjang dan meluas telah menutupi lahan seluas 250 hektar, menahan tanah tidak longsor dan menimbulkan beberapa mata air di tempat yang dulu kering. Warga kini bisa merasakan hasilnya, bahkan para petani bisa beberapa kali panen dalam setahun. Air tersebut juga sudah mengalir ke rumah-rumah dan untuk irigasi pertanian. (bdk. Erwin Renaldi (KLHK).
Kalpataru penghargaan pahlawan lingkungan hidup
Penghargaan Kalpataru diberikan pertama kali pada 1980 oleh Presiden kedua RI Soeharto di Istana Negara. Saat itu, penghargaan ini diberi nama “Hadiah Lingkungan” dan baru setahun kemudian namanya berganti menjadi Kalpataru. Pada 1981, sebanyak enam individu dari lima provinsi menerima Kalpataru kategori Perintis Lingkungan. Kategori Penyelamat Lingkungan diberikan kepada Pondok Pesantren Nuqoyah di Kabupaten, Sumenep, Madura, Jawa Timur. Namun belum ada yang menerima Kalpataru untuk kategori Pengabdi Lingkungan.
Selama 40 tahun penghargaan ini diberikan pemerintah kepada 388 pihak. Mereka terdiri dari 114 penerima untuk kategori Perintis Lingkungan, 116 penerima kategori Penyelamat Lingkungan, 99 nama untuk kategori Pengabdi Lingkungan. Terakhir adalah 59 nama untuk Kalpataru kategori Pembina Lingkungan.
Diantaranya yang sangat menonjol adalah, pertama, Nyi Eroh asal Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Ia merupakan perempuan pertama penerima Kalpataru kategori Perintis Lingkungan pada 1988. Ia berjuang seorang diri membangun saluran air sepanjang 5 kilometer untuk menyelamatkan pasokan air bagi 60 hektar persawahan di tiga desa. Tak hanya itu, atas jerih payahnya, puluhan keluarga pemilik lahan sawah tadi berhasil menikmati pasokan air sepanjang tahun.
Kedua, Soleman Ngongo dari Sumba. Ia telah mengabdikan diri selama 40 tahun menjaga dan merawat 240 pintu air primer, 140 pintu air sekunder, dan 160 pintu air tersier di Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Tak hanya itu, meski penghasilannya sangat minim sebagai penjaga pintu air, Soleman masih menyempatkan diri menanam pohon-pohon untuk reboisasi hutan di wilayahnya. Ia mendapatkan Kalpataru kategori Pengabdi Lingkungan pada 2011 di Istana Negara. (Bdk tulisan: Anton Setiawan, Editor: Eri Sutrisno/Elvira Inda Sari, Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini, diterbitkan Selasa 5 Januari 2021 oleh Koordinator KLHK).
Panggilan kita semua
Meski sudah banyak yang menjadi pahlawan lingkungan hidup, namun jumlahnya masih terlalu kecil dibandingkan dengan besarnya kerusakan lingungan hidup itu, karena masih banyak yang kurang peduli. Kurang peduli karena kurangnya pemahaman atau karena kepentingan ekonomi yang terkait penggunaan batu bara masih sangat tinggi. Kita semua terpanggil untuk ikut serta berjuang, sesuai kemampuan dan posisi kita dalam masyarakaat. Kita semua harus berusaha, tak ada yang dikecualikan, karena kita semua sehari-hari menyumbang terjadinya pencemaran. Kita dapat ikut mengurangi sedikit atau syukur kalau dapat mengurangi banyak. Ada macam-macam pencemaran yang dapat kita kurangi atau kita kikis habis.
Pertama, pencemaran udara: lewat kendaraan bermotor kita, pabrik industri berbahan batu bara yang mengeluarkan banyak C02, membuang sampah tidak pada tempatnya, sehingga menimbulkan bau busuk. Pengelolaan tempat pembuangan sampah yang tidak memadai.
Kedua, pencemaran tanah oleh sampah dan limbah, penggalian sumur minyak ilegal, penambangan emas tanpa izin, pencemaran oleh mercuri, pemiskinan tanah karena pupuk buatan, dan hilangnya pohon peresap air sehingga tanah menjadi tandus. Demikian juga, kegiatan seperti pengambilan pasir pantai, karang, serta perusakan hutan-hutan bakau menjadi penyebab abrasi yang nantinya berkaitan dengan kerusakan laut dan pantai.
Ketiga, pencemaran air di selokan, got dan sungai serta laut. Akibatnya, ikan dan makhluk hidup lainnya mati. Pengelolaan limbah pabrik yang tidak benar, atau untuk mudahnya disalurkan ke sungai saja. Sungai kita dijadikan tempat pembuangan sampah jenis apapun.
Keempat, penggundulan bukit atau penebangan hutan ilegal berskala besar, hilangnya peresapan air, sehingga mengakibatkan bencana banjir dan longsor. Kecuali itu hutan yang menjadi paru-paru dunia yang menyimpan karbon berkurang banyak.
Secara global hal-hal yang demikian itu yang dilakukan oleh semua daerah dan negara di seluruh dunia. Akhirnya, hal itu berakibat pada naiknya panas bumi, yang membuat permukaan air laut naik karena es di kutub mencair. Juga menyebabkan bencana alam, cuaca ekstrem, gelombang panas yang mematikan dan akhirnya membuat kebakaran hutan dan lahan, hujan “salah mangsa” atau tak teratur seperti sediakala. Dunia makin sadar, sehingga Persetujuan Prancis tahun 2015 sepakat menghentikan naiknya panas bumi sampai 1,5 deajat selsius. Makin naik panas bumi melebihi 1,5 derajat berarti bahaya bencana semakin besar. Kita umat Katolik perlu berdoa agar para pimpinan negara tidak hanya sepakat dengan janji-janji, melainkan sungguh bertindak. Kita perlu berdoa agar negara-negara mampu bertindak, meski akibatnya adalah merugikan pertumbuhan ekonomi yang sampai sekarang ditopang oleh penggunaan batubara, yang justru berdampak besar bagi pemanasan bumi. Energi baru dan terbarukan, tenaga surya, angin, dan air terjun, semakin perlu dikembangkan. Memang perkaranya sulit diatasi karena ekspor batubara sangat menguntungkan, dan sudah terlalu banyak industri memakai energi dari batubara. Sikap kepahlawanan yang bijak dari para pimpinan pemerintahan dibutuhkan.
Kita semua yang tidak terlibat dalam keputusan-keputusan antar negara, masih dapat berbuat banyak di sekitar melawan pencemaran-pencemaran seperti diuraikan diatas, atau menjadi pahlawan perawat bumi dengan penghijauan kembali, mengelola sampah menjadi berkah dan lain-lain. Di situ kita dapat menjadi pahlawan mengikuti mereka yang telah mendapat penghargaan negara berupa penghargaan kalpataru.
Penutup
Masalah pemanasan bumi, perubahan iklim, kerusakan lingkungan hidup sudah menjadi masalah global, mendunia. Ancaman bahayanya juga menjangkau semua orang tanpa kecuali. Kita ditantang (dipanggil) untuk memiliki semangat solidaritas global, atau solidaritas antar manusia, atau dalam bahasa iman kita memiliki cinta kasih insani, yang dasarnya bahwa kita semua sama-sama diciptakan Allah. Maka cakupannya juga seluas dunia. Sehingga kepedulian terhadap nasib buruk sesama sangat besar. Semangat gotong-royong di Indonesia pantas disuburkan. Agaknya pada zaman setelah industrialisi, semangat solidaritas dunia ini sudah merosot padahal sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, Paus Pius XII mengeluhkan demikian: “Suatu kekeliruan yang tersebar luas dewasa ini terletak dalam hal ini, bahwa orang melupakan hukum solidaritas dan kasih antara manusia, hukum yang diwajibkan dan ditetapkan baik oleh asal mula bersama dan oleh kodrat akal budi yang sama dari semua manusia dari segala bangsa, maupun oleh kurban penebusan yang dibawakan Yesus Kristus di altar salib kepada Bapa Surgawi-Nya demi keselamatan umat manusia yang berdosa.” (dikutip dalam KGK 1939). Paus Fransiskus mengulangi keprihatinan zaman sekarang dengan ensikliknya Laudato Si’ mengenai lingkungan hidup, dan Fratelli Tutti tentang persaudaraan sosial dan global. Kita umat Katolik, semua saja terpanggil untuk mengembangkan semangat solidaritas global, kasih dan peduli terhadap sesama yang dasarnya karena sama-sama diciptakan, sama-sama dikasihi dan dipedulikan oleh Tuhan Sang Pencipta. Semangat ini sebenarnya juga tercantum dalam sila ke-2 Pancasila: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Dengan semangat hidup yang demikian, kita mengusahakan diri menjadi pahlawan-pahlawan lingkungan hidup, pahlawan di bidang persampahan, di bidang penanggulangan pencemaran udara, air dan tanah. Pahala Anda di surga tentu besar, karena Anda berjuang untuk perkara yang besar, meski yang Anda buat adalah perkara kecil, seperti merawat sampah Anda sendiri supaya menjadi berkah dan tidak menyumbang pada pencemaran-pencemaran udara, bumi dan air. Selamat menjadi Pahlawan surga!