
Penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa menjunjung tinggi keberagaman dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Presidium Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI), Subandi mengatakan hal tersebut dalam acara Dialog Lintas Agama yang digelar oleh FKUB Provinsi Jateng, Yayasan Tasamuh Kudus, dan Gerbang Watugong Semarang, 10 Mei 2021.
“Benar, penghayat adalah suatu yang belum diakui secara agama, tapi sudah diakui oleh keputusan MK no 97 tahun 2016 ini. Kita disetarakan agama. Kami, benar masih di bawah naungan Direktorat Kebudayaan khususnya di adat dan tradisi. Tapi tidak menutup kemungkinan bahwa kami sebenarnya adalah penghayat yang benar-benar mengakui adanya Tuhan. Tuhan adalah ada. Dan semboyan kami, tujuan kami, penghayat, adalah manunggaling kawula Gusti,” kata Subandi dalam acara bertema “Agama Inspirasi dalam Memperteguh NKRI” itu.
Para penghayat kepercayaan, menurut Subandi, mempunyai salah satu prinsip yang dijunjung tinggi yakni memayu hayuning bawana. “Bahwa kita melestarikan alam semesta. Kita sangat toleransi dengan apapun bentuk agama lain. Kita sangat menghormati dan sangat ingin bersatunya untuk menjunjung tinggi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kami mengutamakan budi luhur,” katanya.
Dalam konteks kenegaraan, Subandi mengatakan, tidak ada ajaran kepercayaan yang dihayatinya yang menyimpang dari aturan-aturan kenegaraan. “Kami sebenarnya sangat tunduk dan patuh dengan aturan-aturan apa yang ada di negara ini. Bahwa kami, penghayat selalu bersatu,” katanya.
Di Jawa Tengah, menurutnya, ada 52 aliran kepercayaan. “Kelompok kepercayaan tersebut bernama berbeda-beda, tapi dalam satu wadah Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dulu, memang dikenal dengan kebatinan, kerohanian. Ini adalah kami. Dan kami menjunjung tinggi tentang sosial kenegaran. Bahwa kami sangat mengutamakan budi luhur,” katanya.
Bagi penghayat kepercayaan, negara harus hormati. Saat ini, penghayat kepercayaan sudah diberi hak-hak sipil yang sangat fundamental tentang pendikan, tentang pembangunan tempat peribadatan, dan tentang administrasi kependudukan. “Kami sudah terfasilitasi sekarang,” katanya.
Dalam hidup kenegaraan, Subandi mengatakan, penghayat sangat menjunjung tinggi NKRI. “Pluralisme sangat kita hormati. Kita menjunjung tinggi dengan bahasa kita. Bahasa yang berbeda-beda tetapi kita tetap satu. Bahwa kita adalah insan yang sama. Mempunyai hak dan kewajiban yang sama ketika kita masih ada di negara ini,” katanya.
Sementara itu, Bhikku Damasubho Mahatera mengatakan, akhir-akhir ini, agama seolah-olah kehilangan daya tangkal untuk menangkal arus erosi, reduksi, kemerosotan mental-spiritual dan moral manusia. “Yang ditanyakan kemana agama-agama ini? Jawaban saya, adalah bukan agama kehilangan daya tangkal. Tetapi akhir-akhir itu, agama beralih fungsi dan bergeser posisi. Itulah jawaban saya,” kata Bhikku Damasubho.
Menurut Bhikku Damasubho, agama sejak dilahirkan di muka bumi mempunyai fungsi atau mempunyai posisi untuk menuntun kejiwaan, maka ukurannya adalah hina atau mulia. “Maka, ketika agama bergeser posisi, bukan menjadi lelaku, tetapi menjadi ilmu, agama menjadi downgrade kualitasnya. Karena kalau agama, ukurannya hina atau mulia. Sedangkan kalau sekolah, pendidikan, akademik itu ukurannya bodoh atau pintar. Birokrasi, administrasi, ukurannya adalah salah atau benar. Ukuran dagang, untung atau rugi. Nah, ukuran politik, ukuran pilkada, itu menang atau kalah. Sedangkan agama, ukurannya hina atau mulia,” kata Bhikku Damasubho.
Kalau agama bergeser posisi dibawa-bawa, diseret-seret, didorong-dorong menjadi pendidikan formal, menjadi dagang, menjadi alat politik, menurut Bhikkhu Damasubho, agama kehilangan daya tangkal.
“Karena itu, kalau memang sepakat, mari kita kembali kepada agama tidak lagi menjadi ilmu saja, tetapi menjadi lelaku,” katanya.